Oleh: Ansari Yamamah
Istilah “Transitif”, yang digunakan untuk menerangkan bentuk kata kerja yang memerlukan objek seperti pada kata kerja membaca, mendengar, melihat, dan menulis, tentunya tidak asing lagi bagi para penulis maupun akademisi, akan tetapi bagaimana jadinya ketika istilah transitif disandingkan dengan agama, misalnya Islam?
Selama ini pemaknaan Islam sering merujuk pada konteks kebahasaannya dalam bentuk kata-kata salama, salima, dan paling tinggi berhenti pada kata aslama yang artinya adalah selamat, sejahtera, damai, dan berserah diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang banyak dipahami oleh para ulama dan cendekiawan Islam, termasuk di Indonesia, yang menyatakan bahwa makna hakikat Islam adalah berserah diri secara total kepada kehendak Allah SWT.
Dalam ilmu bahasa bentuk kata kerja salama digolongkan ke dalam istilah kata kerja intransitive atau fi’il lazim, yaitu kata kerja yang tidak mewajibkan adanya objek, dan kata kerja salima bisa dikategorikan dalam bentuk lazim dan sekaligus bisa dalam bentuk transitif atau muta’addi yang memerlukan objek. Sedangkan kata kerja aslama digolongkan hanya dalam bentuk transitive atau muta’adi. Masalahnya adalah walaupun salima dan aslama merupakan bentuk kata kerja transitif yang memerlukan objek, namun terlanjur dipahami bahwa objek kedua kata tersebut lebih kentara dalam bentuk objek personal-internalistik.
Dengan demikian tidak heran jika umat Islam terperangkap dalam pemaknaan Islam yang sangat personal, individualistik, dan sekaligus sangat internalistik dalam pergerakannya sehingga ada kesan bahwa Islam, sebagai salah satu agama samawi yang secara substantif telah diturunkan sejak nabi Adam ‘alaihissalam, diyakini sebagai agama pembawa kedamaian, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hanya bagi pemeluknya baik di dunia maupun di akhirat. Akibatnya, paling tidak, ada kesan bahwa umat Islam merasa terpuaskan ketika mereka sudah dapat memenuhi kebutuhan mereka akan kedamaian, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan sehingga melupakan peran-peran eksternal kemanusiaan lainnya.
Pemahaman terhadap Islam yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia secara sosiologis melahirkan masyarakat Islam yang senyap, diam, stagnan dan pragmatis sehingga pada gilirannya mereka merasa terbebaskan dari tugas-tugas kekhalifahan dalam konteks sosial kemasyarakatannya, yaitu turut serta membuat orang lain juga bisa mendapatkan kedamaian, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan (Islam Transitif).
Islam Transitif secara kebahasaan berangkat dari kata sallama yang secara luas berarti membuat orang lain agar bisa mendapatkan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan. Sebuah gagasan yang digunakan untuk memahami Islam sebagai agama yang mengajarkan umatnya untuk bergerak keluar dari lingkaran individual menuju hamparan kolektivitas sosial kemanusiaan dalam berbagai upaya pemenuhan kebutuhan dan pengembangannya yang berbasis pada kemaslahatan baik dalam konteks lokal maupun global, tentu saja dunia dan akhirat.
Gagasan Islam Transitif mengedepankan ajaran Islam universal yang tidak berhenti pada kata “aku” dan “kami” semata, akan tetapi bergerak keluar menuju kata “kalian”, “dia”, dan “mereka” yang berkolaborasi menjadi “kita” dalam berbagai dimensi pergerakannya demi menjaga dan memeliharan ketersambungan geneologis kehidupan yang rukun dan toleran baik dalam tataran sosial kultural, ekonomi, politik, agama, dan bahkan terhadap relasi semua makhluk Tuhan.
Banyak sekali ayat-ayat dan hadis yang berbicara tentang Islam Transitif, sebagai contoh disebutkan dalam surah al-Qashas ayat 77 yang artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.
Demikian juga hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi yang artinya: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang menghabiskan malamnya dalam keadaan kenyang dan ia tahu bahwa tetangga di sebelahnya sedang kelaparan”.
Islam Transitif yang dibawa oleh Alquran dan hadis Rasul, paling tidak memiliki empat karakter dasar yaitu: pertama: berbasis pada gerak, bukan diam, sebagaimana tergambar dalam perintah untuk menyebar dan mengeksplorasi rezeki dalam kebaikan. Kedua: memiliki orientasi masa depan (future oriented) baik masa depan yang berjangka pendek di dunia maupun berjangka panjang di akhirat. Ketiga: memberi porsi besar pada kebaikan eksternal, seperti berbuat baik kepada setiap orang sebagai balasan kebaikan yang telah diberikan Allah kepada diri sendiri, dan yang keempat: bersifat protektif terhadap segala yang hidup dan yang mati (living and unliving things) sebagai bagian penuh siklus kehidupan.
Ancaman Radikalisme
Belakangan ini ramai kalangan membicarakan kebangkitan semangat beragama masyarakat Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya semangat dan dedikasi pemeluk agama terhadap ajaran agamanya. Salah satu contoh umat beragama terlihat semakin rajin untuk datang ke rumah-rumah ibadah mereka, khususnya umat Islam yang semakin gencar menyemarakkan dan memakmurkan masjid tidak hanya dalam menegakkan shalat lima waktu, termasuk shalat Jumat, tetapi juga berbagai kegiatan keagamaan dan keummatan lainnya.
Demikian juga dapat dilihat, misalnya, bagaimana kelompok kelas menengah umat Islam perkotaan yang juga kelihatan semakin bersemangat menghadiri berbagai majelis ta’lim, zikir akbar, dan lain-lain yang tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak swasta tetapi juga oleh kalangan pemerintah.
Kebangkitan semangat beragama ini menjadi fenomena menarik dan sekaligus mendapatkan momentumnya persis ketika orang berfikir bahwa kekuatan rasional (rational forces) sains dan teknlogi telah berhasil menepikan misteri spiritual (spritual mystery) dari kerangka berfikir manusia modern sehingga mereka mulai merasakan bahwa kecukupan materi saja tidak dapat mendatangkan kebahagian dan tidak dapat mengisi kekosongan batin.
Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa salah satu realitas yang menonjol dari fenomena kebangkitan beragama tersebut adalah menguatnya gerakan keagamaan yang mempunyai karakter fundamental-radikal yang mengusung simbol-simbol militansi agama yang kental yang diusung oleh umat beragama yang terjadi diberbagai belahan dunia, sebagaimana juga yang terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sehingga gerakan keagamaan yang cenderung fundamental-radikal ini banyak muncul di kalangan umat Islam.
Gerakan keagamaan yang bersifat fundamental-radikal ini (selanjutnya ditulis radikal) juga telah menjadi fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer Indonesia, sebagaimana kita lihat dalam beberapa waktu terakhir adanya kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai pembela syariat Islam bergerak untuk menutup tempat-tempat yang mereka anggap sebagai sarang maksiat. Mereka tidak saja melakukan demonstrasi besar-besaran di berbagai tempat, akan tetapi juga, dalam beberapa kesempatan, menggunakan cara-cara yang boleh dikatakan keras, seperti menghancurkan tempat-tempat maksiat untuk menunjukkan sikap penolakan mereka.
Sebahagian dari kelompok radikal tersebut ada yang secara khusus berkonsentrasi melakukan maneuver-manuver politik dalam upaya mereka menegakkan syariat Islam sebagai agenda utama untuk mendirikan negara Islam, ganti dari pada Negara Republik Indonesia (NKRI).
Ide-ide fundamental-radikal dalam beragama semakin berkembang melalui ceramah-ceramah keagamaan yang disampaikan oleh para penutur agama yang telah terpapar ide-ide radikal yang akhir-akhir ini kelihatan semakin menguat tampil diberbagai tempat baik di rumah-rumah ibadah, pengajian, kantor-kantor pemerintah, swasta, bahkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, yang tentu saja menjadi sesuatu yang patut diwaspadai dan dieliminasi keberadaannya, sebagaimana yang telah dijadikan prioritas utama pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Agama Repubik Indonesia.
Lebih jauh, kelompok-kelompok radikal tersebut, yang dalam realitasnya terbukti banyak dilakukan oleh umat Islam, telah pula sampai pada upaya memerangi sesama umat Islam yang berbeda dalam metode atau aliran dalam berkeislaman, sebagaimana yang pernah dialami oleh kelompok Ahmadiyah dan Syiah di pulau Jawa dan Madura berapa waktu terakhir. Ditambah lagi dengan berbagai kejadian peledakan bom bunuh diri dan lain sebagainya yang sudah masuk ke dalam tindakan terorisme. Tentu saja hal ini akan memperparah wajah demokrasi dan kedamaain Indonesia yang mayoritas umatnya beragama Islam.
Karakter Muslim Radikal
Melihat berbagai gejala yang lebih kontemporer, apa yang diperlihatkan oleh para aktivis gerakan-gerakan tersebut paling tidak dapat diidentifikasi beberapa ciri khas sebuah kelompok dapat dikatakan sebagai Islam radikal, yaitu:Pertama: mereka sering menunjukkan mentalitas “perang salib”. Dalam konteks sekarang hegemoni dunia Barat terhadap bangsa-bangsa lain sering dianggap sebagai salah satu bentuk ‘penjajahan baru’ (neo colonialism). Sementara itu, ide-ide mengenai adanya konspirasi Barat menentang Islam dan dunia Islam terus berkembang dalam kelompok ini. Mereka menghembuskan perasaan anti Barat yang sangat kuat sehingga menolak berbagai ide yang dikembangkan oleh Barat.
Kedua: penegakan hukum Islam yang juga kerap diupayakan dengan keras oleh kalangan radikal Islam tidak lagi dianggap sebagai sebuah jalan alternative melainkan sudah menjadi suatu ‘keharusan’. Dengan kata lain, tidak ada lagi jalan yang sah di dalam membentuk sebuah komunitas Muslim yang benar-benar tunduk kepada Tuhan melainkan dengan jalan menjadikan Syari’at Islam sebagai landasan bagi segalanya, termasuk di dalamnya kehidupan agama, sosial dan politik.
Ketiga: terdapat sebuah kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah berikut sistem-sistemnya yang mapan tapi dianggap tidak sah, khususnya karena kurangnya perhatian terhadap penyakit sosial yang mereka identifikasi sebagai maksiat dan kemungkaran. Karena itu, sebagian diantara kelompok ini tidak lagi mempercayai lembaga-lembaga hukum pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut, sehingga mereka percaya bahwa mereka mampu mengatasinya dengan cara-cara mereka sendiri tanpa mengindahkan ruang publik yang menjadi milik masyarakat.
Keempat: semangat untuk menegakkan agama sebagai supremasi kebenaran ajaran Tuhan di dunia dengan jalan ‘jihad’ yang dengan sendirinya mendapat tempat yang sangat terhormat. Bahkan, melakukan jihad dengan upaya fisik melawan kebatilan dan musuh-musuh yang membenci Islam yang mereka yakini sebagai sebuah tugas keagamaan yang paling suci.
Faktor Pemicu Tumbuhnya Radikalisme.
Fakta yang ada tidak dapat disembunyikan bahwa pemahaman sempit, kaku, fanatis, dan keras, misalnya dikalangan kelompok Salafi Jihadis dan aliansinya, mempunyai faktor-faktor pemicu sehingga menjadikan mereka berfaham radikal dan sekaligus ultra revolusionist, yang antara lain berupa faktor: Pertama, faktor internal keberagamaan: yang secara khusus terkait dengan pemahaman dan interprestasi terhadap konsep-konsep dasar Islam dan konsep-konsep perjuangan, seperti konsep jihad yang dipahami oleh kelompok radikal Islam yang tidak hanya sebagai bentuk perjuangan dakwah Islam, tetapi lebih jauh dipahami sebagai bentuk perlawanan (perang) terhadap musuh-musuh idelogis Islam (kaum kafir). Selain pemahaman dan penekanan dimensi teologisnya, jihad juga dibenturkan dalam dimensi dua kutub teritorial yang berseberangan yakni dār al-Islam dan dār al-harb yang mana dār yang kedua dijadikan sebagai sasaran ekspansi dengan legitimasi jihad untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi baik dengan cara damai ataupun perang.
Kedua, faktor eksternal sosio-politikultural: hegemoni politik, ekonomi dan budaya Barat (non Islam) terhadap umat Islam yang dianggap membahayakan Islam dan umat Islam. Bagi kalangan fundamentalis ide-ide modernisme Barat dianggap telah mendistorsi tradisionalisme mereka. Ketika ide-ide modernisme memasuki ranah kehidupan dan ideologi umat Islam maka harus dilakukan upaya-upaya membendung modernisme karena akan membuat ide-ide tradisional fundamentalis mereka akan menjadi menguat dan mempunyai daya tarik tersendiri, bahkan beberapa penulis melihat bahwa faktor ekonomi, alam yang gersang, dan semacamnya menjadi pemicu munculnya ekspresi gerakan fundamentalisme dalam bentuk perang suci dengan menaklukkan wilayah lain.
Ketiga, faktor Psikologis: Melalui efikasi radikal dan agresif, yang dalam psikologi politik atau gerakan sosial, seseorang merasa bahwa dirinya penting, punya kemampuan, dan berarti untuk melakukan sesuatu yang diharapkan. Ada optimisme di situ yang merupakan energi psikologis pendorong (psychological driving force) suatu tindakan, yang dalam konteks politiknya dijadikan sebagai konteks aktivitas islamis (Islam gerakan – the Islamists). Faktor psikologis ini paling tidak terlihat dalam dua bentuk, yaitu: Alienasi radikal, suatu perasaan terasing seseorang dari lingkungannya. Apa yang terjadi di sekitar lingkungan kehidupannya bertentangan dengan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang harus terjadi. Perasaan alienasi radikal ini pada gilirannya akan berkembang menjadi aktivitas radikal. Perbedaan antara yang diyakininya dengan realitas yang dihadapinya (das sein dan das sollen) dapat terlihat dalam Islam sendiri dengan keyakinan melalui ayat-ayat Alquran yang menyatakan bahwa umat Islam adalah umat terbaik sedangkan dalam realitasnya, terutama dalam kehidupan dunia moderen sekarang, fakta yang muncul menunjukkan bahwa umat Islam masih jauh dari apa yang diharapkan.
Kontradiksi antara das sein dan das sollen ini berpotensi menumbuhkan perasaan apologetik untuk menyalahkan kekuatan di luar Islam, karena merasa umat Islam diperlakukan tidak adil, bahkan ditindas dan dimarjinalkan. Konsekuensinya mendorong seseorang menjadi aktivis radikal sebagai wujud protes atas ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan di luar Islam, termasuk kekuatan negara atau pemerintah yang mereka anggap juga telah keluar dari nilai-nilai Islam.
Perasaan keputusasaan apolegetik (apologetic hopeless), sebuah perasaan putus asa yang mencoba mencari sesuatu yang lain untuk dijadikan alasan sumpah serapah (scapegoating) dalam rangka melegitimasi keputusasaannya di hadapan orang lain.
Faktor Politik: Munculnya gerakan reformasi Islam di beberapa negara-negara Arab ketika berakhirnya Kerajaan Turki yang mana gerakan ini berusaha untuk memurnikan ajaran-ajaran dan praktek keagamaan umat Islam yang sekian lama terpengaruh oleh hegemoni kultur Barat yang mereka anggap sebagai budaya setan (evil cultur). Hegemoni ini tentu tidak terlepas dari kekuatan politik Barat yang hari ini telah mengalahkan kekuatan politik dunia Islam. Oleh karenanya segala sesuatu yang berasal dari Barat, termasuk sistem pemerintahan, haruslah dijauhi dan dianggap sebagai musuh. Salah satu bentuk atau model politik Barat yang dianggap berbahaya dan harus dihapuskan adalah sistem demokrasi yang terus berkembang masuk ke Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di Indonesia sendiri, berbagai organisasi dan kelompok gerakan yang mengatasnamakan syariat Islam sebagai solusi, tidak hanya untuk sebuah nilai kesholehan, tetapi juga sebagai sebuah sistem pemerintahan menggantikan sistem demokrasi Pancasila yang telah disepakati menjadi pedoman berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI, sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan berbagai organisasi sejenis dengan visi yang relatif sama.
Faktor Ekonomi: tidak dapat dinafikan bahwa kecukupan ekonomi menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap orang, dan ketika kecukupan itu tidak terpenuhi maka ia akan mudah terpengaruh atau tergoda untuk melakukan sesuatu yang melanggar norma dan nilai-nilai sosial, sebagaimana Nabi Muhammad ada menyebutkan bahwa kemiskinan dapat membuat seseorang mudah melakukan tindakan yang melawan hukum. Tentu saja dalam hal ini, seseorang yang sedang tidak memiliki perkejaan, terkena PHK, tidak memiliki keahlian (life skill), tidak memiliki modal usaha dan lain-lain maka hampir dapat dipastikan ia akan mudah terperangkap dalam ide dan gerakan radikalisme.
Islam Transitif Sebagai Solusi
Dalam konteks negara kebangsaan Indonesia, salah satu realitas Islam Transitif yang hari ini harus dikembangkan adalah bagaimana agar ruh “gerak” Islam bergeser dari gerakan personal internalistik menjadi komunal eksternalistik yang terlepas dari berbagai hirarki sosial, seperti hirarki kelas, hirarki politis dan hirarki status, yang selama ini selalu dijadikan sebagai tembok penghalang (barrier) pembangunan masyarakat. Tapi anehnya, ada saja kecenderungan di kalangan kelompok tertentu yang semakin kuat berupaya memperkokoh tembok-tembok pengahalang tersebut dengan sepuhan agama.
Pertanyaannya adalah, dapatkah Republik ini membangun bangsa dan negaranya sesuai dengan apa yang sudah terprogram dari hasil pemikiran para perekayasa pembangunan dengan persiapan dana yang sangat besar itu jika kebanyakan masyarakatanya masih terkungkung dalam lingkaran berfikir dan bergerak secara sempit, terlebih lagi ketika umat beragama, dalam hal ini umat Islam, dengan mudah terpengaruh dalam ide-ide dan gerakan yang mengarah pada tindakan radikal dan intoleran.
Untuk itulah, Gagasan Islam Transitif menawarkan beberapa upaya mengatasi tumbuhnya ide-ide dan gerakan radikal dan intoleran dalam konteks berbangsa dan bernegara yang dirangkum dalam tiga perspektif yaitu Pendidikan, Ekonomi, dan Politik:Pertama; pendidikan. Salah satu yang menjadi inti sebuah pendidikan adalah membangun karakter (character building), yang dalam kontkes Indonesia sesungguhnya telah ada di dalam nilai-nilai etnisitas sosio kultural yang tumbuh dan berkembang dalam realitas kehidupan Indonesia, antara lain: merasa hidup bersaudara, saling menghargai pluralitas, berempati, toleransi, berwawasan terbuka, mengedepankan kejujuran dan keadilan, dan lain-lain yang telah dirangkum dalam Pancasila sebagai sebuah jati diri bangsa. Jika nilai-nilai ini diterapkan di dalam praktek pendidikan baik dalam bentuk formal, informal maupun non formal maka akan dapat dipastikan lahirnya generasi yang berkarakter rahmatan lil ‘alamin.
Kedua; Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi adalah merupakan variabel penting dan fundamental dapat membentuk pandangan dan sikap masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan untuk melakukan tindakan radikal maupun intoleran. Islam Transitif hadir dengan memberikan konsep “bergerak” sebagai solusi dengan mendorong berbagai pihak untuk melakukan gerakan total produksi, sinergitas dan kolaborasi antar lembaga pemerintah dengan melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan, dan mendorong masuknya investor dalam rangka menciptakan kesempatan kerja sebagai upaya konkrit. Dengan demikian maka sikap radikal dan intoleran tentu akan dapat diminamilisir karena telah membuka peluang terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat. Kesulitan ekonomi bukan hanya dapat merubah sesorang untuk bertindak radikal dan intoleran, akan tetapi lebih dari itu, kesulitan ekonomi dapat merubah akidah setiap orang, dan bahkan dalam skala berbangsa dan benegara bahwa kesulitan ekonomi (kemiskinan) tidak mustahil dalam menjadi pemicu terjadinya revolusi.
Ketiga; Faktor politik. Perbedaan pandangan dan kebijakan politik hendaklah disikapi tanpa radikal dan intoleran oleh setiap warga Negara. Pemimpin negara wajib untuk dipatuhi oleh rakyat, dan khusus bagi umat Islam, sepanjang tidak ada perintah dari pemimpin negara untuk meninggalkan aqidah islamiyah. Dalam hal ini Islam Transitif hadir menawarkan konsep cinta tanah air, setia pada NKRI adalah merupakan sesuatu yang absolut bagi setiap warga negara republik Indonesia karena dengan demikian situasi negara akan terjaga aman dan damai, tidak seperti yang terjadi pada negara-negara Islam yang tenggelam dan hilang karena kisruh politik berbalut ideologi.
Penutup
Ide dan gerakan radikalisme yang hari ini berkembang dan telah pula memasuki berabagai segmen masyarakat, mulai masyarakat awwam hingga masyarakat terdidik, mulai dari lembaga pendidikan umum hingga lembaga agama, mulai dari rumah-rumah pribadi hingga ke rumah-rumah ibadah, dan seterusnya, yang jika dibiarkan maka tidak hanya akan mengakibatkan terjadinya konflik dan perpecahan bahkan pembunuhan relasi harmonis berbangsa, akan tetapi juga bahkan dapat mengancam eksistensi negara Republik Indonesia di bawah nauangan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam situasi inilah Islam Transitif hadir dengan Gerakan Total Produksi berbasis Masyarakat Simfoni yang mengkolaborasikan setiap unit sosial untuk memainkan perannya dalam membangun Indonesia menuju masyarakat yang kuat, kreatif, maju, kompetitif, dan bermartabat dalam kebhinekaannya. Dengan demikian, ajaran Islam yang diklaim membawa rahmatan lil-‘alamin dapat dirasakan sebagai “oksigen kehidupan” bagi semua golongan tanpa ada yang merasa sebagai kelompok superordinant dan subordinant sebagai bentuk Islam Indonesia masa depan. Semoga bermanfaat.**