Asaberita.com, Jakarta – Eksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT)/inkracht van gewijsde adalah wujud konkret penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan. Eksekusi putusan merupakan puncak kinerja suatu pengadilan, khususnya ketua pengadilan itu sendiri.
Dalam putusan perkara pidana, eksekusi dijalankan dengan penghukuman atau penahanan terdakwa atau pembebasan terdakwa, kadang kala diikuti dengan pembayaran sejumlah uang dan perampasan harta kekayaan si terdakwa. Berbeda dengan putusan perkara pidana di mana eksekutor putusan adalah jaksa, dalam perkara perdata, putusan dieksekusi oleh Ketua Pengadilan dibantu juru sita. Undang-undang memberi kewenangan besar kepada ketua pengadilan negeri atau pengadilan agama dalam menjalankan eksekusi agar tidak ada alasan suatu eksekusi tidak dapat dijalankan.
Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan gagal menjalankan eksekusi sita/blokir rekening milik pihak tereksekusi, itu sama saja Ketua Pengadilan melecehkan putusan sendiri, apalagi kegagalan eksekusi disebabkan oleh oknum Ketua Pengadilan sendiri atau juru sita.
Demikian pendapat advokat senior Raden Nuh SH menyikapi kegagalan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam menjalankan eksekusi putusan Nomor 51/Eks.Pdt/2023 Jo. 8/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Sel. tanggal 25 September 2023.
“Kegagalan pengadilan menjalankan eksekusi sita rekening bank pihak tereksekusi menimbulkan keraguan terhadap integritas dan kapasitas Ketua Pengadilan. Hampir tidak pernah terjadi sita eksekusi terhadap rekening bank bisa gagal. Jika terjadi, dipastikan ada yang salah pada oknum Ketua Pengadilan atau bahkan lembaga peradilan itu sendiri,” jelas Raden Nuh, mantan aktivis pergerakan mahasiswa akhir tahun 80-an, di Bidakara Hotel, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (22/6/2024).
Advokat Raden Nuh SH menjelaskan, eksekusi putusan No. 8/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Sel. sudah diajukan Penggugat/Pemohon Eksekusi sejak 20 Juni 2023, namun penetapan eksekusi baru diterbitkan tiga bulan kemudian yakni 25 September 2023.
“Ini jelas pelanggaran, tidak sesuai Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Nomor 250 tahun 2022 yang diterbitkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung yang mensyaratkan penetapan eksekusi diterbitkan paling lambat sepuluh hari. Ini tiga bulan baru diterbitkan Ketua Pengadilan, di sini saja jelas salah Ketua Pengadilan,” jelasnya.
Kesalahan kedua, eksekusi baru dijalankan pada 13 November 2023 dan terlambat hampir dua bulan sejak Eksekusi No. 51/Eks.Pdt/2023 Jo. 8/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Sel ditetapkan.
“Sudah pasti oknum Ketua Pengadilan tidak menjalankan undang-undang. Dapat dipastikan ada intervensi dari pihak lain atau ada kolusi oknum pengadilan dengan pihak tereksekusi,” kata Raden.
Kesalahan pengadilan atau pelanggaran undang-undang yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang ketiga adalah pihak pemohon tidak diberitahu sebelum eksekusi dijalankan.
“Eksekusi sita rekening bank itu rahasia sifatnya, kecuali kepada si pemohon eksekusi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah merahasiakan eksekusi kepada pemohon, membocorkannya kepada si termohon. Jika begini, sampai kiamat eksekusi tidak akan berhasil,” jelasnya.
Ketua MA Harus Turun Tangan
Pelanggaran keempat dalam menjalankan eksekusi Nomor 51/Eks.Pdt/2023 adalah pengadilan menerbitkan Berita Acara Eksekusi palsu tanggal 13 Oktober 2023. Berita Acara Eksekusi palsu disampaikan juru sita via pesan WhatsApp, sedangkan Berita Acara Eksekusi yang asli tidak diserahkan kepada pemohon eksekusi. Pada pelanggaran ini sudah terdapat muatan pidana oleh oknum pengadilan yang terlibat.
Pelanggaran kelima, namun bukan yang terakhir, rekening-rekening objek sita eksekusi ditemukan masih aktif berbeda dengan laporan dan berita acara eksekusi yang dibuat oleh pengadilan yang menyebut rekening bank telah ditutup.
“Ini pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan oleh pihak bank dan oknum Ketua Pengadilan sendiri. Harus ditindak tegas oleh Ketua Mahkamah Agung. Kalau tidak, ini akan menjadi awal kehancuran lembaga peradilan Indonesia,” tegas Raden. (rel)