Menanti Keadilan dari Majelis Hakim

Hakim
Majelis hakim saat menyidangkan perkara dugaan tipikor pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU.

(Terkait Kasus Pembangunan Gedung Kuliah Terpadu UINSU)

Hakim
Majelis hakim saat menyidangkan perkara dugaan tipikor pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU.

Asaberita.com, Medan – Persidangan kasus pembangunan gedung kuliah terpadu Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), sudah akan memasuki tahap pembacaan keputusan dari majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan.

Jika tidak ada pengunduran, dijadwalkan pada Senin, 29 November 2021, putusan atas perkara itu dengan terdakwa Prof Dr Saidurrahman MAg (mantan Rektor UINSU/KPA), Drs Syahruddin Siregar MA (PPK), dan Joni Siswoyo (kontraktor / Dirut PT Multikarya Bisnis Perkasa), akan dibacakan majelis hakim yang terdiri dari Syafril Pardamean Batubara, Jarihat Simarmata dan Saut Maratua Pasaribu.

Bacaan Lainnya

Ketiga terdakwa dituntut pidana dan denda oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Medan dengan Dakwaan Kedua (Subsidair/alternatif) dengan tuduhan secara bersama-sama dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi, untuk menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya sehingga menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara, sebagaimana diatur pada Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Sedangkan Dakwaan Pertama (Primair) yang didakwakan kepada ketiga terdakwa, yakni Pasal 2 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dalam pembacaan tuntutannya JPU mengatakan tidak terbukti.

Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU ini, menyita perhatian banyak pihak. Karena kasus ini dinilai tidaklah murni pidana, tetapi kental ada nuansa politis di dalamnya. Prof Dr Saidurrahman MAg sebagai seorang ulama besar, tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat di Sumatera Utara, terkesan telah dikriminalisasi.

Betapa tidak, kasus ini mencuat ke permukaan pada saat terjadi suksesi rektor di UINSU, dimana ada 5 kandidat calon rektor bertarung, termasuk Prof Dr Saidurrahman sebagai incumbent dan merupakan calon terkuat.

Semakin kuatnya aroma politis dan kriminalisasi dalam kasus ini, karena penetapan tersangka terhadap Saidurrahman dan 2 tersangka/terdakwa lainnya oleh penyidik Polda Sumut, tepat 1 hari menjelang acara pelantikan Prof Dr Saidurrahman sebagai Rektor UINSU priode ke 2 oleh Menteri Agama RI di Jakarta. Sehingga timbul kesan semacam ada “pesanan” pihak tertentu kepada penyidik Polda Sumut untuk “menjegal” dan “mengkriminalisasi” Prof Saidurrahman agar tidak menjabat kembali sebagai Rektor UINSU dan membuka peluang pada “calon lain” mendapatkan jabatan itu.

Fakta-Fakta Persidangan

Berdasarkan fakta-fakta persidangan selama kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Medan, tidak ada satupun alat bukti baik berupa dokumen maupun surat serta keterangan saksi-saksi yang dihadirkan jaksa di persidangan, bisa membuktikan Prof Saidurrahman (KPA) dan Syahruddin (PPK) terbukti secara sah dan menyakinkan dengan sengaja telah melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi dengan menyalah gunakan jabatan dan wewenang yang dimilikinya sehingga menimbulkan kerugian negara.

Tidak juga ada bukti bahwa kedua terdakwa ini ada memerintahkan atau mempengaruhi Panitia Pokja untuk memenangkan perusahaan tertentu sebagai rekanan. Tidak juga ada menerima suap atau aliran-aliran dana lain terkait pembangunan gedung kuliah terpadu itu.

Segala dakwaan JPU kepada kedua terdakwa itu (Saidurrahman dan Syahruddin) pada persidangan juga terbantahkan, baik melalui keterangan saksi fakta, saksi ahli, maupun bukti surat dan dokumen.

Penasehat Hukum (PH) Syahruddin yang terdiri dari Kamaluddin Pane SH MH, Ranto Sibarani SH dan Yudhi Syahputra Sibarani SH dari Kantor Hukum Kamal Pane SH MH & Associates, pada pembuka Nota Pembelaannya atas Perkara Nomor 54/Pid.Sus.TPK/2021/PN MDN a/n. Drs Syahruddin Siregar MA yang dibacakan pada persidangan Kamis, 18 November 2021, menyatakan: “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Ungkapan itu disampaikan karena tidak adanya bukti fakta dan data bahwa Syahruddin ada memerintah ataupun mengarahkan Panitia Pokja yang melakukan pelelangan memenangkan perusahaan tertentu karena adanya suatu imbalan. Tidak juga Syahruddin ada menerima aliran-aliran dana dari rekanan atau pihak lain terkait proyek itu yang dapat digolongkan pada perbuatan korupsi.

Sehingga, Syahruddn melalui penasehat hukumnya meminta majelis hakim menolak segala dakwaan dan tuntutan JPU serta memberi putusan bebas padanya.

Hal yang sama, Saidurrahman saat membacakan pembelaan pribadinya serta pembelaan yang dibacakan penasehat hukumnya Sofwan Tambunan SH MH dari kantor Advocat Sofwan Tambunan & Rekan yang beralamat di Jalan Hindu Medan, meminta majelis hakim membebaskannya dari segala tuntutan dan memberi putusan bebas serta memulihkan kembali nama baiknya. Hal itu didasari pada fakta-fakta persidangan bahwa Saidurrahman tidak bersalah.

Penasehat hukum Saidurrahman dan penasehat hukum Syahruddin Siregar, sama-sama menyebutkan bahwa adanya dugaan kerugian negara pada pembangunan gedung kuliah terpadu itu, disebabkan karena adanya perbedaan penilaian antara Konsultan Manajemen Konstruksi (KMK) PT Kanta Karya Utama dengan penilaian tim dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Tim ahli KMK dari PT Kanta Karya Utama (KKU) yang dikontrak penyedia pekerjaan (UINSU) melalui tender sebagai konsultan pengawas dan penilai pada proyek itu, pada 20 Desember 2018, memberi penilaian bahwa progres pekerjaan proyek sudah 91,07%. Atas penilaian dari KMK itu, pihak UINSU melakukan termin pembayaran sesuai progres pekerjaan yakni 91,07% kepada kontraktor PT Muktikarya Bisnis Perkasa (MBP).

Sementara tim dari ITS yang dikontrak pihak penyidik Polda Sumut pada tahun 2020 untuk melakukan audit pemeriksaan memberi penilaian 74,17% atas pekerjaan proyek itu. Meski mereka mengakui bahwa bangunan gedung telah selesai 100% dan kondisi bangunan layak untuk digunakan.

Terungkap pada persidangan, letak perbedaan penilaian antara KMK dan ITS adalah pada dihitung atau tidak dihitungnya material on site (MOS) yang sudah tersedia di lokasi proyek namun belum terpasang atau belum dapat difungsikan. KMK menghitungnya karena ada dalam perjanjian kontrak dan ada ketentuannya pada peraturan Pengadaan Barang / Jasa, sementara tim dari ITS tidak menghitungnya.

Padahal material on site yang ada di lokasi, telah dibeli kontraktor dari vendor dan suplayernya. Lift misalnya sebagai salah satu material on site, telah dibeli senilai Rp2,3 miliar dari suplayer. Tapi karena belum bisa difungsikan, tidak dihitung sama sekali oleh tim ITS. Demikian juga dengan AC, pompa air dan sejumlah material on site lainnya yang belum bisa difungsikan, tidak dihitung oleh tim ITS, sehingga muncullah perbedaan dalam penilaian progres. Lalu apakah penilaian progres pekerjaan dari KMK sebesar 91,07% yang turut menghitung material on site salah? Sebab penilaian itulah yang dipedomani pihak UINSU dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan kepada kontraktor.

BACA JUGA :  Rektor Target 10 Persen Mahasiswa Asing Kuliah di UINSU

Jika salah, kenapa tidak ada satupun pihak KMK dari PT KKU yang diproses hukum, baik direktur utamanya maupun tim ahlinya yang bertanggungjawab di lapangan.

Lalu, apakah penilaian penghitungan dari ITS yang paling benar berita acara laporan pemeriksaan dari ITS lah yang dimintakan penyidik Polda Sumut agar diaudit BPKP untuk menghitung kerugian negara, yang oleh BPKP ditetapkan terjadi kerugian negara sebesar Rp10.350.091.337,98.

Audit ITS dan BPKP Bertentangan dengan Sejumlah Aturan

Ternyata, dipersidangan terungkap, peniliaan ITS yang tidak menghitung material on site bertentangan dengan PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, dimana material on site wajib dihitung sebagai barang yang telah tersedia karena telah dikeluarkan anggaran untuk pengadaannya. Demikian juga dalam aturan pengadaan barang dan jasa, material on site harus dihitung serta dimasukkan dalam klausul pada perjanjian kontrak.

Demikian juga dengan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara BPKP Provinsi Sumatera Utara tanggal 14 Agustus 2020 atas dugaan penyimpangan pekerjaan pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU TA 2018, bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang BPK serta SEMA No. 4 Tahun 2016, dimana instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional. Sedangkan BPKP/Inspektorat/SKPD tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara.

Saksi ahli Sudirman SE, SH, MM, mantan auditor BPKP yang dihadirkan penasehat hukum Syahruddin di persidangan, mengatakan, audit yang dilakukan BPKP dalam kasus ini tidak berdasarkan Standar Pemeriksaan, dan itu bertentangan dengan Pasal 1 Angka 1 UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yang mewajibkan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan.

Dalam pembuatan laporan hasil audit, BPKP tidak melakukan koordinasi dengan BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Utara yang melakukan Audit Rutin ataupun BPK Pusat yang melakukan Audit terhadap APBN di Kementerian Agama ataupun Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Hal ini bertentangan dengan Standar Pelaksanaan Audit Intern Angka 3050 – tentang melakukan koordinasi yang berisi : Pimpinan APIP harus melakukan koordinasi dengan, dan membagi informasi kepada, auditor eksternal dan/atau auditor lainnya.

BPKP juga tidak melakukan Pengujian Bukti yaitu tidak melakukan komunikasi berupa klarifikasi kepada pihak-pihak terkait tentang kebenaran isi Berita Acara Pemeriksaan yang diterima dari Penyidik. Hal ini bertentangan dengan Standar Komunikasi Audit Intern Angka 4020 yaitu : Komunikasi yang objektif adalah adil, tidak memihak, tidak bias, serta merupakan hasil dari penilaian adil dan seimbang dari semua fakta dan keadaan yang relevan. Kredibilitas suatu laporan ditentukan oleh penyajian bukti yang tidak memihak, sehingga pengguna laporan hasil audit dapat diyakinkan oleh fakta yang disajikan.

BPKP tidak juga meminta tanggapan pejabat UINSU yang bertanggung jawab atas kesimpulan dan tidak memasukkan atau dilampirkan dalam laporan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 Ayat 4 UU No.15/2004.

Selain itu, sesuai ketentuan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, pada Pasal 1 angka 22, tegas menyatakan Kerugian Keuangan Negara harus nyata dan pasti jumlahnya. Sementara, bukti kerugian negara yang ditetapkan BPKP tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya, karena metode penghitungan kerugian keuangan negara BPKP tidak benar.

Sesuai laporan kerugian keuangan negara
BPKP pada halaman 21 angka 8, metode penghitungan dengan mengurangkan nilai pembayaran kontrak (termasuk PPN) sebesar Rp.44.973.352.461 dengan nilai realisasi pekerjaan sesuai penilaian ITS yakni 74,17% (termasuk PPN) dikurangi selisih nilai pajak yang telah
disetor.

BPKP dalam laporan hasil penghitungan kerugian negara, tidak menghitung raw material atau barang yang telah tersedia namun belum terpasang (material on site) di gedung kuliah terpadu.

BPKP juga tidak menghitung dana jaminan akhir tahun dan retensi yang disetorkan kontraktor ke BJB senilai Rp4,016 miliar yang telah dicairkan Perbendaharaan Negara pada tanggal 13 Januari 2019 untuk menghindari terjadinya kerugian negara karena pekerjaan gedung belum selesai, dan PPK memutus kontrak pekerjaan karena kontraktor wan prestasi.

Karena tidak dihitungnya raw material atau material on site, serta tidak dihitungnya dana jaminan Rp4,016 miliar yang telah kembali ke kas negara dan kembali dimasukkan dalam DIPA UINSU TA 2019, sehingga kerugian keuangan negara pada pembangunan gedung kuliah terpadu itu tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya.

Sehingga, laporan hasil audit kerugian negara BPKP yang mendeclar ada kerugian negara Rp10,3 miliar dinilai cacat hukum karena tidak sesuai dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan.

Dan karena laporan hasil audit BPKP itu juga tidak dikoordinasikan dengan BPK, tidak ada tagihan pengembalian kerugian negara yang dikeluarkan BPK maupun Kementrian Keuangan kepada pihak yang bertanggungjawab bila terjadi kerugian negara.

Tetapi, meski hasil penilaian ITS dan audit BPKP bermasalah karena tidak sesuai dengan sejumlah aturan, tetapi penyidik Polda Sumut tetap memaksakannya untuk menetapkan tersangka kepada Saidurrahman, Syahruddin dan Joni Siswoyo, sehingga Saidurrahman mengatakan penyidik Polda Sumut telah mengkriminalisasi dirinya serta Syahruddin selaku PPK nya.

Dan, hasil penilaian ITS serta audit BPKP itu juga menjadi dasar JPU mendakwa dan menuntut para terdakwa telah merugikan keuangan negara, meski sebenarnya tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.

Tidak adanya kerugian negara pada pembangunan gedung kuliah terpadu itu karena progres pekerjaan sudah 91,07 % berdasar penilaian KMK yang dikontrak dan bertanggungjawab melakukan pengawasan dan memberi penilaian progres pekerjaan. Kemudian, meski gedung tidak selesai karena kontraktor wan prestasi dan PPK memutus kontrak pekerjaan, dana untuk penyelesaian pekerjaan tersisa yakni 8,93% senilai Rp4,016 miliar telah dicairkan dan kembali ke kas negara pada 13 Januari 2019 serta masuk dalam DIPA UINSU TA 2019.

Tetapi, meski sebenarnya tak ada kerugian negara, penyidik Polda Sumut meminta para tersangka utamanya Dirut PT MBP untuk mengembalian dana Rp10.350.091.337,98, yang disebut sebagai kerugian negara agar kasus tidak dilanjutkan.

Prof Saidurrahman kemudian mendahulukan pengembaliannya menggunakan dana pribadi dari menjual sejumlah aset dan meminjam dari beberapa temannya. Pengembalian itu dilakukan bukan karena Prof Saidurrahman telah mengkorupsi dana sebesar itu sehingga pembangunan gedung tidak selesai, tetapi dengan niat untuk menjaga marwah lembaga UINSU dan agar pencalonannya sebagai Rektor UINSU saat itu tidak terganggu. Selain itu, Joni Siswoyo selaku Dirut PT MBP juga sudah membuat perjanjian tertulis kepada PPK akan mengembalikan dana itu.

BACA JUGA :  KNPI : Ada Fitnah Jahat Terhadap Kabaharkam Polri

Terkait Dana Rp2 Miliar

Sementara terkait dana Rp2 miliar yang didakwakan jaksa sebagai suap kepada Saidurrahman (KPA) dari Joni Siswoyo melalui Direkturnya Marhan untuk memuluskan PT MBP sebagai pemenang proyek dan memuluskan pembayaran pekerjaan, di dalam persidangan telah terbantahkan.

Dana Rp2 miliar itu di persidangan terungkap ternyata adalah dana yang dipinjam Kasubbag Umum dan Wakil PPK Marudut Harahap pada pertengahan Desember 2918 kepada Joni Siswoyo melalui Marhan Hasibuan atas perintah WR 2 Dr Muhammad Ramadhan, namun mengatasnamakan KPA, Prof Dr Saidurrahman.

Dana itu diserahkan Joni Siswoyo kepada Marhan. Oleh Marhan diserahkan kepada Marudut Harahap melalui stafnya bernama Yusuf. Kamudian atas perintah Marudut dana itu diserahkan Yusuf ke Bendahara UINSU Moncot Harahap (Bena) dalam 2 kantong plastik warna hitam.

Berdasar kesaksian Moncot Harahap alias Bena di muka persidangan, dana yang diserahkan Marudut Harahap melalui Yusuf itu, adalah pengembalian pinjaman uang muka kegiatan di Bagian Umum oleh Marudut Harahap yang tidak ada laporan pertanggungjawaban kegiatannya. Hal itu dibuktikan oleh Bena dengan menunjukkan sejumlah kwitansi pinjaman dan bon faktur yang ditandatangani Marudut maupun stafnya.

Dana Rp2 miliar itu dijelaskan Bena kembali disetor ke kas BLU UINSU dan tidak ada sedikitpun diserahkan atau mengalir ke Saidurrahman dan Syahruddin.

Saidurrahman mengaku tidak pernah meminta Marudut untuk meminjam dana, dan ia baru mengetahui persoalan itu setelah adanya Somasi dari Joni Siswoyo ke UINSU untuk mengembalikan dana pinjaman Rp2 miliar.

Untuk menjaga nama baik UINSU, Saidurrahman kemudian mengembalikan dana Rp2 miliar itu melalui stafnya Dr Iwan Nasution kepada Joni Siswoyo melaui Marhan. Setelah kejadian itu, Saidurrahman pun memberi sanksi disiplin berupa mendisfungsi WR 2 Dr Muhammad Ramadhan dan memutasi Marudut Harahap.

Adanya pengembalian dana yang dipinjam Marudut oleh Saidurrahman diakui Marhan dan Joni Siswoyo serta dibuktikan adanya kwitansi pengembalian dan Joni Siswoyo menyatakan telah mencabut kembali surat somasinya.

Jadi sangat nyata dan terang benderang, dana Rp2 miliar itu bukanlah dana suap dari Joni kepada Saidurrahman ataupun kepada Syahruddin untuk memuluskan PT MBP sebagai pemenang tender dan memuluskan pembayaran pekerjaan. Tetapi, karena Marudut “menjual” nama KPA untuk mendapatkan pinjaman, sehingga Saidurrahman terseret dan diduga telah menerima suap.

KPA dan PPK Tidak Bersalah

Dari berbagai fakta dan data yang diungkap dipersidangan serta keterangan dari 35 orang saksi, KPA dan PPK tidaklah bersalah atas tidak selesainya pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU.

KPA dan PPK telah menjalankan perannya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa. Tidak selesainya pembangunan gedung merupakan tanggungjawab kontraktor PT MBP. Karena telah wan prestasi, maka PPK memutus kontrak pekerjaan. Hal itu diakui oleh Joni Siswoyo di persidangan. Diakuinya tidak selesainya pembangunan gedung kuliah itu karena kesalahan pihaknya disebabkan adanya persoalan internal perusahaan. Direktur yang ia percaya dilapangan untuk menyelesaikan pekerjaan proyek yakni Marhan, tidak menjalankan arahannya meski dana untuk penyelesaian pekerjaan telah diberikan pada Marhan.

Dan terkait pembayaran hasil pekerjaan kepada kontraktor, pihak UINSU juga telah menjalankan sesuai ketentuan yang berlaku dan berdasar hasil penilaian dan rekomendasi dari KMK.

Dalam kasus ini, dari fakta persidangan negara malah untung. Potensi kerugian negara karena tidak selesainya pembangunan gedung telah tertutupi dengan dicairkannya dana jaminan sisa hasil pekerjaan akhir tahun dan retensi senilai Rp4,016 miliar.

Keuntungan negara didapat dari pajak yang telah disetorkan sebesar lebih Rp4 miliar, dan adanya setoran pengembalian ke kas negara sebesar Rp10,3 miliar oleh Saidurrahman. Sementara, tidak ada tagihan pengembalian kerugian negara yang dikeluarkan Kementerian Keuangan.

Kasus ini harusnya tidak berlanjut hingga ke persidangan serta adanya penahanan pada para terdakwa, utamanya kepada Saidurrahman dan Syahruddin, karena tidak ada unsur tindak pidana yang dilakukan keduanya sehingga harusnya tidak dapat dituntut telah melakukan tindak pidana secara bersama-sama merugikan keuangan negara, karena tidak ada keuangan negara yang dirugikan.

Ahli hukum pidana dari USU, Dr Panca Sarjana Putra SH MH, berpendapat bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana bersifat individual. Ranah pertanggungjawaban pidana tertuju hanya kepada seseorang yang bersalah dan tidak boleh ditujukan kepada orang lain yang tidak terlibat sama sekali dalam tindak pidana atau tidak bersalah sama sekali. Dengan demikian, kesalahan seseorang tidak bisa ditimpakan kepada orang lain yang tidak bersalah.

Sementara, ahli pengadaan barang dan jasa, Edi Usman ST MT AU, mengatakan berdasarkan Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka Jasa Konstruksi merupakan Hukum Keperdataan. Apabila terjadi permasalahan hukum, maka harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaian menurut ketentuan hukum keperdataannya. Penyelesaikan melalui langkah hukum pidana baru bisa dilakukan setelah tidak ada penyelesaian secara keperdataan.

Dan atas kasus ini, Edi Usman berpendapat harusnya perkara ini tidak lagi dibawa ke ranah pidana jika tidak ada kepentingan tertentu dan terselubung, karena secara perdata telah terselesaikan. Potensi kerugian negara yang bisa terjadi mengacu penilaian KMK telah tertutupi dengan dicairkannya dana jaminan. Dan adanya kerugian negara menurut penilaian ITS dan audit BPKP juga telah terselesaikan dengan adanya pengembalian dana Rp10,3 miliar oleh Saidurrahman.

Jadi, versi penilaian manapun yang diambil, negara tetap tidak rugi dan malah untung. Jika versi penilaian KMK yang dipakai, negara untung Rp10,3 miliar ditambah pajak yang sudah disetor. Dan jika versi penilaian ITS dan audit BPKP yang dipakai, negara untung Rp4,016 miliar dari dana jaminan kontraktor yang telah dicairkan, ditambah material on site di lokasi proyek yang belum terpasang yang nilainya tidak dihitung oleh tim dari ITS dan BPKP, serta pajak yang telah disetorkan senilai Rp4 miliar lebih.

Kini, kebijaksanaan dari majelis hakim lah yang ditunggu untuk menilai dan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, dengan mempertimbangkan seluruh bukti dan fakta persidangan. Semua pihak tentu berharap, majelis hakim bisa mengetok palu dan memutus menghukum orang yang terbukti benar-benar bersalah serta memutus bebas terhadap orang yang tidak terbukti bersalah. Semoga, keadilan bisa terwujud dalam perkara ini.

(Penulis Hasan Basri, wartawan dan tinggal di Medan)

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *