Oleh : Dr. Anang Anas Azhar, MA
Menjelang akhir jabatan DPR periode 2014-2019 pada Selasa (1/10/2019) dan pelantikan DPR periode 2019-2024, suasana politik Indonesia benar-benar terusik. Terusik, karena geliat politik di tataran elit kita, baik politisi di senayan maupun mahasiswa saling mempertahankan argumennya, terlebih terkait polemik revisi UU KPK dan beberapa poin RKUHP yang dilematis.
DPR melalui hak inisiatifnya telah memparipurnakan revisi UU KPK. Prosesnya memang sangat singkat dan berjalan mulus di tingkat DPR. Hanya dalam waktu 12 hari, DPR sukses tetapi terkesan kejar tayang untuk mengebut di akhir jabatannya, dan akhirnya sukses menggelar paripurna pengesahan revisi UU KPK dengan memasukkan delik korupsi pada revisi itu. Begitu berkas hasil paripurna DPR diserahkan kepada Presiden Jokowi, atas dasar pertimbangan politik dan hukum, Jokowi menunda penandatangan revisi UU KPK tersebut. Fakta yang sama juga terjadi terhadap RKUHP beberapa bidang yang akhirnya ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan.
Bola panas kini tertumpu kepada Presiden Jokowi. Presiden seakan dihadapkan kepada polemik dua kiblat yang saling berseteru. Satu sisi, DPR hanya ingin menyelamatkan lembaga KPK agar tetap kuat (strong), tetapi di sisi lain rakyat kita termasuk mahasiswa menggangap revisi UU KPK itu justru bagian bentuk pelemahan KPK dalam menjalankan tugasnya. Seperti tidak ada beban politik nampaknya kalangan DPR periode 2014-2019 yang segera mengakhiri jabatannya. Mengapa demikian? Karena sebagian besar anggota DPR periode tersebut hanya ingin lepas tangan, aji mumpung di akhir jabatan untuk menunjukkan “giginya” bekerja sesuai salah satu tupoksinya yakni fungsi legislasi. DPR sesungguhnya tidak salah dalam tufoksinya, karena usulan revisi UU KPK dan RKUHP lainnya juga aspirasi yang disampaikan rakyat Indonesia.
Melihat fakta politik yang terjadi saat ini. Mengapa sebagian rakyat kita menolak revisi UU KPK dan RKUHP itu? Ini tidak terlepas dari gerakan “senyap” di belakang panggung. Masih ada kelompok yang tidak senang revisi UU KPK tersebut. Misalnya dari internal KPK sendiri. Ini dibuktikan melalii aksi unjukrasa yang dilakukan pimpinan KPK dan pegawai KPK beberapa waktu silam. Dengan tegas KPK menolak revisi UU KPK. Tetapi DPR tidak menghiraukan aksi unjukrasa tersebut, DPR justru lebih memilih memparipurnakannya dan akhirnya gerakan menolak revisi UU KPK itupun berjalan massif melalui gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia. Gerakan massif mahasiswa itu justru terbilang murnis, meski berjalan ditanggap petugas keamanan yang sangat refresif hingga akhirnya memakan korban jiwa. Apa yang diperjuangkan mahasiswa dalam unjukrasanya, bukan meminta menunda revisi UU KPK dan RKUHP itu lagi, tetapi sudah lebih kepada gerakan untuk mencabut dan membatalkan revisi UU KPK dan RKUHP itu.
Langkah Politik Jokowi
Konflik DPR dengan elemen aksi ujukrasa mahasiswa dalam beberapa hari terakhir semakin tidak terkendali. Korban pun berjatuhan, apakah tewas atau luka-luka. Gerakan mahasiswa berjalan massif di sejumlah PTN/PTS, dikhawatirkan jika tidak diambil langkah-langkah preventif, bisa jadi kondisi politik Indonesia pasca pilpres akan chaos. Melihat konflik ini, presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan terlihat galau. Kegalauan nyata terlihat ketika presiden lamban mengambil sikap politik untuk mengatasi perseteruan yang terjadi. Lantas bagaimana langkah politik Jokowi dalam mengatasi konflik berkepanjangan ini?
Sejumlah langkah politik sudah dilakukan Jokowi mulai direalisasi. Termasuk melakukan public hearing kepada para stakeholder, apakah cendekiawan, tokoh lintas agama, atau bahkan kalangan akademisi. Presiden meminta para stakeholder ini memberikan masukannya guna mengatasi gejolak yang terjadi. Usulan pun bermunculan, salah satunya adalah para stakeholder mengusulkan kepada presiden menerbitkan Perppu untuk mengamankan revisi UU KPK dan RKUHP yang ada. Diharapkan Perppu itu akan memperkecil gejolak yang terjadi di masyarakat. Usulan ini dinilai baik, tetapi sebagai kepala negara presiden masih mempertimbangkan hal itu. Banyak hal yang patut dipertimbangkan termasuk aspek pendekatan hukum politiknya dan aspek komunikasi politik.
Langkah lain yang dilakukan presiden bertemu dengan perwakilan mahasiswa di Istana Negara. Pertemuan ini gagal dilakukan. Kenapa gagal? Dalam perspektif komunikasi politik, pesan komunikasi politik dari kedua belah pihak belum sama. Pesan yang disampaikan belum nyambung, akhirnya pertemuan yang sejatinya digelar ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan. Upaya yang dilakukan ini, hemat penulis sebagai langkah awal Jokowi dalam mengambil sikap politik. Kegalauan yang sedang menghantui presiden atas kondisi politik sedikit teratasi. Setidaknya pesan politik yang diusulkan akan mempermudah langkah politik Jokowi menerbitkan Perppu atau tidak. Presiden bukan berjalan sendiri lagi. Atas masukan berbagai elemen dalam mengambil keputusan itu, Jokowi tetap kuat dan percaya diri di hadapan rakyat. Demi penyelamatan bangsa ini, Jokowi harus mengambil keputusan politik tegas, meski keputusan politik itu bersifat populis. Andai diambil langkah politik Jokowi secepatnya, rakyat kita menganggap Jokowi itu bukan pemimpin kaleng-kaleng. Jokowi peduli atas penderitaan, jeritan rakyatnya di tengah hukum politik yang sedang bergejolak.
Hemat penulis, jika Jokowi lamban bersikap mengambil langkah politik terhadap gejolak yang terjadi, dikhawatirkan akan mengancam kepemimpinan Jokowi pada periode kedua yang akan dilantik 20 Oktober 2019 nanti. Di akhir jabatan periode pertama presiden ini, setidaknya presiden mampu menorehkan prestasi dalam bidang hukum politik. Sebab, ada beberapa analisis politik mengapa presiden belakangan ini terutama pasca pilpres 2019 komunikasi politiknya tersumbat? Ini dikarenakan presiden tampak di permukaan menutup diri, komunikasi politik kepada rakyat pun terhambat. Akhirnya, reaksi pasar politik di negeri ini muncul bervariasi menanggapi sikap Jokowi dalam mengatasi masalah terlebih konflik hukum politik seperti revisi UU KPK dan RKUHP.
Rakyat kita sedang menanti sikap politik Jokowi. Langkah-langkah politik yang diambil tentunya tidak mendiskriminasi sekelompok orang saja, melainkan untuk kepentingan bersama. Sebagai presiden terpilih untuk periode 2019-2024, bukan saatnya lagi Jokowi berpikir parsial untuk kepentingan parpolnya, pendukungnya, atau bahkan tim suksesnya semata, tetapi lebih jauh dari itu untuk kemaslahatan 265 juta penduduk Indonesia.**
** Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Kebangsaan dan Keummatan (LK3) UINSU Medan dan Dosen Mata Kuliah Komunikasi Politik Pascasarjana UINSU dan UMSU Medan **