KOLOM PAKAR

Tiga Harga Mati dan Transformasi UINSU Menuju WCU, Menyongsong Raker Pimpinan UINSU 2020

×

Tiga Harga Mati dan Transformasi UINSU Menuju WCU, Menyongsong Raker Pimpinan UINSU 2020

Sebarkan artikel ini

Oleh TGS Prof Dr Saidurrahman, M.Ag

TUGAS saya setelah diangkat menjadi Rektor UINSU adalah menterjemahkan visi dan misi UINSU, Islamic Learning Society (Masyarakat Pembelajar Sesuai dengan Nilai-nilai Islam) kepada program yang lebih konkrit dan aplikatif. Program itu telah saya himpun ke dalam satu kalimat pendek, Tiga Harga Mati, Akreditasi, Digitalisasi dan Internasionalisasi.

Seluruh program kerja UINSU yang selanjutnya diturunkan kepada unit-unit dan juga Fakultas serta PPS, harus mengacu kepada tiga harga mati tersebut. Setiap program kerja harus memiliki cantolan dan sekaligus sebagai terjemahan tiga harga mati di atas.

Patut disyukuri, lebih kurang dalam tiga tahun (2016-2019), upaya konkritisasi tiga harga mati telah berjalan dengan sangat baik. Hasilnya adalah UINSU mengalami perkembangan yang sangat cepat, terlihat dari capaian prestasi UINSU baik yang bersifat akademik maupun yang non akademik.

Dari sisi akademik misalnya, lebih kurang satu tahun 2016-2017, UINSU Medan berhasil meningkatkan akreditasi institusinya dari peringkat C menjadi B. Ini adalah prestasi tercepat yang didapat UINSU. Beberapa prodi berhasil meraih akreditasi A dan terakhir adalah Akreditasi unggul yang dicapai Prodi PGMI.

Perpustakaan UINSU juga berhasil meraih akreditasi A pada tahun 2019. Ini dicapai karena perubahan dan peningkatan kualitas layanan, kelengkapan koleksi dan respon terhadap digitalisasi. Tidak kalah menariknya adalah, UINSU telah berhasil memperoleh 3 Rekor MURI yang semuanya bermuara pada peningkatan integritas, karakter dan spiritual mahasiswa. Rekor MURI pertama (29 Agustus 2018), berkenaan khatam Al-Qur’an, Muri ke dua (2 September 2019) berkaitan dengan wakaf uang mahasiswa dan Muri ketiga (25 November 2020) mengenai Sejuta shalawat buat Rasulullah SAW.

Kemudian dari sisi SDM, khususnya Dosen dan tenaga pengajar, UINSU juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah guru besar UINSU yang sudah mencapai jumlah 32 orang dan diperkirakan menempati posisi ke 4 nasional setelah UIN Jakarta, UIN Makasar dan UIN Sunan Kalijaga. Saat ini terdapat lebih kurang 5 orang lektor kepala yang juga sedang menunggu SK pengangkatannya sebagai guru besar.

Karya-karya akademik dalam bentuk buku-buku ajar, buku referensi juga terus meningkat jumlahnya, baik dalam bentuk rekayasa kegiatan UINSU ataupun karya-karya yang diterbitkan secara mandiri oleh dosen UINSU. Tidak kalah membanggakannya, beberapa artikel ilmiah dosen UINSU juga telah terbit di jurnal bereputasi internasional (terindeks scopus) ataupun yang terakreditasi nasional Sinta 2 dan 3. (lihat Buku UINSU Juara).

Dari sisi filantropi, UINSU Medan pantas untuk diunggulkan. Kesadaran dosen dan tenaga kependidikan untuk menunaikan zakat, wakaf dan infaq layak untuk dikedepankan. Dalam tempo lebih kurang 3 tahun, UINSU telah berhasil mengumpulkan dana zakat sebesar Rp 3.621.211.470,- dan telah dibagi kepada mahasiswa yang membutuhkan sebanyak 2.275 mahasiswa. Sehingga di UINSU dikenal istilah, tidak boleh ada mahasiswa yang berhenti kuliah hanya karena tidak ada biaya kuliah. Dana zakat hadir untuk membantu persoalan mahasiswa.

Demikian juga halnya dengan wakaf uang yang menjadi tradisi baru di UINSU. Sampai sekarang telah terkumpul Rp 241.147.764,- diperkirakan akhir tahun wakaf uang UINSU akan menembus angka Rp 600.000.000,-. Dana abadi umat ini diharapkan dapat menopang peningkatan kualitas dosen dan mahasiswa UINSU di masa mendatang.

Hampir tiga tahun belakangan ini, terjadi peningkatan yang signifikan peminat atau calon mahasiswa ke UINSU. Beberapa fakultas yang tetap menjadi favorit adalah FEBI (ekonomi dan bisnis), FST (Sains dan Teknologi), FKM (Kesehatan Masyarakat) dan FIS (Ilmu Sosial-Komunikasi).

Sedangkan fakultas lama yang juga mengalami peningkatan partisipasi masyarakat adalah FSH (Syari’ah), FUSI (Ushuluddin), FDK (Dakwah dan Komunikasi) serta FITK (Tarbiyah dan Keguruan) yang sampai detik ini belum terkalahkan. Karena itulah, dipenghujung tahun 2019, UINSU berhasil meraih peringkat 4, sebagai universitas terpavorit di lingkungan PTKIN se Indonesia.

BACA JUGA :  KIBLAT CAPRES KIB

Dalam bidang non akademik, capaian UINSU adalah peningkatan sarana dan prasarana belajar. Sebagaimana diketahui bersama, paling tidak ada 9 sarana fasilitas belajar yang telah berhasil ditancapkan UINSU untuk menopang cita-citanya menjadi Universitas Kelas Dunia (WCU). Di antaranya adalah gedung IDB yang ada di Tuntungan, terdiri dari tujuh gedung dengan standar internasional.

Gedung-gedung itu tidak saja untuk ruang belajar, tetapi juga untuk perpustakaan yang handal, laboratorium sains dan Kesehatan Masyarakat dengan standard internasional dan ruang-ruang pertemuan ilmiah. Gedung kuliah bersama yang ada di Kampus Pancing yang berasal dari dana SBSN juga hampir selesai dan dapat digunakan pada semester mendatang.

Demikianlah, sebagai kegiatan rutin memasuki tahun 2020, UINSU akan melaksanakan Rapat Kerja Pimpinan pada 19-21 Februari 2020 mendatang di Brastagi. Tema yang dipilih adalah, “Melalui Rapat Kerja Pimpinan UINSU Medan Tahun 2020, Kita Wujudkan Program Kerja Berbasis Tiga Harga Mati: Akreditasi Unggul, Digitalisasi dan Internasionalisasi”. Sedangkan spirit yang mewarnai program kerja itu adalah dalam upaya mewujudkan UINSU Juara, Indonesia Maju dan Bangun Peradaban Dunia.

Sengaja saya pilih tema ini untuk menegaskan bahwa Tiga Harga Mati benar-benar menjadi “Tiga Harga Mati”. Artinya, sepanjang kepemimpinan Rektor UINSU (2016-2020), fokus UINSU tetap mengacu kepada tiga isu besar ini. Pada priode pertama kepemimpinan saya ini, saya akan fokus pada tiga hal seperti yang telah disebut. Saya harus menetapkan fokus program agar warga kampus dengan cepat dapat menterjemahkan program ke dalam aksi-aski konkrit.

Secara sederhana arti tiga harga mati tersebut adalah; Akreditasi unggul artinya meraih akreditasi A mutlak. Tidak ada pilihan untuk menjadi B, kecuali program studi baru yang memang mustahil memperoleh nilai A. Oleh karena itu, segala sumber dana dan sumber daya, dikerahkan untuk memudahkan dan memuluskan rencana dimaksud.

Misalnya, dalam konteks kreteria 9, keluaran atau produk apakah dalam bentuk temuan penelitian (artikel) yang dipublikasikan, temuan teknologi terapan yang “HAKI”, harus diprogramkan dengan baik. Keluaran tersebut tidak saja untuk dosen UINSU tetapi juga buat mahasiswa-mahasiswa UINSU.

Masih dalam konteks akreditasi, sarana dan prasarana juga harus menjadi prioritas utama UINSU pada tahun 2020. UINSU harus melihat kembali standar nasional berkenaan dengan fasilitas belajar-mengajarnya. Segala fasilitas yang diperlukan sesuai dengan penilaian akreditasi bukan saja dipenuhi tetapi juga standarnya harus bisa dilampaui. Demikian juga dengan laboratorium tidak saja harus lengkap tetapi juga harus berstandar internasional. Setidaknya ada dua Fakultas yang membutuhkan laboratorium canggih, laboratorium fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Sains dan Teknologi.

Dalam konteks digitalisasi, yang saya tekankan adalah nilai dari digitalisasi. Artinya, digitalisasi meniscayakan kecepatan, keakuratan, transparansi dan terpertanggungjawabkan. Istilah jejak digital sesungguhnya bukan saja mengandung makna rekam jejak. Jejak digital, membuat setiap orang harus bekerja sesuai dengan tupoksinya, kompetensi dan kewenangannya.

Disamping itu, lewat digitalisasi pelayanan adminsitrasi akademik dan non akademik di UINSU akan lebih cepat dan penuh kepastian. Harus diakui, pelayanan yang manual, kerap membuat proses administrasi menjadi lamban dan terkadang penuh ketidakpastian. Manfaat lain dari digitalisasi adalah tersimpannya data secara rapi dan mudah diakses. Pada gilirannya, model pengambilan keputusan dilakukan berbasis data. Pengambilan keputusan berbasis data akan membuat keputusan lebih akurat dan akan terukur.

Sedangkan internasionalisasi dimaksudkan dalam rangka meningkatkan partisipasi dan keterlibatan dosen-dosen UINSU dalam kancah internasional. Apakah melalui publikasi ilmiah dalam bahasa Inggris. Bisa juga dalam bentuk keterlibatan dalam forum ilmiah, bukan hanya sebagai peserta tetapi sebagai narasumber.

Selama ini kerap disampaikan kritik yang cukup pedas, bahwa dosen-dosen PT-PTKIN hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan yang dihasilkan Barat. Kita banyak membaca karya mereka, tapi mereka belum tentu membaca karya-karya kita. Walaupun kita bisa mengklaim bahwa penelitian dan studi kita sudah cukup banyak. Dalam konteks studi Islam misalnya, tidak banyak karya-karya ilmiah intelektual muslim Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris misalnya. Akibatnya, pemikiran kita kurang dikenal. Apa lagi diminati. Oleh sebab itu, penulisan produk pemikiran Islam dalam bahasa asing apakah dalam bentuk buku ataupun dalam bentuk artikel ilmiah menjadi niscaya.

BACA JUGA :  Hikmah dan Keutamaan Menghadiri Haul Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidy Naqsyabandi

Bentuk lain dari internasionalisasi adalah kolaborasi ilmiah bisa dalam bentuk pendidikan dan pengajaran ataupun dalam bentuk penelitian. Bahkan bisa jadi dalam pengabdian masyarakat. Di dalam akreditasi 9 kreteria, ada keharusan dosen-dosen PTKIN untuk menjadi pengajar di PT luar negeri, dan dosen-dosen mereka juga mengajar di PT kita dalam jangka waktu tertentu. Ini adalah cara internasionalisasi yang paling cepat kendati tidak mudah. Atmosfir keilmuan internasional akan terbangun dan perlahan namun pasti, akan terbentuk budaya akademik. Terjadi transformasi budaya akademik lokal menuju internasional.

Catatan yang kerap disampaikan dalam konteks internasionalisasi ini adalah bagaimana mahasiswa Indonesia tidak kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Pergaulan ilmiah di dunia internasional diharapkan tidak mengaburkan apa lagi menghilangkan jati diri mahasiswa Indonesia.

Merujuk kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, keharusan universitas di Indonesia untuk berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi top dunia, sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Hanya dengan kolaborasi, universitas di Indonesia dapat melakukan akselerasi peningkatan statusnya menuju universitas kelas dunia (WCU). Bahkan sebagaimana yang kerap disampaikan Mas Menteri, Universitas dapat saja membuka prodi baru tanpa melalui proses yang panjang, sepanjang kita dapat berkolaborasi dengan perguruan tinggi, yang berada dalam bingkai 100 universitas terbaik di dunia.

Merujuk kepada tiga program pokok di atas, seluruh unit, khususnya fakultas harus menyersuaikan program kerjanya dalam pencapaian tiga harga mati di atas. Kegiatan-kegiatan yang lebih mengedepankan serimonial dan memiliki daya ungkit akreditasi yang kecil, harus dihindarkan.

Saya harus memastikan program semua unit yang akan direalisasi pada tahun 2020, mengacu kepada tiga harga mati. Saya memandang hal ini serius, karena ketika kita ingin menjadikan UINSU sebagai universitas kelas dunia pada tahun 2045, maka startnya harus dimulai dari sekarang. Tidak besok, minggu depan, bulan depan apa lagi nanti. 25 tahun ke depan dari sekarang adalah waktu krusial bagi UINSU untuk mempersiapkan dirinya menuju WCU.

Keinginan UINSU menjadi WCU bukanlah muluk-muluk, karena kerja-kerja untuk mencapai derajat tertinggi –kampus dunia dan masuk 100 Top dunia- sudah dimulai dari sekarang. Di samping beberapa gedung yang sudah selesai, UINSU juga akan menyelesaikan program 100 Ha di Kuala Namu. Di lahan yang luas itu nantinya bukan saja hanya dibangun Fakultas Kedokteran (Pendidikan dan Profesi), Fakultas Farmasi dan Keperawatan, tetapi juga dibangun pusat-pusat bisnis digital. Tentu saja semua ini memerlukan kerja keras semua pihak terutama sivitas akademika.

Rapat Kerja yang direncanakan berlangsung tiga hari ini diharapkan dapat memastikan program yang dirumuskan telah dan sudah berbasis tiga harga mati. Sedangkan makna lain yang tersirat, terbangun pula kesolidan dan kekompakan tim. Membangun UINSU juara sendirian akan terasa berat bahkan sangat berat. Sebaliknya jika dibangun dengan bersama, berkolaborasi, maka yang tidak mungkin menjadi mungkin. Wa Allahu a’lam.

* Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *