Oleh : Salahuddin Harahap:
Suatu hari saya bertemu dan berdialog dengan seorang pemuda di sauatu desa di Daerah asal. Pemuda ini baru saja menikah setelah tidak lagi berhasrat melanjutkan pendidikannya yang hanya menamatkan Kelas 9 atau lulus SMP– istilah masa lalu.
Kami berdialog tentang beberapa hal dan lebih fokus kepada persoalan hidup yakni tentang usaha atau tentang mata pencaharian. Hal menarik dari dialog tersebut adalah tentang penjelasannya atas konsep usaha atau konsep bisnis yang ia pahami.
Bagi pemuda energik ini, ekonomi ternyata adalah tentang bagaimana caranya mengembangkan modalnya yang sedikit agar bisa memperoleh laba besar untuk seterusnya melakukan pengembangan dan perluasan usahanya yang kebetulan beternak ayam kampung.
Sepintas, tampaknya tidak ada persoalan dalam pemahaman anak muda ini. Karena memang bisnis telah lumrah dipahami dalam makna demikian. Dengan nada canda, saya pun bertanya kepadanya tentang dari mana ia memperoleh pemahaman demikian terhadap makna ekonomi atau usaha.
Tentu saja, jawabannya membuat saya sangat tertegun dan penuh tanya. Menurutnya, pemahaman demikian tidak perlu dipelajari sebab sudah sejak dari dulu-dulunya secara turun temurun telah dipahami demikian meski tanpa diskusi atau sosialisasi.
Dengan sekelumit pemahaman saya tentang sosiologi, saya mencoba merefleksi jangan-jangan pemahaman seperti ini dimiliki oleh sejumlah besar masyarakat sehingga seolah telah tertanam mendalam hingga disinyalir sebagai bagian dari budaya kalau bukannya malah dianggap sebagai kearifan lokal (local wisdom). Padahal, begitu terangnya konsep ini telah teradopsi secara sadar maupun tidak dari penggagas Kapitalisme bernama Adam Smith.
Lalu saya coba menoleh kepada pernyataan Bung Karno yang bagi saya pasti berbasis kesadaran logis dan empiris. Bagi Bung Karno, bahwa Pancasila dengan lima rumusan dasarnya telah diaya dan disimpul dari kekayaan nilai-nilai luhur (al-hikmah) yang digali dari ladang-ladang atau sumur-sumur kearifan lokal kita yang substansinya adalah gotong-royong.
Gotong-royong ini dipandang sebagai aktualisasi efektif Pancasila yang meliputi berbagai dimensi kehidupan manusia mulai dari lingkungan, ekonomi, sosial, politik, agama, pendidikan dan seterusnya.
Rumusan ekonomi dalam Pancasila— ternyata demikian jauh dari apa yang dikedepankan si pemuda di atas. Ruh ekonomi dalam Pancasila bukan sekadar pada bagaimana seseorang dapat memperoleh apalagi memperbanyak keuntungan.
Ruh-nya adalah gotong-royong yakni mendudukkan ekonomi sebagai persoalan angka dan pemilikan, melainkan sebagai persoalan sosial, kemanusiaan dan ke-martabat-an. Persoalan ekonomi tidak hanya tentang usaha seseorang memperoleh uang dan harta benda. Tetapi lebih luas tentang bagaimana kita dapat memelihara tegaknya nilai-nilai luhur kemasyarakatan berupa kepedulian, kebersamaan, keadilan dan kemartabatan.
Dalam konteks ekonomi gotong-royong, seseorang harus berusaha berbisnis di dasarkan kepada kepeduliannya terhadap sesama, keinginannya melestarikan kebersamaan, komitmennya menegakkan keadilan dan kemartabatan.
Seseorang dalam bingkai ekonomi gotong-royong bukan merupakan perlombaan mengumpulkan harta kekayaan, tetapi lebih pada pemenuhan usaha pembebasan manusia dari ketidakmampuannya menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan baik sebagai individu maupun komunal dan sosial.
Rasulullah Saw, menegaskan bahwa seseorang yang beriman terhadap saudaranya dalam konteks sosial, bagaikan konstruksi suatu bangunan dimana setiap sendinya harus saling meneguhkan dan memperkuat.
Hadis ini telah meneguhkan sebuah konstruksi nilai yang kita kenal dengan istilah “tanggung renteng” dan seterusnya menjadi GOTONG ROYONG. Dalam konteks ini, seseorang tidak boleh dibiarkan atau merasa dibiarkan sendiri dalam mengatasi persoalan ekonominya, mengingat persoalan satu orang berarti persoalan bersama yang harus dipikul bersama-sama. “BERAT SAMA DIPIKUL RINGAN SAMA DIJINJING”.
** Penulis adalah Ketua Laboratorium Pancasila dan Islam Bung Karno UINSU