MEDAN – Langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang menonaktifkan sejumlah pejabat eselon II, dan mewacanakan pembentukan tim khusus untuk mempercepat reformasi birokrasi, menuai kritik dari berbagai kalangan.
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menilai kebijakan tersebut potensil berisiko melanggar prinsip meritokrasi dan aturan kepegawaian yang berlaku.
Menurut Shohibul, dari segi aturan sebetulnya Indonesia tak lagi dalam tahap meraba-raba dan berspekulasi dalam mekanisme dan tatakelola manajemen birokrasi pemerintahan, baik untuk pemerintahan pusat maupun daerah.
Sistem merit adalah fondasi utama manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen ASN.
“Non-job tanpa dasar yang kuat dan transparan berpotensi menimbulkan ketidakadilan birokrasi dan membuka ruang praktik subjektif. Bahkan abuse of power,” ujar Shohibul, Selasa (20/5/2025).
Ia mengingatkan, mutasi dan pencopotan pejabat harus didasarkan pada evaluasi kinerja yang objektif, bukan sekadar pertimbangan politis atau upaya akselerasi program. “Literatur administrasi publik menegaskan, merit system adalah jantung birokrasi modern yang profesional dan berintegritas (Rosenbloom, 2015),” tegas Shohibul, merujuk pada literatur terverifikasi.
Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (’nBASIS) ini lebih lanjut menegaskan, penonaktifan pejabat tanpa argumentasi kuat dan prosedur yang jelas adalah jebakan birokrasi mandek yang potensil menjadi pelanggaran serius terhadap tata kelola ASN.
Ia mengingatkan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 dan laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tentang mutasi non-job di lima provinsi pada 2023 yang mengatur bahwa pencopotan pejabat adalah bentuk hukuman berat yang harus didahului pemeriksaan tim independen.
“Jika tidak ada proses evaluasi yang transparan dan akuntabel, maka tindakan non-job justru bisa menimbulkan ketakutan dan keresahan yang biasanya akan diikuti fenomena penurunan dratis motivasi ASN. Ini bertentangan dengan tujuan reformasi birokrasi yang ingin diwujudkan,” jelas Shohibul.
Wacana Tim Khusus dan Risiko Intervensi
Terkait rencana pembentukan tim khusus, Shohibul mengingatkan agar tidak menjadi alat legitimasi untuk menyingkirkan pejabat yang tidak sejalan.
Merujuk pengalaman di banyak daerah di Indonesia, pembentukan tim khusus seringkali menjadi pintu masuk intervensi politik dalam birokrasi dan penormalan deviasi tatakelola pemerintahan.
Shohibul juga menyoroti pentingnya keberfungsian pengawasan eksternal yang efektif oleh KASN. Apalagi dalam konteks maraknya jual beli jabatan dan praktik nepotisme di era otonomi daerah.
“KASN harus tetap diberi ruang untuk mengawasi proses mutasi dan promosi jabatan agar sistem merit tetap terjaga. Penghapusan KASN dalam UU ASN terbaru justru langkah mundur bagi reformasi birokrasi,” tegasnya.
Minta Bobby Konsisten pada Aturan
Shohibul menegaskan, Bobby Nasution harus konsisten pada aturan dan mengedepankan transparansi. “Jangan sampai semangat akselerasi pembangunan justru mengorbankan prinsip meritokrasi dan profesionalisme ASN. Semua kebijakan harus mengacu pada regulasi dan best practice tata kelola publik,” ujarnya.
Ia menambahkan, reformasi birokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika kepala daerah berani tunduk pada aturan dan menghindari praktik-praktik subjektif.
“Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang adil, transparan, dan akuntabel, bukan birokrasi yang ditundukkan secara subjektif kepada pengabdian menyimpang demi kepentingan sesaat,” pungkas Shohibul.*
- Dinsos Sumut tak Pernah Terbitkan Rekomendasi Izin Undian Berhadiah di Cemara Square Komplek Cemara Asri – Juni 2, 2025
- Pegang Payudara Perempuan, Pegawai Restoran TTS Sergai Dilaporkan ke Polisi – Mei 30, 2025
- Di Hadapan Pengunjukrasa Ribuan Massa Al Washliyah, Wabup Deliserdang: Ini Kabupaten Nahdiyin – Mei 26, 2025