Scroll untuk baca artikel
#
Opini

Esensi Tunggal Ika dan Nasionalisme dalam Bernegara

×

Esensi Tunggal Ika dan Nasionalisme dalam Bernegara

Sebarkan artikel ini
Imam Pratomo

Imam Pratomo

Oleh Imam Pratomo, M.HI

Menilik dari judul diatas, ada satu hasrat yang menarik untuk dikaji dan dibahas dalam memahami konteks Bhinneka Tunggal Ika dalam Mewujudkan Nasionalisme.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua Cetakan ke 3 yang di terbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta Tahun 1994. Bhinneka berarti beragam atau keberagaman, Tunggal Ika bermakna satu. Secara terminologi, Bhinneka Tunggal Ika yaitu keberagaman suku bangsa, agama, etnis, budaya yang menuju satu kebersamaan untuk saling dapat tolong menolong antara sesama dalam satu naungan yaitu Pancasila sebagai dasar negara dan acuan Bangsa Indonesia.

Selanjutnya, dipahami juga makna Nasionalisme dari segi bahasa dan istilah. Nasionalisme terdiri dari dua kata yakni Nasional dan Isme, Nasional yaitu bersifat kebangsaan atau berasal dari bangsa sendiri, sedangkan Isme yaitu paham. Jadi secara terminologi kata nasionalisme yaitu suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri yaitu Negara Indonesia. Konsep Kebhinnekaan seperti ini lah yang dikenal dengan Pluralisme.

Walaupun makna bhinneka itu berbeda, akan tetapi perbedaan seperti perbedaan suku, bahasa, agama, serta budaya, telah terbentuk menjadi satu kesatuan yang utuh (NKRI), yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Keragaman tersebut berdiri tegak dalam lingkaran persamaan, di bawah naungan satu bendera: bendera Merah Putih. Satu lagu kebangsaan: lagu Indonesia Raya. Satu bahasa: Bahasa Indonesia. Satu lambang negara, yakni seekor Garuda yang memiliki azas Pancasila, dan dipadu dengan seuntai kalimat bermakna agung “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai mottonya.

Jika merujuk pada esensi atau inti dari motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang hakekatnya mengandung nilai-nilai nasionalisme, yaitu persatuan, kesatuan, serta kebersamaan untuk satu niat dan tujuan (visi dan misi), yang dijalin erat oleh rasa persaudaraan.

Sudah tentu, keragaman yang terikat dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah aset yang paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni menata dan membangun bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa bermartabat yang mampu berdiri sendiri: adil, makmur, damai dan sentosa.

Tapi, bagaimana mungkin, Garuda yang konotasi melambangkan eksistensi serta perjalanan bangsa Indonesia di era kemerdekaan, bisa mengepakkan sayap dan terbang mengangkasa, bila Pancasila hanya sebatas ruh yang pasif dalam jasadnya, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi penggerak bagi ruh tersebut tidak dinamis, atau tidak bergerak efektif sesuai inti dari kandungan maknanya.

Dalam demokrasi Indonesia, yang menginduk pada Pancasila dan berorientasi pada Undang-Undang Dasar 1945, serta mengacu pada Musyawarah Mufakat, nuansa kebebasan yang sudah diatur dan dilindungi norma-norma atau etika kebangsaan, telah melahirkan kembali berbagai perbedaan yang kongkrit sebagai bentuk apresiasi dari kedemokrasian tersebut, seperti partai-partai politik, organisasi massa, serta lembaga swadaya masyarakat.

Dan maraknya keberadaan kelompok, perkumpulan atau organisasi-organisasi, baik yang bergerak di bidang politik, sosial kemasyarakatan ataupun yang lainnya, menunjukan bukti bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan.

BACA JUGA :  Pancasila dan Api Islam Bung Karno

Yang menjadi pertanyaan, apakah perbedaan itu masih berpegang teguh pada hakekat Bhinneka Tunggal Ika, dan menjadi keragaman yang harmonis atau selaras dalam demokrasi Indonesia? Apakah Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi benang merah atau rangkuman dari norma-norma atau etika kebangsaan bangsa Indonesia, hanya tinggal semboyan yang maknanya tidak lagi dipahami sebagai wejangan atau petuah untuk motivasi bagi kehidupan bangsa Indonesia sekarang dan masa depan?.

Demokrasi Indonesia atau Demokrasi Pancasila yang berazas musyawarah mufakat, yang secara harfiah menyimpan makna dari nilai-nilai nasionalisme dalam Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kebersamaan yang diikat oleh rasa persaudaraan, yang menjadi manifestasi dari kokohnya persatuan serta kesatuan untuk satu tujuan, dimana setiap keputusan adalah hasil kesepakatan yang intensif dari kebersamaan, yang disaring secara jujur dan adil, dan dikembalikan dengan jujur dan adil pula untuk kebersamaan.

Perbedaan kelompok, perbedaan pendapat dan pemikiran, yang disebut keragaman dalam demokrasi Indonesia, bisa menjadi penyakit mematikan yang merongrong bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhurnya, dan akan menjadi bumerang yang memalukan bagi paham serta kedemokrasiannya, jika perbedaan atau keragaman tersebut telah saling berbenturan dan tidak lagi memprioritaskan kepentingan serta tujuan bersama atas nama kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, seperti yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah panjang penderitaan bangsa Indonesia pun akan terus berlarut, dan Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang didominasi konflik internal di atas kemerdekaanya sebagaimana yang kita ketahui dari pertengahan tahun 1997 hingga sampai sekarang ini, konflik demi konflik terus terjadi seperti kasus GAM di Aceh, kerusuhan antara kelompok satu dengan yang lain, kemudian juga kasus –kasus di kota-kota yang lain seperti Medan, Ambon, bahkan Ibu Kota Jakarta, ini membuktikan bahwa demokrasi tidak ada artinya dalam menjalani roda pemerintahan.

Jika ruang demokrasi yang begitu luas memberi kebebasan untuk berekspresi dan beraspirasi, telah menumbuhkan sikap egois, individualis, apatis, serta sikap mementingkan kelompok atau golongan. Sikap-sikap tersebut adalah pembunuh kebenaran makna demokrasi, yang tegas menyatakan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat, dan rakyatlah yang memegang kendali dalam sistem pemerintahan, yang kedudukannya berbentuk amanat.

Sikap-sikap yang jelas bertentangan dengan hakekat Bhinneka Tunggal Ika, hanya akan membawa demokrasi Indonesia ke jurang kebablasan, dimana kedemokrasiannya bukan lagi media atau alat untuk menegakkan nilai-nilai nasionalisme yang menjadi subjek dari satu niat dan tujuan (visi dan misi) yang utuh, tetapi menjadi ajang perseteruan dan menjadi kendaraan untuk memperebutkan kursi kehormatan yang disebut kekuasaan.

Dan Pancasila yang menjadi ruh bangsa Indonesia, yang seharusnya menjadi tolak ukur bagi pola pikir dan tindakan bangsa Indonesia untuk merealisasikan tujuan bersama dalam wadah demokrasi, hanya menjadi objek yang mandul dalam kedemokrasiannya.

Dalam hal ini, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah kesadaran dari setiap individunya untuk bisa mengevaluasi dan merevisi diri, serta berevolusi untuk sebuah perubahan besar di dalam diri individunya atau revolusi diri, yang disebut pembinaan moral atau akhlak. Karena moral atau akhlak, merupakan kerangka utama dalam demokrasi Indonesia atau Demokrasi Pancasila yang disistematikakan oleh Bhinneka Tunggal Ika untuk menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kebersamaan, demi menata dan membangun peradaban bangsa Indonesia dalam demokrasi yang berjiwa amanat: amanat dari amanat, amanat oleh amanat, amanat untuk amanat, tanpa harus dikotori oleh kebohongan. Sebab kebohongan adalah bentuk pengkhianatan yang tumbuh dari kemiskinan moral atau akhlak, yang menjadi titik awal dari kebobrokan atau kehancuran.

BACA JUGA :  DHD 45 Sebut Pancasila Harus Jadi Kekuatan Membangun Sumut

Sekarang Negara Kesatuan Indonesia ini sudah dilanda krisis multidimensi semenjak pertengahan 1997 sampai sekarang, karena kurangnya akhlak dan moral, kemudian ilmu yang tidak dibarengi dengan iman dan takwa serta kurangnya kesadaran dalam mengaktualisasikan hukum-hukum yang telah dibuat pemerintah dan yang tidak di indahkan sama sekali.

Kemudian juga kurangnya kesadaran untuk bekerjasama dan tolong menolong antara sesama, kurang menghargai satu sama lain sehingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan, pertikaian antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, selanjutnya yang paling terpenting adalah kurang memahami makna dari Kebhinekaan itu sendiri. Maka disinilah peranan Bhinneka Tunggal Ika dalam mewujudkan Nasionalisme, walau berbeda-beda tetapi satu jua.

Penutup

Dari tulisan diatas, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa sebenarnya untuk mewujudkan nasionalisme harus dibarengi dengan persatuan dan kesatuan ummat, agar bangsa ini kokoh, kuat, tidak goyah, inilah manifestasi demokrasi Pancasila. Sebagaimana semboyannya adalah “ Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”.

Maka kita selaku pemuda generasi penerus bangsa, agar mengerti dan memahami arti Kebhinnekaan Tunggal Ika yang mengandung makna yang begitu dalam yang harus di aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk pemuda harapan masa depan bangsa, agar belajar bersunguh-sungguh, tingkatkan lagi minat baca dan juga bekerja keras dan bertanggung jawab, saling menolong dan bekerja sama, agar Bhinneka Tunggal Ika dapat terwujud sesuai yang sudah dicita-citakan leluhur kita. Itulah salah satu nilai konsensus dasar Negara Republik Indonesia, agar konflik antar kelompok, antar golongan dan antar kepentingan tidak ada lagi, inilah solusi yang terbaik.

(Penulis adalah Dosen Prodi Siyasah Institut Agama Islam Sains Technologi Alquran (INAISTISQA) Deliserdang Sumatera Utara, Staf Pengajar PPMDH TPI dan Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Medan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *