Scroll untuk baca artikel
#
Opini

Menjemput Takdir Kemenangan Fastabiqul Khairat

×

Menjemput Takdir Kemenangan Fastabiqul Khairat

Sebarkan artikel ini
Jiarahi Makam Waliyullah al-Marhum Sunan Kali Jaga Demak Jateng. (foto/msj)
Jiarahi Makam Waliyullah al-Marhum
Sunan Kali Jaga Demak Jateng. (foto/msj)

Oleh : Salahuddin Harahap MA

 

Perlombaan atau hasrat berlomba telah menjadi salah satu tradisi-alamiah atau “hoby yang melekat”  dalam diri manusia yang diperolehnya bersama dengan penciptaannya. Terdapat sejumlah idiom teologis yang mendukung pandangan tersebut di antaranya:

Alquran Surah Al Maidah ayat 2, yang artinya : “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan / pelanggaran. Alquran Surat  Albaqarah 148: Berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan; Alquran Surat Al-Hadiid ayat 21, yang artinya “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.

Karena posisinya sebagai “Tradisi-Takwiniyah” pada diri manusia, maka dipandang penting untuk dapat memahami secara baik hakikat perlombaan tersebut agar dapat mengikutinya secara etis dan sportif serta  mampu menyikapi dampak-dampak yang mungkin diakibatkannya.

Perlombaan sejatinya merupakan salah satu metode untuk meraih kesempurnaan atau menaiki anak tangga menuju kesempurnaan sebagai hamba,  karena hakikat kehidupan adalah perjalanan menuju kesempurnaan (al-insan al-kamil) sehingga kondisi-kondisi yang dialami secara silih berganti tidak lebih dari sekadar jajaran fase dan ritme yang mesti dilalui untuk sampai ke tujuan akhir itu.

Penting disadari bahwa perlombaan ini tidak mengharuskan pesertanya menjadi “kontestan” untuk kemudian setiap orang memandang seliannya sebagai saingan atau kompetitor. Para peserta perlombaan ini disebut sebagai “al-Saalik” atau “Musafir” sehingga setiap orang melihat yang lain sebagai fathner atau mitranya. Memandang orang sebagai fathner dalam perjalanan ini baru bisa terjadi, ketika seorang “al-Salik” mampu mengenali secara baik serta menegaskan apa yang seharusnya tujuan lalu menjadikannya sebagai tujuan. Bukannnya malah menempatkan apa yang semestinya menjadi sarana antara (target antara) sebagai tujuan.

Jika seorang “al-Salik” dapat memandang bahwa kesempurnaan-lah yang menjadi tujuan akhir (ultimete goal) dari perjalanan ini, sedangkan kesempurnaan itu sendiri bersifat universal luas dan tanpa batas — maka tidak perlu ada persaingan atau kompetisi dalam arti “berebut” dalam pencapaian tujuan tersebut sebab sejatinya dia tanpa terbatas dimana keberadaanya jauh lebih luas dari kebutuhan bahkan harapan para pengharapnya. Karenanya, “kecele-lah” orang yang memandang saudaranya sebagai saingan dalam perjalanan menuju kesempurnaan.

BACA JUGA :  Menjamah Politik Emosional

Betapa pun ini bukan persaingan karena hakikatnya adalah perjalanan “al-hayaat hiya al-safr” tetapi dibutuhkan berbagai persiapan dan bekal dalam menapakinya. Dalam konteks kehidupan sosial, bekal  itu bukanlah sekadar do’a, semangat dan hasrat, melainkan lebih konkrit dapat berupa kekuasaan, kedudukan, jabatan, kehormatan, kecerdasan hingga kekayaan harta benda yang kesemuanya merupakan sarana yang dibutuhkan dalam menempuh perjalanan.

Terkadang, sementara kita telah secara keliru memposisikan sarana-sarana ini sebagai tujuan hidupnya. Padahal mengasumsikan sarana sebagai tujuan segera akan merobah paradigma dan cara pandang terhadap seseorang dari “sebagai fathner atau mitra” menjadi “sebagai saingan atau kompetitor”. Ketika yang menjadi tujuan (semu) memiliki aspek keterbatasan baik jumlah, peluang, ruang maupun kesempatan, maka ia berpeluang memasuki hukum pasar (supply and demand) yang seterusnya mensyaratkan persaingan, kompetisi bahkan perebutan dan perang.

Lebih jauh, jika perlombaan ini telah diasumsikan sebagai kompetisi atau konstentansi— akan mensyaratkan ada yang kalah dan ada menang. Ketika kalah menang telah mewakili tingkat “ketercapaian tujuan”, maka kekalahan akan diasumsikan sebagai kehinaan dan kemenangan sebagai kemuliaan.

Pada saat “kemenangan diasumsikan sebagai kemuliaan” maka segala cara yang diduga dapat mewujudkan kemenangan akan diberi legitimasi benar — tentu dengan minjam kaidah “ma laa yatimmu al-waajib illaa bihi fawua wajib”— jika memperoleh kemuliaan hidup merupakan keniscayaan maka segala upaya mencapainya menjadi niscaya dilakukan.

Sebaliknya, ketika kekalahan diasumsikan sebagai kehinaan, maka segala upaya, cara dan stratag akan dilegitimasi sebagai upaya pemeliharaan kemuliaan diri bahkan tanpa mempedulikan lagi batas-batas rasio dan etis __ yang sejatinya dapat mengotori kemuliaan itu sendiri.

BACA JUGA :  Arab Saudi dan Sekutunya Diragukan Bela Palestina

Menghindarkan itu, al-Qur’an mulia mengisyaratkan, bahwa sebaik-baik bekal bagi seorang “al-Saalik” adalah “Ketakwaan”, sebab ketakwaan-lah yang akan menghantarkan kepada kesempurnaan. Paradigma ini didasarkan pada asumsi bahwa “kemuliaan hanya akan diperoleh dengan kemuliaan”— sehingga, jika tujuan hidup adalah perolehan kesempurnaan–yang juga bermakna kemuliaan, maka pencapaiannya harus pula melalui perjalanan berbekal takwa — yang juga bermakna kemuliaan.

Mengasumsikan, bahwa tujuan hidup adalah kesempurnaan dan bekal menujunya adalah ketakwaan– telah mampu mendegradasi keseluruhan sarana agar menjadi sebatas sarana. Adapun persaingan atau kompetisi perebutan sarana (kedudukan, jabatan, kepercayaan orang, kekayaan) menjadi tidak memiliki eksistensi vis a vis hakikat perjalanan seorang “al-Saalik” dalam menuju kesempurnaan.

Penutup

Lewat asumsi ini, maka predikat kalah-menang dalam perjalanan lebih pada cepat-lambatnya seseorang dalam pencapaian kesempurnaan serta istiqamah-tidaknya ia dalam memeprtahankan derajat kesempurnaan yang telah dicapainya itu. Dengan begitu kalah-menang dalam persaingan atau kompetisi atas yang bernama sarana tidak selalu korelatif dengan kalah-menang dalam perlombaan ketika meraih kesempurnaan.

Lebih jauh, asumsi ini akan ditemukan adanya suatu perlombaan dimana pesertanya bisa secara bersama-sama dapat meraih kemenangan, tentu ketika setiap orang memperloleh kemajuan atau peningkatan dalam pencapaian derajat kesempurnaan dan kemuliaan dari setiap  aktifitas di kehidupan ini, dan inilah yang mau disebut sebagai “Menang-Menang” — bukan sama-sama mengkalim menang. Wallahu A’lamu bi al-Shawaab. ** msj

 

** Penulisa adalah Dosen Filsafat UIN Sumatera Utara **

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *