Scroll untuk baca artikel
#
Opini

RUU BPIP Masuk Prolegnas 2021: Arah Baru PIP dari Dogma Menuju Paradigma

×

RUU BPIP Masuk Prolegnas 2021: Arah Baru PIP dari Dogma Menuju Paradigma

Sebarkan artikel ini
Salah

Salah

Oleh: Salahuddin Harahap

SYUKUR Alhamdulillah, baru-baru ini tepatnya tanggal 14 Januari 2021, Baleg DPR-RI telah menetapkan RUU BPIP dalam Prolegnas 2021. Tentu saja keputusan ini mengisyaratkan semakin tingginya kesadaran kolektif anak bangsa tentang betapa pentingnya penguatan BPIP sebagai institusi yang menjadi leading sector atau paling bertanggungjawab terhadap pembumian dan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada dugaan kuat bahwa sejumlah tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia seperti ancaman komunisme, atheisme, radikalisme dan paham lainnya telah menguat dikarenakan lemahnya internalisasi Ideologi Pancasila dalam diri dan kehidupan anak bangsa. Lebih jauh, ketertinggalan kita dalam sejumlah kompetisi dunia pada berbagai aspeknya disinyalir telah disebabkan oleh lemahnya kontribusi Ideologi Pancasila dalam pembentukan identitas, citra dan jati diri seterusnya pada karakter building anak bangsa.

Ada ‘gap’ atau ruang kosong yang masih memisahkan manusia Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologinya, sehingga dalam sejumlah aspek kehidupan kita tidak dapat memberi ruang yang cukup bagi ideologi ini bahkan terkadang sama sekali tidak memberikan ruang. Padahal, sebagai ideologi mestinya tidak boleh ada satu tindakan pun yang berlaku dalam kehidupan berbangsa tanpa terkonfirmasi dengan Pancasila.

PIP dari Dogma Menuju Paradigma

Sebagai sebuah ideologi tentu saja Pancasila mesti memiliki aspek dogmatik atau aspek sakral, melaluinya ia dapat terhubung dengan dimensi keabadian (eternity) lintas waktu dan lintas ruang. Sebab, Ideologi memang harus dapat bertahan dari terpaan dan tantangan yang lahir dari dinamika dan dialektika sejarah, pemikiran dan sosial termasuk dari pengaruh ideologi lainnya.

Untuk dapat memiliki aspek eternitas tersebut, maka Pancasila harus lahir dari dimensi terdalam Bangsa Indonesia yakni dari perpaduan secara substantif nilai-nilai yang terkandung dalam agama, tradisi dan kearifan budaya yang ada. Perpaduan nilai-nilai itu lah yang disimpul dalam lima rumusan yang kemudian disebut sebagai Pancasila.

Sampai disini perlu dipahami bahwa Pancasila bukan berupa “Wangsit” yang secara tiba-tiba hadir di tengah-tengah kita sehingga harus diyakini sebagai mengandung muatan mitologi yang amat kental. Tidak pula berupa ilham atau wahyu yang diberikan kepada seseorang sehingga harus diyakini sebagai bermuatan prophetik. Pancasila dengan sila-silanya ini telah lahir dari proses pengayaan yang melibatkan keseluruhan potensi yang dimiliki oleh para perumusnya yang meliputi indra, akal maupun kalbu.

Kesadaran akan hal ini menjadi penting, agar Pancasila tidak hanya dilihat sebagai Ideologi yang sakral sehingga cukup disakralkan saja, tetapi harus dilihat sebagai melingkupi ranah rasional, ide, gagasan hingga aksi sehingga harus diinternalisasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA :  Ketika Pancasila Vis a Vis Agama: Merespon Kontraversi Prof Yudian

Terhadap hal ini BPIP perlu hadir di tengah-tengah masyarakat bukan sekadar untuk sosialisasi sakralitas Pancasila, tetapi lebih jauh dapat memahamkan dan menginteraisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aktivitas hidup masyarakat. RUU BPIP sendiri telah hadir membawa pesan betapa pentingnya kerjasama lintas sektoral dalam upaya pembinaan Ideologi Pancasila dengan orientasi agar Pancasila benar-benar hadir dalam setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bung Karno menyebut bahwa Pancasila mengandung mutiara-mutiara yang digali dari ladang-ladang atau pulau-pulau kearifan lokal Nusantara. Ungkapan ini dapat bermakna empat hal:

Pertama, ada semacam aktivitas survei dan riset yang dilakukan para perumus Pancasila untuk menghimpun nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam jiwa anak bangsa dan terejawantah dalam praktik kehidupan bermasyarakat pada berbagai tempat saat itu.

Kedua, ada proses pengujian terhadap setiap nilai untuk melihat sekuat dan sedalam apa nilai-nilai kearifan lokal tersebut terhujam dalam masyarakat serta bagaimana nilai-nilai tersebut dapat bertahan melewati dinamika dan dialektika nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat.

Ketiga, ada proses konfirmasi antara nilai kearifan lokal dengan nilai atau ajaran agama yang dianut. Dalam konteks ini tentu ada dialog antara budaya lokal dengan agama baik lewat proses akulturasi, sinkretisasi maupun adaptasi.

Keempat, ada upaya pencarian titik temu antara nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai agama yang dirajut secara inklusif dan substantif berdasarkan titik temu agama-agama dan kepercayaan yang ada dengan pengokohan eksistensial suatu bangsa.

RUU BPIP diyakini memiliki semangat yang kuat untuk mewadahi dan memfasilitasi agar setiap suku bangsa, setiap penganut suatu budaya serta agama dan kepercayaan dapat memahami hubungan budaya, agama dan kepercayaannya dengan Pancasila.

Hubungan dimaksudkan bukan sekadar hubungan secara historis dan substantif, tetapi harus menyentuh ranah yang lebih praksis dan aplikatif, sehingga tidak ada suatu budaya atau suatu agama dan kepercayaan yang jika semakin dianut justru membuat kita menjadi semakin jauh atau malah menentang Pancasila.

Berdasarkan uraian tersebut, setidaknya ada tiga tahapan pengujian terhadap Pancasila dan ini akan menjadi “PR” penting bagi RUU BPIP ketika diundangkan nantinya, yakni: (1) pengujian secara empiris ketika nilai-nilai tersebut hidup dan berlaku di tengah-tengah masyarakat. (2) pengujian di ranah rasionalitas ketika harus berhadapan dengan berbagai dialektika dan dinamika rasional serta sosial historis. (3) pengujian secara filosofis atau kontemplatif ketika nilai-nilai yang ditemukan dari kearifan lokal harus diintegrasikan dengan nilai-nilai agama dan kepercayaan yang kita miliki ‘vis a vis’ berbagai ideologi yang ada di dunia.

Jika telah disadari bersama bahwa Pancasila telah lahir dari proses pembentukan ilmu pengetahuan yang kemudian ditingkatkan menjadi sebuah dogma agar dapat memiliki aspek keabadian (eternitas), maka tentu saja Pancasila ini dapat pula disederhanakan kembali hingga ke ranah paradigma ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini setiap dogma sakral akan dapat mengejawantah menjadi paradigma rasional bahkan empiris sehingga dapat bersentuhan dengan kebutuhan dan aksi nyata anak bangsa.

BACA JUGA :  Teologi Vaksinasi: Merespon Program Vaksinasi C-19

Mengingat bahwa tantangan kita saat ini adalah tentang rendahnya pemahaman, komitmen serta pengamalan Pancasila oleh berbagai kalangan, maka penting untuk menurunkan kembali Pancasila untuk menjadi Paradigma Ilmu Pengetahuan, Paradigma Etika dan Moral serta Paradigma Kehidupan Sosial.

Paradigma-paradigma ini kemudian harus pula diaktualisasikan dalam bentuknya yang lebih praksis hingga menjelma menjadi teori-teori, metode-metode serta sistem-sistem baru yang pada satu sisi ia dapat mengikuti dinamika dan dialeltika kemajuan peradaban, sedangkan pada sisi lain tetap tertumpu pada Pancasila sebagai Ideologi yang memiliki aspek universalitas dan eternitas.

Tentu saja dari kegiatan ini diharapkan dapat terbangun sejumlah teori yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berupa Teori dan Sistem Politik Pancasila, Teori dan Sistem Sosial Pancasila, Teori dan Sistem Ekonomi Pancasila, Teori dan Sistem Perbankan Pancasila, Teori dan Sistem Pendidikan Pancasila dan seterusnya.

Penutup

Teori dan sistem yang digali dari Pancasila harus bersifat mandiri sebagai yang diamabil dari akar budaya bangsa serta agama yang kita miliki di Indonesia, karenanya teori dan sistem ini harus menjadi modal penting dalam melestarikan Pancasila sebagai sarana memajukan bangsa.

Upaya inilah yang menjadi bagian dari yang harus terakomodir dalam RUU BPIP sebagai upaya perluasan kewenangannya dalam rangka membangun sinergitas PIP dengan berbagai institusi termasuk Perguruan Tinggi, dimana setiap dogma memungkinkan digali menjadi paradigma ide seterusnya paradigma aksi.

Karena itu, keputusan memasukkan RUU BPIP ini dalam Prolegnas DPR-RI Tahun 2021 dapat dilihat sebagai langkah maju dalam PIP sehingga perlu mendapat dukungan dari semua pihak termasuk Perguruan Tinggi agar segera dapat diundangkan secara sah.

(Penulis adalah Dosen Filsafat Islam UIN Sumatera Utara dan Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan & Kebangsaan/GDKK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *