Opini

Siapa Pengganggu Wartawan Meliput di Pemprov Sumut?

×

Siapa Pengganggu Wartawan Meliput di Pemprov Sumut?

Sebarkan artikel ini
Pelarangan Peliputan di Pemprov Sumut

Oleh Abyadi Siregar

SEKITAR tiga pekan lalu, seorang teman jurnalis yang sehari-hari nge-pos di Kantor Gubernur Sumut, menelpon. Dia mau wawancara soal adanya pembatasan wartawan melakukan peliputan di lingkungan Pemprov Sumut.

Saya tau, dia ingin menggali pendapat saya tentang larangan peliputan wartawan di lingkungan Pemprov Sumut dalam perspektif pelayanan publik.

Jujur saja. Ketika itu saya berusaha memberi pemahaman belum bisa memberi pendapat. Sebab saya menduga, pembatasan peliputan yang disebutkan itu hanya gara-gara miskomunikasi antara petugas Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) yang melakukan pelarangan dengan teman saya yang sedang melakukan peliputan.

Dugaan saya yang lain adalah, paling juga yang mengalami pelarangan peliputan itu hanya satu orang. Tidak dengan teman-teman jurnalis lain. Sehingga, saya berasumsi, bisa saja karena ada sentimen pribadi anggota Satpol PP yang melarang peliputan itu dengan teman yang sedang meliput.

Namun, beberapa hari setelah itu, saya membaca di sejumlah media tentang kesulitan wartawan melakukan peliputan di lingkungan Pemprov Sumut. Meski begitu, saya masih tetap ragu dengan pembatasan wartawan melakukan peliputan di lingkungan Pemprov Sumut tersebut.

Sebab, saya sangat percaya. Pemprov Sumut tidak mungkin melarang wartawan melakukan peliputan. Apalagi, sejak dulu, kolaborasi wartawan dengan Pemprov Sumut berjalan baik.

Saya sempat mencoba mempertanyakan masalah ini kepada Ilyas Sitorus, sebelum dikabarkan mengundurkan diri dari jabatan Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Pemprov Sumut melalui pesan WhatApps. Begitu juga kepada Kepala Bidang (Kabid) Informasi dan Komunikasi Diskominfo Pemprov Sumut Harvina Zuhra.

Penjelasan Ilyas Sitorus dan Harvina Zuhra, tetap membuat saya belum percaya dengan pelarangan peliputan wartawan tersebut. Saya masih menduga, ini hanya soal salah paham antara beberapa orang wartawan dengan anggota Satpol PP. Yang menurut saya, dalam waktu tidak terlalu lama akan segera cair kembali.

Namun, setelah Forum Wartawan Pemprov (FWP) Sumut secara khusus membahas masalah ini dalam Rapat Sekaligus Buka Puasa Bersama di Ruang Wartawan Kantor Gubernur Sumut, Jumat, 28 Maret 2025, memaksa saya haqqul yakin bahwa pelarangan wartawan untuk meliput di lingkungan Pemprov Sumut, benar terjadi.

Rapat FWP Sumut sekaligus Buka Puasa Bersma itu, dihadiri puluhan wartawan yang nge-pos di Kantor Gubernur Sumut. Beberapa di antara mereka, ada yang sudah “berkarat” nge-pos di Kantor Gubernur Sumut. Sebut misalnya Zulkifli Harahap. Kemudian ada Khairul Muslim, Joko Chow, David Susanto, Benny Pasaribu, Merry Ismail, dll. Saya tau, mereka wartawan yang sudah sangat lama nge-pos di Kantor Gubernur Sumut.

BACA JUGA :  Tekan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir, Pemprov Sumut Jalin Kerja Sama dengan USAID

Dalam rapat itu, Ketua FWP Sumut Zulkifli Harahap menjelaskan, akhir-akhir ini pers di Unit Pemprov Sumut terganggu dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya melakukan peliputan. Para jurnalis tidak diberi akses seleluasa di kepemimpinan gubernur sebelumnya.

Zulkifli Harahap—wartawan Harian Waspada—menjelaskan beberapa kejadian beruntun yang melarang wartawan melakukan peliputan di lingkungan Pemprov Sumut. Misalnya, pada pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Mandailing Natal (Madina) 21 Maret 2025. Kemudian, pada pelantikan dua pejabat tinggi pratama atau Eselon II pada 24 Maret 2025 di Aula Raja Inal Siregar.

Sebelumnya, seorang jurnalis mengaku dilarang anggota Satpol PP Pemprov Sumut meliput Rapat Koordinasi dengan Bupati/Walikota se Provinsi Sumut di Aula Rumah Dinas Gubernur Sumut Jalan Sudirman Nomor 41 Medan.

Ketika dipertanyakan, Erwin, anggota Satpol PP yang menghambat tugas wartawan itu, mengaku larangan peliputan tersebut adalah atas perintah protokoler pribadi Guberenur Sumut, Muhammad Bobby Afif Nasution. “Sesuai perintah atasan. Dari Protokoler pribadi Pak Bobby,” kata Erwin menjawab wartawan.

PERSOALAN SERIUS

Kebijakan pelarangan wartawan melakukan peliputan di lingkungan Pemprov Sumut itu, merupakan persoalan yang sangat serius. Apalagi sejak dulu, kolaborasi wartawan dengan Pemprov Sumut telah berjalan sangat baik.

Pertanyaannya, benarkah pelarangan wartawan melakukan peliputan itu atas perintah protokoler pribadi Gubernur Sumut Bobby Afif Nasution, sebagaimana pengakuan Erwin, anggota Satpol PP Pemprov Sumut?

Rasanya, anggota Satpol PP tidak mungkin berbohong. Ia pasti jujur soal ini, bahwa yang memerintahkannya melarang wartawan meliput itu adalah protokoler pribadi Bobby. Namun, apakah hal itu atas inisiatif protokoler pribadi Bobby sendiri?

Batin saya mengatakan, tidak mungkin. Protokoler pribadi Bobby Nasution, tidak akan senekad itu melarang wartawan melakukan peliputan tanpa ada perintah dari atasannya.

PERAN STRATEGIS MEDIA
Lalu, siapa sebetulnya yang menginstruksikan untuk melarang wartawan melakukan peliputan? Dan, apa pula yang menjadi alasan paling mendasar untuk melakukan pelarangan?

Larangan peliputan wartawan bukan peristiwa biasa. Ini justru didasari pada kesadaran terhadap peran strategis media dalam pengelolaan pemerintahan. Kesadaran bahwa media memiliki peran sebagai corong sekaligus menjadi pengawas jalannya roda pemerintahan.

Media akan menjadi alat penyampai berbagai informasi program pembangunan yang telah dikerjakan pemerintah. Namun di sisi lain, media juga menjadi pengawas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan perannya sebagai pengawas, maka media juga dapat dianggap sebagai pengganggu.

BACA JUGA :  Pemprovsu Berangkatkan Gelombang Terakhir Pemudik Moda Bus dan Kereta Api

Dengan peran media yang sangat strategis seperti ini, maka sangat wajar bila penyelenggara pemerintahan ingin menguasai media. Maka, dilakukan berbagai cara untuk menguasai media itu sendiri. Setidaknya, berusaha menempatkan para jurnalis yang sepaham dan seide dalam sistem yang telah ada. Meski pun—saya kira—itu sulit.

Namun, melarang jurnalis melakukan peliputan, saya kira merupakan cara-cara yang kurang tepat. Ini jelas-jelas tindakan yang menabrak berbagai peraturan.

Dalam perspektif pelayanan publik, larangan tersebut jelas-jelas tidak senafas dengan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, justru wajib memudahkan pelayanan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi terkait penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Apalagi yang meminta dan mencari informasi itu adalah para jurnalis. Yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pemerintah seharusya justru mengelola dengan baik penyelenggaraan pelayanan permintaan informasi bagi para jurnalis. Bukan sebaliknya, mempersulit dan melakukan pelarangan jurnalis menjalankan tugasnya.

Lagi pula, informasi yang dicari atau diminta oleh para jurnalis, bukanlah informasi yang bersifat tertutup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mereka hanya ingin meliput beberapa kegiatan serimonial di lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumut.

Karena itu, sudah sangat tepat bila persoalan ini disikapi oleh Forum Wartawan Pemprov (FWP) Sumut secara serius. Saya yakin, forum yang diketuai Zulkifli Harahap—wartawan Harian Waspada—itu akan berangkat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 18 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Di pasal ini, sudah diatur dengan jelas sanksi hukum bagi siapapun yang menghambat tugas-tugas para jurnalis.

Semoga kasus ini bisa segera diselesaikan dengan baik. Mumpung ini masih di Bulan Syawal, momen saling bermaaf-maafan.*

(Penulis adalah jurnalis asaberita.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *