Oleh : Dr Salahuddin Harahap, MA*
DALAM perspektif studi agama-agama yang telah booming sejak abad 19-20 M, telah dicapai suatu kesimpulan bahwa pada dimensi tertinggi setiap agama atau yang oleh F. Schuon dan S.H. Nasr disebut dengan ‘Dimensi Esoteris’ telah terdapat titik temu ajaran semua agama berdasarkan asumsi pencapaian universalitas kebenaran.
Untuk menegaskan kesimpulan tersebut, dalam konteks Islam misalnya, telah ada yang mengartikan “kalimatun sawā” — istilah yang dinukil dari Q.S :3 Ayat 64– sebagai padanan bagi titik temu pada dimensi esoterisme agama-agama tersebut, meskipun tentu saja masih menyisakan diskursus.
Pencapaian titik temu ini bermaksud untuk menumbuhkan kesadaran bahwa dibalik keragaman bahkan perbedaan yang tampak, ada aspek unity atau universalitas tanpa batas yang menjadi target akhir (divine object) setiap manusia melalui agama yang dipilihnya sebagai jalan atau media.
Kesatuan (the unity) tersebut bersifat eternal dan konsisten– sehingga tidak akan dapat dipengaruhi, diinterpensi apalagi dirusak oleh keragaman agama yang kita temukan pada alam imanen (realitas dunia) yang sarat akan pluralitas ini. Berdasarkan kesimpulan ini, maka akan ‘kecele’ atau bahkan kelirulah jika ada pandangan bahwa fakta pluralitas (banyaknya) agama yang dianut manusia dapat mendegradasi pencapaiannya terhadap kebenaran hakiki yang diyakini sebagai Tuhan (Sesembahan).
Kita sangat beruntung, karena Nusantara ini sejak dahulu telah dianugerahi pelbagai keragaman (pluralitas) termasuk pada agama dan keyakinan. Atas fakta ini kemudian kita dapat belajar memahami, menyadari seterusnya bersikap dan berprilaku berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian dan pemeliharaan pluralitas dimaksud, sehingga jadilah kita sebagai bangsa yang dianggap paling mengerti dan berpengalaman dalam mengelola kohesi dan harmoni di tengah-tengah keberagaman agama dan keyakinan berskala dunia.
Dalam konteks ini, kita berhutang banyak kepada Bung Karno– tokoh yang berhasil mengkapitalisasi kepiawaian mengelola pluralitas tersebut dalam sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila kita telah menunjuk adanya kesadaran anak bangsa akan realitas Nusantara yang memiliki keragaman agama dan keyakinan. Lalu, mengedepankan konsep “Ketuhanan Yang Maha Esa”— yang bermakna adanya kesadaran akan pentingnya keterbukaan (inklusifitas) untuk menerima, menghargai bahkan mencintai realitas keberagaman agama dan keyakinan yang kita miliki tersebut.
Kita perlu menerima, menghargai bahkan mencintai keragaman agama dan keyakinan itu karena menyadari bahwa setiap orang telah dibentuk berdasarkan sejarah (perolehan informasi, perenungan, pemahaman dan pengalaman) hidupnya masing-masing dalam upaya mencapai Kebenaran Sejati (Tuhan)– yang kemudian telah melahirkan keragaman.
Keragaman ini, bukan karena semangat ingin berbeda akan tetapi didasarkan kepada adanya kesamaan pada naluri dan fithrah (instingtif) masing-masing untuk bergerak dan berusaha menggapai Kebenaran Sejati (Tuhan).
Keragaman usaha ini telah melahirkan keragaman konsep bahkan jalan yang tak bisa dihindarkan — disebut sebagai “Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian menjadi dasar bagi keragaman agama dan keyakinan yang dipilih.
Terkait hal ini, maka ada beberapa prinsip yang harus dikedepankan dalam penyikapan terhadap realitas pluralitas ini. Pertama, setiap orang kudu menyadari bahwa “Zat Tuhan” — merupakan Zat yang Unik, Sederhana dan Universal tak terbatas dan tanpa padanan, sehingga sulit ditangkap hakikatnya oleh rasio bahkan akal manusia. Dengan begitu, tidak ada rumusan objektif yang bersifat final dalam memahami “Zat Tuhan” tersebut sehingga dapat dipedomani secara general oleh seluruh umat manusia. Di atas rasio dan akal, ada pelibatan intuisi bahkan rasa dalam pengukuhan hubungan dengan ‘Zat Tuhan’. Para spiritualis menyebutnya dengan cinta “love atau al-mahabbah” dan untuk membangun ini, tentu sulit melepaskan subjektifitas setiap kita sehingga ada keniscayaan keragaman jalan.
Kedua, setiap orang di Indonesia telah meletakkan ‘keniscayaan ber-Tuhan Yang Maha Esa’ sebagai yang mendominasi eksistensinya. Untuk hal itu, maka UUD 1945 menjamin hak kemerdekaan dan kebebasan untuk beragama dan menjalankan agama kepada setiap orang. Sejalan dengan itu, maka setiap orang mestilah menggunakan secara optimal keseluruhan potensinya, indera, rasio, intuisi dan perasaannya dalam membangun konsep dan sistem ke-iman-an dalam dirinya. Berdasarkan konsepsi dan sistem itu kemudian ia bebas dan merdeka untuk menentukan dan memelihara agama dan kepercayaan yang diyakini dapat menghantarkannya kepada pencapain kepada “Kebenaran Sejati”. Fakta bahwa pilihan-pilihan tersebut telah beragam menjadi dasar bagi kita untuk dapat menghargainya dan bahkan melihatnya sebagai upaya serius dan upaya optimal untuk menggapai tujuan bersama yakni kebenaran sejati.
Ketiga, perlu disadari bahwa konsepsi ketuhanan– atau bagaimana seseorang dapat ber-Tuhan, mestilah bersifat dinamis seiring perkembangan waktu dan kemajuan sains dan teknologi yang menfitarinya. Menyahuti itu, setiap agama dan kepercayaan mesti melakukan pembaruan-pembaruan sehingga dapat tetap eksis dan akomodatif terhadap dinamika dan dialektika pemikiran dan sejarah umat manusia. Menyadari itu, setiap agama harus mampu memelihara ajaran dan pengamalan agamanya agar tetap dapat diminati penganutnya. Suatu agama tidak perlu membangun pertentangan atau permusuhan apalagi pelecehan terhadap agama lainnya hanya karena ingin mempertahankan eksistensi agama dan penganut agamanya, sebab setiap pemeluk agama telah diberi kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan dan memilih agamanya berdasarkan kesadaran logis, historis dan kritis yang dimilikinya.
Komitmen untuk menyadari, bersikap dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip ini, janganlah dilihat sebagai agenda penyederhanaan apalagi pendangkalan ajaran agama tertentu. Sebaliknya, jangan pula dijadikan dasar untuk membangun hegemoni atau dominasi suatu agama, keyakinan bahkan faham atas yang lainnya.
Komitmen kepada prinsip-prinsip ini justeru bermaksud menumbuhkan kesadaran agar setiap orang dapat memberikan perhatian serius kepada sisi terdalam agama dan keyakinannya agar rasa kebersamaan, kesetaraan, saling menghargai dan saling mencintai di antara umat manusia dapat terbangun.
Hal ini menjadi sangat penting sebagai modal spiritual (spiritual captal) dan modal rasional (rational capital) serta modal sosial (social) yang dibutuhkan untuk dapat secara arif dan bijaksana dalam bersikap dan bertindak di atas kebutuhan menjaga harmoni dan persatuan Bangsa Indonesia yang sarat akan pluralitas ini.
Konsep keberagamaan inilah sesungguhnya yang diinginkan oleh Pancasila yang membuat relasi agama dengan Pancasila menjadi saling menguatkan. Bahkan dapat disebut bahwa terbangunnya kesadaran kolektifitas based on kesadaran pluralitas agama telah menjadi aktualisasi Pancasila dalam konteks di Indonesia. Sebaliknya, jika masih ada keberagamaan yang hadir dan mengabaikan atau menegasikan kesadaran kolektifitas ini, akan membuat agama menjadi harus berhadap-hadapan dengan Pancasila, seperti yang diresahkan Prof. Yudian-Kepala BPIP baru-baru ini.
* Penulis adalah Sekretaris Prodi S2 Pemikiran Politik Islam UINSU & Direktur Laboratorium Pancasila dan Islam BungKarno UINSU-FEB’2020
3,852 total views, 2 views today
Komentar Anda