Scroll untuk baca artikel
#
Opini

Berpancasila Di Era Digitali-Sentris

×

Berpancasila Di Era Digitali-Sentris

Sebarkan artikel ini
Salahuddin Harahap
Salahuddin Harahap

Oleh : Salahuddin Harahap

Era serba-digital atau dalam istilah Islam Transitif– ‘digitalisentrisme’– agaknya telah menjadi bagian dari masa depan peradaban yang tak mungkin dihindari apalagi untuk dilawan. Terhadap era ini kerap dikatakan slogan “ikut atau anda akan terlindas”– yang berarti mengikutinya telah menjadi keniscayaan.

Problem terbesarnya dalam konteks kita di Indonesia adalah ketika secara ontologis dan epistemologis, kita memandang atau bahkan yakin kalau era digitalisentris ini benar-benar merupakan sesuatu yang baru dan sengaja diimportasi dalam rangka percepatan bahkan lompatan peradaban.

Asumsi dan keyakinan ini, dalam tataran tertentu, di waktu tertentu, oleh golongan dan generasi tertentu — telah disikapi secara keliru. Betapa sering kita kemudian merasa ‘gerogi’ atau ‘tidakΒ  pede’ ketika berhadapan dengan fitur-fitur, fasilitas, layanan, kecanggihan atau bahkan kenikmatan yang ditawarkan oleh media-media digitalisentris ini– yang kemudian membuat kita terhegemoni atau bahkan ter-hipnotis hingga lupa diri atau lupa eksistensi.

Betapa banyak orang yang menggantungkan hiburan, ketenangan, kemarahan, kekesalan, kebahagiaan, kreasi dan kreatifitasnya semata-mata pada digitalisentris ini— yang pada akhirnya menyerahkan keseluruhan karakter bahkan eksistensinya kepada hukum-hukum digitalisentris tersebut.

Memanglah, ada nilai-nilai baru yang lahir bersama hadirnya digitalisentris ini seperti akurasi dan transparansi, kecepatan dan efesiensi, kemudahan dan efektifitas. Nilai-nilai ini sangat penting dan dibutuhkan oleh manusia vis a vis aktifitasnya di era modern dan era digitalisentris ini.

Tetapi harus diingat bahwa hingga saat ini, secara umum digital yang hadir di Indonesia dengan berbagai fasilitasnya masih berupa import (dari luar negeri) baik konsep, fitur, design hingga satelit yang mewadahinya.

Dalam statusnya yang demikian, tentu saja secara ontologis dan epistemoligis pengembangan teknologi digital tersebut, tidak mungkin dapat lepas dari pembobotan budaya dimana ia dicipta. Memang, dapat dipastikan bahwa dalam hukum dagang, maka produksi mesti based on pasar baik trend maupun psikologinya. Tetapi, sebagai produk yang cenderung masih made in negara-negara besar yang memiliki hasrat hegemoni — maka tentulah ada akulturasi dalam setiap karya dan produk yang dicipta.

BACA JUGA :  Mengikis Politik Emosional

Menyadari hal itu, maka suatu bangsa— apalagi yang masih cenderung sebagai konsumen (user) digital tidak boleh menerima begitu saja produk digital yang masuk dari luar. Perlu ada filterasi, akulturasi agar digital ini benar-benar hadir dalam bentuknya yang objektif dan bebas hegemoni nilai– hingga kemudian diboboti dan diasimilasi dengan prinsip, nilai dan norma dimana ia dipakai dan digunakan.

Seseorang atau suatu bangsa harus terpastikan telah memiliki kesadaran teologis, kesadaran budaya, kesadaran logis serta kesadaran kritis ketika harus berhubungan atau harus menggunakan atau harus memasuki era digitalisentris ini.

Digitalisentris tidak boleh menjadi identitas baru dan menjadi ‘isme’— tetapi harus hadir mengokohkan identitas yang ada baik secara teologis maupun sosiologis. Digital harus hadir sebagai wadah dan media dalam rangka percepatan penyempurnaan bagi teologi dan budaya kita. Teman diskusi saya Ikhyar Velayati– pernah menandaskan bahwa tanpa revolusi industri yang menjadi cikal bakal digitalisentris peradaban Eropa dan Barat tidak akan mampu bergerak dan berkembang hingga seperti sekarang. Begitu pun juga, sulit membayangkan terjadinya lompatan laju budaya dan peradaban kita jika tanpa mengadopsi teknologi-digitalisentris.

Karena itulah, dalam konteks di Indonesia yang telah memutuskan untuk membuka diri terhadap digitalisentris ini, maka Pancasila dengan sejumlah prinsip dan nilai yang dikandungnya harus terlebih dahulu memanifestasi sebagai pengawal teologi, budaya, paradigma, jati diri dan citra diri kita sebelum kita benar-benar memasuki era digitalisntris itu.

BACA JUGA :  Arus Mudik Lancar dan Cepat Tindak Penganiayaan Ken Admiral, Tuan Guru Batak Apresiasi Kapolda Sumut

Pancasila harus hadir sebagai saksi– menyaksikan mana yang patut dan tidak patut dari nilai yang diimportasi lewat digitalisentris. Pancasila juga harus hadir sebagai daya filterasi untuk menghaluskan nilai yang masuk agar dapat beradaptasi dengan nilai lokal kita.

Tidak hanya itu, Pancasila dengan dimensi universalitas dan elastisitasnya perlu hadir untuk memediasi terjadinya akulturasi antara budaya impor dengan yang ada di lokal negara kita. Bahkan, pada tingkatan tertentu, ia harus hadir sebagai benteng pertahanan dari unsur-unsur hegemonis yang menyusup masuk atas nama digitalisentris ini.

Pancasila sebagai ideologi harus mengalir dan memanifestasi secara hirarkis mulai dari ontologis ke epistemologis seterusnyaΒ  ke aksiologis. Dari spiritualis ke teologis seterusnya ke ranah logis hingga yang etis dan praktis. Untuk itulah penting menurunkan Pancasila dari aspek mistis menuju pradigmatik. Dari paradigmatik menuju konsepsi teoritik yang dapat dijadikan landasan praktis termasuk dalam beradaptasi dengan era digitalisentris yang sudah masuk ke hampir seluruh relung kehidupan bangsa kita ini.

** Penulis adalah Ketua Laborarotium Pancasila Dan Islam Bung Karno UINSU Medan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *