Batak

Ketua Yayasan Pusuk Buhit Setuju dengan Shohibul Anshor: Pusuk Buhit Bukan Milik Orang Batak

×

Ketua Yayasan Pusuk Buhit Setuju dengan Shohibul Anshor: Pusuk Buhit Bukan Milik Orang Batak

Sebarkan artikel ini

MEDAN –Efendy Naibaho, Ketua Yayasan Pusuk Buhit setuju dengan pemikiran kritis dari akademisi dan aktivis budaya, Shohibul Anshor Siregar yang menyebut Pusuk Buhit bukan milik orang Batak.

“Saya setuju pemikiran Shohibul Anshor Siregar. Karena Pusuk Buhit memang lebih awal ada. Sehingga Pusuk Buhit-lah yang memiliki orang Batak. Bukan sebaliknya,” tegas Efendi Naibaho, Senin, 19/05/2025.

Lalu, kenapa orang Batak selalu mengklaim sebagai pemilik Pusuk Buhit? “Mungkin karena sudah bermukim puluhan tahun di sana. Bahkan ratusan tahun. Orang Batak mengusahai lahan di Pusuk Buhit dan menjadikannya sebagai tempat pemukiman yang padat dan kompak,” tutur Efendi Naibaho.

Mantan anggota DPRD Sumut yang saat ini menetap di Siogung-ogung, Kabupaten Samosir itu juga mengaku kakek mereka sudah lama tinggal di Siogung-ogung.

“Oppung atau kakek kami pun, sudah lama tinggal di Siogung-ogung dan membangun rumah di kaki gunung Pusuk Buhit,” jelas Efendi Naibaho melalui pesan singkat WhatApps.

Efendi Naibaho bercerita, pernah suatu ketika pihak Kehutanan datang memasang patok-patok. “Kalau tidak salah, patok SK 539 yang menetapkan tanah itu sebagai register. Kami masyarakat ramai-ramai demo ke DPRD. Dan sekarang, patok-patok itu sudah hilang,” jelasnya mengenang.

Menurutnya, alasan masyarakat ketika itu sederhana saja. “Bahwa Pusuk Buhit itu bukan punya Kehutanan. Kami orang Batak wajib dan bertanggungawab untuk merawatnya,” tutur Efendi Naibaho.

AKTIVIS BUDAYA SAYANGKAN NARASI PUSUK BUHIT MILIK KITA

BACA JUGA :  Kunjungan (Purn) Maruli Siahaan: Berduka atas Kepergian Hermina Siahaan

Sebelumnya, akademisi dan aktivis budaya, Shohibul Anshor Siregar menantang narasi populer yang menyebut bahwa Pusuk Buhit adalah milik orang Batak.

Koordinator Umum komunitas  Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya atau n’BASIS, bahkan menyerukan pembacaan ulang filosofi Pusuk Buhit dalam kebudayaan Batak.

“Sudah saatnya kita berhenti mengklaim bahwa Pusuk Buhit adalah milik kita. Sebaliknya, kita harus menyadari bahwa kitalah yang dimiliki oleh Pusuk Buhit,” tegas Shohibul.

Pusuk Buhit, sebuah gunung bersejarah di Kabupaten Samosir, selama ini dianggap sebagai titik asal-usul orang Batak karena diyakini sebagai tempat turunnya Si Raja Batak.

Namun menurut Shohibul, cara pandang ini harus dibalik agar tidak terjebak pada logika kepemilikan modern yang mengobjektifikasi ruang sakral sebagai komoditas.

“Dalam mitologi Batak, tidak ada kisah Si Raja Batak menciptakan Pusuk Buhit. Justru ia turun di sana, menjadi bagian dari kehendak tempat itu. Artinya, Pusuk Buhit lebih dahulu ada, lebih suci, dan lebih tinggi secara kosmologis. Kita ini hanya tamu yang diterima oleh sang Gunung,” jelasnya.

Shohibul menyayangkan narasi “Pusuk Buhit milik kita” telah membawa masyarakat kepada semangat eksklusif, bahkan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik identitas, pariwisata massal, dan komersialisasi yang merusak.

Ia mencontohkan bagaimana kawasan sekitar Pusuk Buhit saat ini mulai dirancang sebagai kawasan geopark dan wisata spiritual, tanpa melibatkan secara mendalam nilai-nilai asli dari warisan budaya Batak.

“Ketika tanah dianggap sebagai milik, maka ia bisa dijual, disewakan, atau diubah fungsinya sesuai logika pasar dan negara. Tapi ketika kita merasa dimiliki oleh tanah, oleh Pusuk Buhit, maka yang muncul adalah rasa hormat, tanggung jawab, dan pengabdian,” tambahnya.

BACA JUGA :  Warisan Kolonial dalam Pengelolaan Hutan: Sistem Register dan Konsesi Langgengkan Ketidakadilan dan Jadi Bentuk Rekolonisasi

PENGELOLAAN TANPA MELIBATKAN MASYARAKAT ADAT

Ia juga menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan kawasan sakral oleh negara dan korporasi, yang seringkali tidak melibatkan masyarakat adat secara substantif.

“Negara sering hadir hanya dengan logika hukum dan ekonomi. Sementara yang kita perlukan adalah kebijakan yang menghormati kosmologi dan spiritualitas rakyat,” katanya.

Shohibul menutup pemaparannya dengan seruan moral agar masyarakat Batak kembali membangun hubungan dengan Pusuk Buhit bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai anak spiritual yang menjaga, memelihara, dan menghormati tanah leluhur.

“Bukan kita yang memiliki Pusuk Buhit. Ia yang memiliki kita, membentuk kita, dan menguji kita. Kalau kita gagal menjaga kehormatannya, maka kita telah menolak akar kita sendiri,” pungkas Shohibul.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *