“Kematian demi Kematian pada Dini Hari Itu”

Ilustrasi
Foto ilustrasi berduka

(Kisah wartawan yang menyaksikan peristiwa di Stadion Kanjuruhan)

Ilustrasi
Foto ilustrasi berduka

Oleh: Bagus Putra Pamungkas

TIBA-TIBA saja, booom! Gas air mata meletup. Seingat saya, itu diarahkan ke gate 10 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Disusul tembakan menuju gate 7 dan 12. Asapnya mengepul. Saya langsung setengah berlari menuju ruang pers.

Laga Arema FC kontra Persebaya Surabaya yang dimenangi tim tamu 2-3 baru berakhir. Jumpa pers rutin seusai laga akan diadakan di ruangan tersebut.

Saya berdiri di dekat meja. Dari jauh, pelatih Persebaya Aji Santoso sudah tampak. Dia berjalan bersama salah seorang pemainnya, Marselino Ferdinan. Tapi, mendadak ada teriakan dari belakang, ’’Ayo semua balik ke Surabaya sekarang.’’

Aji dan Marselino balik kanan. Mereka menuju kendaraan taktis milik pihak keamanan. Sesi konferensi pers dari Persebaya pun batal.

Hanya pelatih Arema FC Javier Roca yang akhirnya datang ke ruang pers, ditemani Dedik Setiawan. Tapi, itu pun hanya sebentar dan tampak terburu-buru.

Di ruangan yang sama, saya dan sejumlah jurnalis bertahan. Ada tenggat yang menunggu saya. Tapi, tiga pria merangsek masuk. ’’Medis-medis. Iki wes ape mati (Ini sudah mau meninggal)!’’ teriak mereka.

Tiga pria itu membopong rekannya. Pria berbaju putih yang dibopong tersebut tergeletak tak sadarkan diri. Para jurnalis yang ada di ruang pers langsung membantu. Ada yang mengecek detak jantung, ada pula yang memegang urat nadi. Masih ada denyutnya, tapi tipis.

Kardus air mineral pun segera disobek, dijadikan kipas. Semua wartawan mengipasi pria itu. Termasuk saya. Tekanan ke dada juga sudah diberikan, juga napas buatan. Tapi, muka pria tersebut malah membiru. Tangisan teman-temannya langsung pecah. Kawan mereka pergi untuk selama-lamanya.

BACA JUGA :  Pengunjung Pantai Romantis Kecewa, Tiket Rp40 Ribu per Orang dengan Pondok Gratis Tapi tak dapatkan Pondok

Saya langsung lemas. Bagaimana caranya bisa kembali menulis berita dalam kondisi jenazah ada di samping saya?

Di sebelah ruang pers, ada suara pria yang tak kalah histeris. Pria bertato itu mengutuki dirinya sendiri. ’’Iki salahku. Laopo awakmu melu aku nang stadion (Ini salahku. Kenapa kamu ikut aku ke stadion)?’’

Pria itu berteriak tepat di depan jenazah temannya. Menangis sambil memukuli dadanya. Saya mbrebes mili. Tapi, saya berusaha kuat. Kemudian melanjutkan tugas menulis berita.

Setelah selesai, saya dan jurnalis lain mencoba keluar dari ruang pers. Kami kembali masuk ke lapangan, mencari jalan keluar.

Tapi, di sana suasana tidak kalah mencekam. Ada dua mobil polisi K-9 yang terbakar. Beberapa suporter juga mendapat pertolongan medis.

Tenaga medis yang minim membuat polisi dan tentara ikut membantu. Manajer Arema FC Ali Rifky juga wira-wiri. Kami sebenarnya saling mengenal, tapi dalam kondisi setegang itu, sudah tidak ada waktu untuk saling sapa.

Saya kemudian memilih menunggu di dekat tribun VIP. Memastikan kalau keluar stadion, kondisi sudah aman.

Tiba-tiba seorang ibu paro baya datang. Dia tidak beralas kaki. Memakai daster cokelat. Bawahannya digulung ke atas. Kemudian berlari kencang ke arah lapangan. Dia melewati saya dengan air mata bercucuran. ’’Ya Allah, anakku gak onok (Ya Allah, anakku meninggal),” teriaknya.

Tidak ada yang lebih menyayat hati selain tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Dan, itu terjadi di depan mata saya.

BACA JUGA :  SD Negeri 0102 Sibuhuan Ukir Prestasi

Kematian demi kematian saya saksikan dari jarak yang sangat dekat pada Sabtu (1/10) tengah malam lalu yang hendak beranjak ke Minggu (2/10) dini hari itu. Saya juga melihat sejumlah jenazah yang dikumpulkan. Saya sudah tidak ingat lagi berapa kali mata saya basah.

Tepat pukul 01.00 WIB, kami akhirnya bisa keluar lapangan dan langsung menuju parkiran mobil. Tapi, tetap tidak bisa langsung pulang.

Ada salah satu mobil polisi yang baru saja dibakar. Tepat di tikungan menuju jalan keluar. Asapnya masih mengepul. Kami memutuskan menunggu situasi kondusif. Di situ, saya melihat truk pihak keamanan yang dipakai untuk membawa para korban.

Satu jam berselang, situasi mulai kondusif. Kami keluar stadion pukul 02.00. Di sepanjang jalan, mobil yang saya tumpangi selalu berpapasan dengan ambulans.

Saya tidak menyangka bakal melihat langsung bencana yang lebih buruk dari Tragedi Hillsborough pada 1989 yang menewaskan 96 suporter Liverpool dan Tragedi Heysel empat tahun sebelumnya yang memakan korban 39 nyawa pendukung Juventus. Saya cuma punya satu pertanyaan: siapa yang akan bertanggung jawab untuk semua kepiluan ini? (*)

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *