Prof Saidurrahman Sebut Kasus yang Menimpanya Sarat Nuansa Politis Terkait Suksesi Rektor UINSU

Sidang UINSU
Mantan Rektor UINSU Prof Dr Saidurrahman MAg memberikan keterangan sebagai saksi mahkota secara virtual pada sidang yang digelar di PN Medan, Senin (1/11).

 

Asaberita.com, Medan – Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof Dr Saidurrahman MAg, sebut jika kasus yang menimpanya dijadikan tersangka serta menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi gedung kuliah terpadu, sarat nuansa politis terkait suksesi Rektor UINSU.

Bacaan Lainnya

Sebagai tokoh masyarakat, pemuka agama serta pengamal Pancasila yang baik, Saidurrahman mengatakan tidak mungkin ia melakukan korupsi dalam pembangunan gedung kuliah terpadu itu.

Namun karena kepentingan politis suksesi rektor, ada pihak tertentu yang ingin mengganjalnya kembali menjadi Rektor UINSU priode kedua dengan melaporkannya terkait pembangunan gedung yang belum selesai itu ke Polda Sumut.

Hal itu disampaikan Prof Saidurrahman saat ditanyai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejati Sumut sebagai saksi mahkota pada persidangan kasusnya bersama dua terdakwa lainnya yakni Syahruddin dan Joni Siswoyo secara virtual, di ruang Cakra 2 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (1/11) sore.

“Kasus ini sarat politik. Sebenarnya ini tidak ada masalah karena tidak ada kerugian negara dalam pembangunan gedung itu sebab dana jaminan nilai sisa pekerjaan yang disetor kontraktor sudah dicairkan KPPN dan kembali masuk ke kas negara. Tapi penyidik di Polda Sumut mencari-cari kesalahan dengan mengatakan ada kerugian negara berdasar audit ITS dan BPKP,” ujarnya.

Saratnya nuansa politis dalam kasus ini semakin terlihat saat penetapan tersangka pada dirinya dilakukan 1 hari menjelang ia dilantik kembali sebagai Rektor UINSU, untuk menggagalkan acara pelantikan oleh Menteri Agama RI. Namun setelah penetapan tersangka, kasusnya menggantung hingga hampir 9 bulan.

“Saya sudah menanyakan ke penyidik apa 2 alat bukti yang mereka miliki sehingga saya ditetapkan sebagai tersangka. Tapi penyidik mengatakan nanti disampaikan di pengadilan. UINSU juga telah beberapa kali menyurati BPKP untuk meminta nilai kerugian negara, tapi tidak pernah diberikan dan nilai kerugian negara Rp10,3 miliar itu diketahui dari penyidik,” papar Saidurrahman.

Kemudian ketika ditanya JPU lantas kenapa ia menyetorkan dana Rp10,3 miliar sebagai pengganti kerugian negara, serta harusnya siapa yang mengembalikan kerugian dalam pembangunan gedung itu, Prof Saidurrahman mengatakan pengembalian dana itu karena diminta oleh penyidik.

“Yang meminta pengembalian itu penyidik karena katanya ada kerugian negara, dan penyidik mengatakan jika sudah dikembalikan penyidikan kasusnya bisa dihentikan atau SP3. Kemudian setelah saya berdiskusi dengan keluarga dan sejumlah tokoh, untuk menjaga marwah dan nama baik UINSU serta demi harga diri saya dan jabatan yang saya emban, maka saya dahulukan mengembalikannya,” sebutnya.

Keputusannya untuk mendahulukan pengembalian kerugian negara seperti yang disampaikan penyidik walau BPKP belum ada menerbitkan surat penagihan pengembalian kerugian negara, ia ambil karena kontraktor telah membuat perjanjian tertulis dengan PPK akan bertanggung jawab mengembalikan kerugian negara.

“Tanggungjawab pengembalian kerugian negara itu memang ada pada kontraktor. Kontraktor sudah buat surat perjanjian pengembalian, tapi karena belum juga dikembalikan, sebagai incumbent saya tidak ingin masalah ini jadi persoalan di UINSU. Sehingga dengan niat baik saya dahulukan mengganti kerugian negara itu menggunakan uang pribadi dari hasil menjual sejumlah aset serta berhutang ke sejumlah teman. Tapi ternyata, meski tidak ada lagi kerugian negara tapi saya tetap dijadikan terdakwa,” jelasnya.

BACA JUGA :  Polsek Percut Kembali Grebek dan Robohkan Pondok Narkoba di Pinggiran Rel Desa Tembung

Sidang UINSU

Menjawab pertanyaan Sofwan Tambunan selaku pengacaranya kenapa ia tidak bertahan pada penilaian Konsultan Manajemen Konstruksi (KMK) bahwa tidak ada kerugian negara dalam pembangunan gedung itu sebab dana jaminan sisa pekerjaan telah dicairkan, Prof Saidurrahman kembali menegaskan pengembalian dana Rp10,3 miliar itu karena diminta oleh penyidik, sebab penyidik hanya berpatokan pada audit yang mereka minta dari ITS dan BPKP.

Terkait dana pinjaman Rp2 miliar yang diserahkan Marhan dari Joni Siswoyo kepada Marudut yang juga ditanyakan jaksa, Prof Saidurrahman mengatakan ia tidak pernah menyuruh Marudut untuk mencari pinjaman uang. Dan dana Rp2 miliar itu juga tidak diserahkan kepadanya atau tidak pernah diterimanya.

“Sebagai Rektor dan KPA, saya tidak berhubungan dengan Marudut dan tidak pernah menyuruhnya mencari pinjaman, dan saya juga tidak pernah menerima dana itu. Tapi karena ada surat somasi untuk pengembalian pinjaman Rp2 miliar dari kontraktor, demi menjaga nama baik UINSU dan agar tidak menjadi persoalan, dana itu saya kembalikan,” ujarnya.

Terkait pertanyaan jaksa kenapa dirinya menyetujui adanya adendum kepada kontraktor padahal proyek belum selesai hingga berakhir kontrak pada 26 Desember 2018, Prof Saidurrahman menjelaskan bahwa sesuai ketentuan dari Menteri Keuangan terhadap proyek yang belum selesai hingga akhir tahun pilihannya hanya 2 yakni memutuskan kontrak atau memperpanjang kontrak dengan membuat adendum.

“Karena niat baik, setelah kita teliti perpanjangan layak dilanjutkan karena tinggal 8,9% lagi. Kemudian saya juga ikut meninjau ke lokasi banyak barang yang sudah tersedia tapi belum terpasang. Kita percaya pada KMK yang dikontrak dan sudah buat penilaian, karena kalau tidak percaya dengan KMK itu malah melanggar hukum,” katanya.

Sudah Jalankan Aturan

Sidang UINSU
Syahruddin selaku PPK saat memberi keterangan di pengadilan secara virtual

Sementara itu, Syahruddin selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini, saat dimintai keterangannya sebagai saksi mahkota oleh JPU dan kuasa hukumnya Kamaluddin Pane dan Ranto Sibarani, menyatakan bahwa sebagai PPK ia telah menjalankan aturan tentang pengadaan barang dan jasa dalam pembangunan gedung kuliah terpadu itu.

Ia beberapa kali telah membuat surat peringatan kepada kontraktor agar mempercepat pengerjaan dan penyelesaian proyek, serta memutuskan kontrak dan memasukkan perusahaan kontraktor karena wan prestasi ke daftar hitam.

“Semua prosedur dan aturan ketentuan UU pengadaan barang dan jasa telah kita jalankan karena kontraktor wan prestasi, termasuk memutus kontrak dan memasukkannya ke daftar hitam, tapi kami tetap dipidana juga,” katanya.

Syahruddin juga mengatakan bahwa ia telah juga memaksa kontraktor dari PT Multikarya Bisnis Perkasa (MBP) untuk membuat surat perjanjian membayar kerugian negara, karena setelah pemeriksaan di penyidik dinyatakan ada kerugian negara berdasar audit ITS dan BPKP.

BACA JUGA :  KNPI : Ada Fitnah Jahat Terhadap Kabaharkam Polri

Terkait persetujuannya menandatangai berita acara progres pekerjaan hingga 91,07% untuk pencairan pembayaran pekerjaan ke kontraktor, dikatakannya karena progres itu merupakan penilaian KMK dan sudah diterima oleh Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (P2HP).

“Itu hasil penilaian KMK dan sudah diterima P2HP, tidak ada alasan bagi saya menolaknya. P2HP juga tidak pernah kami paksa untuk menerima hasil progres pekerjaan itu,” katanya.

Persoalan Internal Perusahaan

Sidang UINSU
Dirut PT MBP, Joni Siswoyo saat memberi keterangan di pengadilan secara virtual.

Sementara itu, Direktur Utama PT MBP, Joni Siswoyo selaku kontraktor yang juga menjadi terdakwa dan diminta keterangannya sebagai saksi mahkota dalam kasus ini, mengakui tidak selesainya pengerjaan gedung kuliah terpadu UINSU yang dikerjakan oleh PT MBP karena ada persoalan internal di perusahaannya.

Selaku dirut perusahaan, Joni mengatakan ia tentu ingin pembangunan gedung itu selesai karena itu juga menyangkut citra perusahaannya. Tetapi karena ada persoalan internal di perusahaannya, sehingga pekerjaan gedung itu tidak selesai.

Disebut Joni, perusahaannya masih memiliki dana untuk menyelesaikan pembangunan gedung itu di masa adendum perpanjangan kontrak selama 90 hari meski dana jaminannya di BJB telah dicairkan negara sebesar Rp4,016 miliar pada 11 Januari 2019, karena pembangunan tidak selesai pada 31 Desember 2018.

Persoalannya jelasnya, pelaksananya dilapangan yang ia percayakan kepada Marhan selaku Direktur Lapangan tidak menjalankan sesuai arahannya untuk penyelesaian pekerjaan, meski dana telah ia kucurkan untuk penyelesaian pekerjaan proyek itu.

Tetapi selaku dirut perusahaan sebagai pihak yang menandatangani kontrak pengerjaan proyek dan adendum, ia menyatakan bertanggungjawab atas konsekwensi yang timbul, termasuk akan bertanggungjawab dalam mengganti kerugian negara.

Pada persidangan itu, Joni juga mengaku tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan Prof Saidurrahman selaku KPA, dan ia juga baru mengenal dan bertemu dengan Syahruddin selaku PPK saat penandatangan kontrak pekerjaan proyek oleh PT MBP.

Dijelaskannya, ia mengetahui ada tender proyek di UINSU dari LPSE setelah diberitahu Marhan. Dan Marhan lah yang mengurus semuanya termasuk sebagai pelaksana proyek di lapangan dari PT MBP.

Terkait dana Rp2 miliar yang dikatakan JPU diminta Saidurrahman melalui Marudut, Joni mengatakan bahwa Prof Saidurrahman tidak pernah meminta uang kepadanya.

“Dana Rp2 miliar itu yang meminta Marhan kepada saya. Kata Marhan untuk dipinjam Marudut membiayai perjalanan dinas mereka dan akan dikembalikan pada Desember 2019. Tapi saat saya tanya Marhan kenapa belum dikembalikan jawabannya tidak jelas, saya buat somasi ke UINSU untuk penagihan,” katanya.

Saat ditanya apakah dana itu telah dikembalikan, Joni mengakui kalau dana Rp2 miliar itu telah dikembalikan melalui Marhan dan ia menyatakan mencabut kembali surat somasinya.

Setelah mendengarkan keterangan dari ketiga saksi mahkota terkait kasus dugaan tipikor pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU, hakim ketua Safril Batubara menunda persidangan setelah mengagendakan pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum pada sidang Senin depan (8/11). (has)

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *