Hakikat Kedudukan Anak Dimata Orang Tua

Keluarga
Foto ilustrasi (ist)
Keluarga
Foto ilustrasi (ist)

Oleh: Drs Ahmad Zuhri, MA

SELURUH ciptaan Allah SWT yang ada di dunia ini sesungguhnya merupakan wadah bagi umat untuk dijadikan ajang rasa syukur dan mawas diri dalam kehidupan. Apapun bentuknya, segala yang diberikan Allah kepada manusia dapat memberi dampak yang positif dan negatif, tergantung bagaimana manusia menyikapinya.

Bacaan Lainnya

Tatkala diberikan rezeki berupa harta melimpah misalnya, seorang manusia bisa saja mengelola dan menjadikan hartanya sebagai objek syukurnya. Bentuknya bisa dengan bersedekah, berinfak, membantu orang fakir miskin dan lainnya yang tentu menjadi nilai positif.

Sebaliknya, bisa jadi harta tersebut memberi efek buruk bagi seorang hamba apabila minimnya rasa syukur diri. Ia memberi dampak negatif termasuk dalam seluruh aktifitas keseharian. Maka dari itu, apapun ciptaan Allah yang menjadi rezeki bagi manusia, patut disyukuri sekaligus menjadikan objek yang senantiasa bernilai positif dalam kehidupan.

Bagi orang tua, anak merupakan ciptaan sekaligus karunia Allah yang sangat bernilai. Anak merupakan “hibah” dari sang Khalik sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan, belahan jiwa, bahkan menjadi pelipur lara. Maka anak di mata orang tua merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah yang patut disyukuri sekaligus menjadikannya mawas diri.

Bersyukur karena anak adalah titipan Allah yang paling berharga. Mawas diri karena faktanya, kenyataan hidup di dunia ini ada juga anak-anak malah membuat orang tuanya menderita di dunia, dan yang lebih parahnya lagi kedua orang tuanya masih menderita meski sudah tidak ada lagi di dunia. Na’udzubillah!

Sungguh dimanapun di muka bumi ini tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi karunia Allah yang berdampak negatif atau bahkan akhirnya akan menyeretnya ke neraka. Orang tua tentu mendambakan dan mengharapkan sang anak kelak bisa membahagiakannya, memberi dampak positif dengan menjadi qurrota a’yun selama di dunia, dan menjadi anak shalih/ah yang senantiasa mendoakan orangtuanya jika telah tiada.

Hakikat Kedudukan Anak

Islam memberi gambaran jelas tentang kedudukan anak. Relasi anak dan orang tua telah dijelaskan Allah dalam Alquran agar orang tua tidak lupa bahwa dibalik karunia terkait anak yang dititipkan kepadanya ada kewajiban rasa syukur, mawas diri terhadapnya yang tentunya jangan sampai diabaikan.

1. Anak sebagai cobaan/ujian.
Allah berfirman: “dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan/ujian dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Qs. Al-Anfaal: 28).

BACA JUGA :  Kadis LHK Sumut Pastikan Rekomendasi Untuk Izin Kehutanan dan Lingkungan Gratis

Kedudukan ini mengisyaratkan bahwa anak dapat menjadi batu sandungan bagi orang tua akibat perbuatannya. Allah melafazkannya dengan “Fitnah” (cobaan/ujian). Cobaan/ujian yang dapat terjadi adalah tatkala sang anak terus menerus berada pada perbuatan buruk dan terlibat dalam perbuatan yang durhaka, seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang intinya membuat susah dan resah orang tuanya.

Begitu juga dengan sifat pemarah, sombong, pendendam dan sebagainya merupakan cobaan/ujian bagi orang tua. Keresahan ini akan berefek panjang dan buruk pula pada kehidupannya jika anak tidak menghentikan perbuatan buruk dan durhaka tersebut.

2. Anak sebagai perhiasan
Allah berfirman: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Qs. Al-Kahfi: 46)

Posisi ini memiliki makna bahwa anak memberikan nuansa kilauan yang indah bagi kehidupan orang tua. Allah memberikan istilah terkait hal ini dengan lafaz “Zinatul hayat” (perhiasan kehidupan). Perhiasan yang dimaksud adalah mereka merasa sangat senang dan bangga pada anaknya dengan berbagai prestasi yang diperoleh.

Sifat dan sikap yang baik dari sang anak seperti rajin, ramah, murah hati dan sebagainya akan memberi nuansa baik pula pada kehidupan. Intinya, kebaikan anak di dunia akan menularkan kebaikan pada orang tua sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di hadapan masyarakat.

3. Anak sebagai Penyejuk Hati
Allah Berfirman: “dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Qs. Al-Furqaan: 74).

Pada kedudukan ini, anak menjadi dambaan orang tua manapun di dunia ini. Allah menerangkannya dengan istilah “Qurrata a’yun” (penyejuk hati kedua orang tua). Ini kedudukan anak yang terbaik yakni tatkala anak dapat menyenangkan hati dan menyejukkan mata kedua orangtuanya.

Mereka adalah anak-anak yang apabila ditunjukkan untuk beribadah, seperti shalat, mereka segera melaksanakannya dengan suka cita. Apabila diperintahkan belajar, mereka segera mentaatinya. Mereka juga anak-anak yang baik budi pekerti dan akhlaknya, ucapannya santun dan tingkah lakunya sangat sopan, serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Pada porsinya, anak benar-benar menjadi “Karunia berlimpah” dalam segala aktifitas. Apapun yang dilakukan anak, selalu memberi dampak baik untuk orang tua.

4. Anak sebagai musuh
Allah berfirman: “Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. At-Taghabun: 14).

BACA JUGA :  PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG LGBT

Ini adalah kedudukan anak yang paling mengkhawatirkan, sampai-sampai Allah mengisyaratkannya dengan lafaz “‘Aduwwun” (Musuh). Dalam tafsir dikatakan bahwa maksud dari kata musuh, terindikasi sang anak dapat menjerumuskan orangtuanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.

Dalam hal ini anak tidak sekadar meninggalkan perintah Allah saja, ia bahkan juga berseteru dengan orang tuanya dan durhaka kepadanya. Perseteruan tersebut bisa berujung fatal dengan hal-hal yang sangat yang tidak masuk akal, seperti orang tua diperkarakan oleh anaknya akibat perebutan harta warisan, anak yang menuntut hal berlebihan diluar kesanggupan orang tuanya. bahkan anak sampai membunuh orangtuanya hanya karena ia tidak menuruti permintaannya.

Apabila ini yang terjadi, bukan saja menyiksa orang tua di dunia tapi tentunya akan sampai perhitungannya di akhirat sana. Kalaupun hidup sang anak dibarengi dengan harta berlimpah, ia takkan berarti bila jauh dari orang tua dan dari nilai-nilai agama.

Tentu dari kedudukan anak tersebut, orang tua pasti menginginkan agar anak-anaknya termasuk ke dalam kelompok qurrota a’yun. Namun untuk mencapainya diperlukan keseriusan dan ketekunan dalam membina mereka. Mendidik anak harus dimulai sejak dini, jangan tunggu anak tumbuh sampai dewasa. Orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya, aktifitas seperti ibadah, baik bertutur kata, sopan santun harus diajarkan dan diamalkan pula kepada anaknya.

Pendidikan karakter anak harus diawasi sedemikian rupa, jangan hanya mengandalkan pendidikan formal semata. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah orang tua turut memperhatikan pergaulan anak-anaknya di dalam masyarakat. Karena teman juga sangat berpengaruh kepada perkembangan kepribadian serta akhlak anak-anak mereka. Semoga kita semua mendapat berkah atas anak-anak yang dititipkan Allah kepada kita dan menjadi penyejuk hati dimanapun mereka berada. Aamiin ya Rabb.

(Penulis adalah dosen dan mahasiswa pasca sarjana UIN Sumut)

 

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *