Oleh : Prof Dr Saidurrahman MAg
Secara normatif agak sulit kita menelusuri tradisi teologis bahkan tradisi fikih yang dianut oleh Bung Karno. Dalam konteks ke-Indonesiaan misalnya, ada kalanya Bung Karno dapat dilihat sebagai seorang pengikut tradisi NU yang kuat. Tetapi pada kesempatan lain tampak sebagai pengikut Muhammadiyah sejati, bahkan terkadang pengikut aliran Tasawuf dan Tarekat.
Dalam beberapa pidatonya tentang Islam dan Pancasila, Bung Karno sering menyebut-nyebut istilah ‘Api Islam’ — “ambillah apinya dan buanglah debunya”. Dalam peta Pemikiran Islam— istilah ‘Api Islam’ biasanya disandarkan kepada gagasan Syed Amir Ali lewat karyanya berjudul “The Spirit of Islam” — diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Api Islam”.
Sebagai seorang mujaddid, tentu saja ide ‘Api Islam’ yang dikemukakan Bung Karno tidak mesti identik dengan gagasan Syed Amir Ali, meskipun dalam beberapa hal tampak ada kemiripan gagasan terutama dalam konteks progresifitas dan perluasan tafsir atas berbagai ajaran dan doktrin Islam.
Bagi Bung Karno, alam atau bumi Indonesia, bukan hanya kaya akan kandungan mineral, energi, logam, laut dan kekayaan fisik lainnya, tetapi juga subur dan kaya akan nilai-nilai kearifan (al-hikmah) bahkan, sebelum pun Islam dan agama lainnya hadir di Nusantara.
Penghuni Nusantara telah mewarisi tradisi kontemplasi (tapa)– sebagai suatu media membangun integrasi dengan alam (mikro-kosmos dengan makro-kosmos)– guna menyelaraskan antara nilai yang terkandung dalam diri-fithrah manusia dengan prinsip sunnatullah dan causalitas yang tertanam dalam alam atau bumi Nusantara ini.
Islam telah hadir di Nusantara dibawa oleh orang-orang yang mengenali ajaran Islam secara utuh. Mengerti mana substansi dan mana kreasi atau interpretasi. Bung Karno menyebut ‘api Islam’ terhadap yang substansi dan menyebut ‘debu Islam’ terhadap kreasi dan interpretasi. Disebut ‘api’ — karena ia menjadi energi kekal yang dapat menggerakkan Islam dan menjadikan ajaran Islam dapat menggerakkan peradaban dunia.
Sedangkan, sebutan debu karena sifatnya yang parsial, lokal, temporer sehingga mudah berobah, dapat menyusut bahkan hilang. Adapun Islam yang menyusup dan berinteraksi dengan keyakinan, budaya dan tradisi Nusantara– adalah ‘api Islam’ dan karena itulah tidak dapat terhindar dari sinkronisasi dan sinkritisasi.
‘Api Islam’ — bersumber dari Allah Swt dibumikan oleh Rasulullah Muhammad Saw– dan telah teraktualisasi secara baik di masa hidup al-Rasul secara khusus pada budaya dan dan tradisi Madinah kala itu.
‘Api Islam’ ini kemudian telah dibawa ke berbagai wilayah pada berbagai era yang menjadikan Islam dapat memimpin poros utama peradaban dunia (adidaya-adikuasa). Ketika ‘api Islam’ ini hadir di Nusantara, setidaknya ia dikemas dalam tiga (3) prinsip utama yakni; Pertama, Islam sangat mengutamakan kesamaan, kesetaraan yang berarti keadilan. Kedua, Islam dapat mengembang, meluas tetapi dapat pula menyempit dan menyederhana secara dinamis dan elastis. Ketiga, Islam adalah ajaran yang progresif bergerak tanpa henti ke arah yang lebih sempurna.
Ketiga prinsip ini menjadi sumber dari ‘api Islam’ yang masuk ke Nusantara– diterima dan didialogkan secara spiritual, filosofis, ilmiah dan empiris dengan berbagai budaya dan tradisi yang ada dan terjaga di kalangan masyarakat Nusantara.
Hasil dari dialog dalam berbagai dimensi dan tingkatan tersebut telah melahirkam sejumlah prinsip, nilai, norma hingga stayle yang dibutuhkan untuk melahirkan citra diri dan jati diri manusia. Manusia yang dapat mengaktualisasikan peran prohpetik, khalifah dan peran seorang hamba dalam konteks Nusantara atau Indonesia.
Prinsip, nilai, norma dan karakter tersebut kemudian disimpul dalam lima (5) sila atau lima …
[20.03, 11/12/2019] Ikhyar Stafsus: Tulisan rektor UINSU
[20.06, 11/12/2019] Ikhyar Stafsus: PANCASILA SEBAGAI AKTUALISASI ‘API ISLAM’ BUNG KARNO
Seperti halnya Tokoh Pembaharuan Islam (mujaddid) lainnya, secara normatif agak sulit kita menelusuri tradisi Teologis bahkan Tradisi Fikih yang dianut oleh Bung Karno. Dalam konteks di Indonesia misalnya, ada kalanya Bung Karno dapat dilihat sebagai seorang pengikut tradisi NU yang kuat. Tetapi pada kesempatan lain tampak sebagai pengikut Muhammadiyah sejati, bahkan terkadang pengikut aliran Tasawuf dan Tarekat.
Dalam beberapa pidatonya tentang Islam dan Pancasila, Bung Karno sering menyebut-nyebut istilah ‘Api Islam’ — “ambillah apinya dan buanglah debunya”. Dalam peta Pemikiran Islam— istilah ‘Api Islam’ biasanya disandarkan kepada gagasan Syed Amir Ali lewat karyanya berjudul “The Spirit of Islam” — diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Api Islam”.
Sebagai seorang mujaddid, tentu saja ide ‘Api Islam’ yang dikemukakan Bung Karno tidak mesti identik dengan gagasan Syed Amir Ali, meskipun dalam beberapa hal tampak ada kemiripan gagasan terutama dalam konteks progresifitas dan perluasan tafsir atas berbagai ajaran dan doktrin Islam.
Bagi Bung Karno, alam atau bumi Indonesia, bukan hanya kaya akan kandungan mineral, energi, logam, laut dan kekayaan fisik lainnya, tetapi juga subur dan kaya akan nilai-nilai kearifan (al-hikmah) bahkan, sebelum pun Islam dan agama lainnya hadir di Nusantara.
Penghuni Nusantara telah mewarisi tradisi kontemplasi (tapa)– sebagai suatu media membangun integrasi dengan alam (mikro-kosmos dengan makro-kosmos)– guna menyelaraskan antara nilai yang terkandung dalam diri-fithrah manusia dengan prinsip sunnatullah dan causalitas yang tertanam dalam alam atau bumi Nusantara ini.
Islam telah hadir di Nusantara dibawa oleh orang-orang yang mengenali ajaran Islam secara utuh. Mengerti mana substansi dan mana kreasi atau interpretasi. Bung Karno menyebut ‘api Islam’ terhadap yang substansi dan menyebut ‘debu Islam’ terhadap kreasi dan interpretasi. Disebut ‘api’ — karena ia menjadi energi kekal yang dapat menggerakkan Islam dan menjadikan ajaran Islam dapat menggerakkan peradaban dunia.
Sedangkan, sebutan debu karena sifatnya yang parsial, lokal, temporer sehingga mudah berobah, dapat menyusut bahkan hilang. Adapun Islam yang menyusup dan berinteraksi dengan keyakinan, budaya dan tradisi Nusantara– adalah ‘api Islam’ dan karena itulah tidak dapat terhindar dari sinkronisasi dan sinkritisasi.
‘Api Islam’ — bersumber dari Allah Swt dibumikan oleh Rasulullah Muhammad Saw– dan telah teraktualisasi secara baik di masa hidup al-Rasul secara khusus pada budaya dan dan tradisi Madinah kala itu.
‘Api Islam’ ini kemudian telah dibawa ke berbagai wilayah pada berbagai era yang menjadikan Islam dapat memimpin poros utama peradaban dunia (adidaya-adikuasa). Ketika ‘api Islam’ ini hadir di Nusantara, setidaknya ia dikemas dalam tiga (3) prinsip utama yakni; Pertama, Islam sangat mengutamakan kesamaan, kesetaraan yang berarti keadilan. Kedua, Islam dapat mengembang, meluas tetapi dapat pula menyempit dan menyederhana secara dinamis dan elastis. Ketiga, Islam adalah ajaran yang progresif bergerak tanpa henti ke arah yang lebih sempurna.
Ketiga prinsip ini menjadi sumber dari ‘api Islam’ yang masuk ke Nusantara– diterima dan didialogkan secara spiritual, filosofis, ilmiah dan empiris dengan berbagai budaya dan tradisi yang ada dan terjaga di kalangan masyarakat Nusantara.
Hasil dari dialog dalam berbagai dimensi dan tingkatan tersebut telah melahirkam sejumlah prinsip, nilai, norma hingga stayle yang dibutuhkan untuk melahirkan citra diri dan jati diri manusia. Manusia yang dapat mengaktualisasikan peran prohpetik, khalifah dan peran seorang hamba dalam konteks Nusantara atau Indonesia.
Prinsip, nilai, norma dan karakter tersebut kemudian disimpul dalam lima (5) sila atau lima dasar atau lima substansi yang seterusnya diaebut dengan “PANCASILA”. Pancasila dengan demikian dapat dilihat sebagai pengejawantahan terbaik dari Islam atau ‘Api Islam’ dalam konteks hidup bernegara dan berbangsa Indonesia. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa “PANCASILA” merupakan aktualisasi Islam yang paling ideal dalam konteks memelihara dan memajukan Bangsa Indonesia.**
** Penulis adalah Rektor UINSU Medan