Islam Menangkal Radikalisme

Rektor UINSU Prof Dr Saidurrahman MAg
Rektor UINSU Prof Dr Saidurrahman MAg

Oleh : Prof Dr Saidurrahman M.Ag

GERAKAN radikalisme acapkali masuk ranah ideologi agama. Istilah radikalisme pun ditafsirkan sebagai salah satu bentuk kekerasan, menggiring orang lain untuk masuk dalam kelompoknya. Penganut doktrin radikalisme ini hanya membenarkan fahamnya semata, tanpa memikirkan pandangan yang berseberangan dengan kelompoknya.

Bacaan Lainnya

Pemahaman radikalisme juga diartikan sebagai ideologi yang mempercayai perubahan menyeluruh. Dan perubahan itu hanya dapat dilakukan dengan cara kekerasam, bukan dengan cara evolusioner dan damai. Radikalisme secara historis berawal ranah politik oleh sayap kiri pada masa Revolusi Perancis (1787-1789 M).

Gerakan radikalisme terus berkembang hingga mencakup sayap kiri atau sayap kanan dalam politik, radikalisme pun masuk ke bidang keagamaan (religious radical). Agama dijadikan momentum untuk mengubah faham dalam sebuah negara. Radikalisme agama yang terjadi saat ini, seperti musuh dalam selimut. Mengapa demikian? Karena gerakan ini secara nyata membahayakan kehidupan berbangsa, bahkan secara khusus umat Islam sendiri. Kita menyadari kehidupan berbangsa yang penuh budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama. Munculnya gerakan radikalisme ini, justru mempersempit ruang agama, padahal semestinya konsep agama lebih luas dan global, itulah yang kita sebut dengan Islam rahmatan lilalamin. Hadirnya faham radikalisme, terkesan memperuncing suasana keharmonisan antara sesama umat, karena posisinya sudah merisaukan umat sekaligus mengancam keamanan negara.

Pertanyaannya sekarang, sejak kapan radikalisme ini muncul? Secara sederhana, dapat dijawab bahwa radikalisme muncul sejak manusia ada. Pembunuhan pertama di muka bumi ini terjadi ketika keturunan Nabi Adam AS saling membunuh yakni Qabil dan Habil. Keduanya saling terlibat kekerasan. Disebut kekerasan karena antara Qabil dan Habil saling ngotot mempertahankan pendapatnya yang benar untuk memperebutkan pasangannya.

Fakta sejarah membuktikan, penganut paham radikalisme ikut mengkafirkan dan menganggap orang beda agama dari mereka sebagai musuh. Klaim yang muncul dari faham radikalisme ini justu yang seagama tetap dianggap musuh dan harus dimusnahkan. Saling kafir mengkafirkan menjadi bagian doktrin faham ini yang akhirnya berkembang menjadi sebuah faham yang mengerikan. Upaya saling mengkafirkan, jika diurai dalam sejarah sudah muncul sejak abad 7-8 masehi. Ketika itu terjadi konflik internal yang luar biasa karena adanya perebutan kekuasan di banyak negara yang menjadi akar munculnya faham radikalisme.

BACA JUGA :  Polemik Manipulator "Agama" Musuh Pancasila Versi Prof Yudian

Konflik perebutan kekuasaan menjadi salah satu tujuan menggulingkan kekuasaan politik. Dan akhirnya, muncullah gerakan radikal itu di kawasan negara yang bukan penganut Islam, tak terkecuali di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia. Substansi yang diinginkan dalam gerakan radikal itu karena ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi Islam. Bentuk pemaksaan ini, tentu mendapat tantangan, karena sangat bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia yakni pancasila. Munculnya gerakan mengubah ideologi seperti ini paling tidak mengusik kita semua agar menyadarkan mereka mendirikan ideologi sendiri. Karena bercermin dari para pahlawan kita di Indonesia, ideologi Pancasila justru digali dari sumber-sumber agama itu sendiri, secara khusus ajarannya banyak diambil dari konsep Islam.

Menangkal Radikalisme

Syafi’i Ma’arif dalam bukunya berjudul Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009) menyebutkan, setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan munculnya gerakan radikal dan suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.

Kedua, karena dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata. Ungkapan Syafii’ Ma’arif ini menurut hemat penulis menjadi pemicu kita untuk sama-sama merapatkan barisan ikut menangkal tumbuh suburnya faham radikalisme di Indonesia. Perlu kekuasaan politik untuk menolak gerakan radikalisme di Indonesia. Kendati tidak dapat diberantas habis, tetapi setidaknya dapat dieliminir sesuai dengan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah.

Fenomena menguatnya faham radikalisme yang terjadi belakangan ini, dapat kita saksikan dibubarkannya Ormas HTI. Saya tidak menyebut kalau HTI masuk dalam ranah radikalisme, tapi setidaknya pemerintah sudah jernih memahani apa yang bakal terjadi, jika kelompok radikal berkembang pesat di Indonesia. Bisa jadi, tujuan kelompok radikal ingin mengganti NKRI kepada ideologi lain. Jika digiring kepada model khilafah, model ini sudah hancur pada abad ke-8 masehi, yakni ketika di masa Dinasti Bani Umayyah. Sekarang, kita bukan di negara dinasti seperti yang digambar itu. Khilafah sudah selesai dan itu tidak ada lagi. Tetapi, konsep-konsepnya hemat saya boleh ditiru karena modelnya yang baik seperti equality (kesamaan), justice (keadilan), dan kebebasan.

BACA JUGA :  Turbulensi Partai Politik

Secara sederhana, ada beberapa point penting untuk menangkal berkembangnya gerakan radikalisme di Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia wajib menerapkan ideologi pancasila. Ini hanya dapat dilakukan dengan memahami falsafah pancasila dengan cara mewujudkan Indonesia yang adil, tenteram, damai, dan kuat. Jadi, andai saja ada kelompok tertentu ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mudah saja kita menilainya mereka itu silakan keluar dari NKRI.

Kedua, guna menangkal gerakan radikalisme di Indonesia, para generasi kita secara berkesinambungan harus diberikan pemahaman terkait ideologi pancasila. Karena, prinsip hidup berbangsa dan bernegara itu mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang harus dihidupkan lagi di kalangan anak muda. Selama ini, jujur kita katakan Pancasila hanya menjadi konsep yang hanya sekadar dihafalkan saja dari sila kesatu sampai kelima. Tetapi, makna aplikatinya belum seluruhnya terwujud.

Ketiga, peran lembaga pendidikan sangat besar dalam menangkal masuknya gerakan radikalisme. Terutama di dunia perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perguruan tinggi sebagai institusi tertinggi di negara ini, harus menjadikan agama menjadi payung dari segalanya sekaligus melegalkan pancasila untuk dijadikan falsafah negara. Doktrin radikalisme harus diawasi, sehingga kampus menjadi control utama dalam menangkal masuknya gerakan radikalisme di Indonesia. **

** Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan **

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *