Opini

Kebijakan Negara Terhadap Para Aghnia

×

Kebijakan Negara Terhadap Para Aghnia

Sebarkan artikel ini
Hikmatiar

Hikmatiar
Oleh : Hikmatiar Harahap

“Kebijakan negara terhadap para aghnia harus terhindar dari ancaman agar tatanan serta kepentingan negara dan bangsa secara konsepsional dapat berjalan dengan baik dan kondusif serta antipati dapat diminimalisir secara halus dan bijaksana”.

Ketidakpastian kondisi perekonomian Indonesia terus membayangi kemiskinan, kelaparan dan kekurangan berdampak pada PHK, angka penganguran semakin tinggi, kesenjangan dan ketidaksetaraan semakin tajam dan sebagainya.

Bila menilik pada kebijakan siyasah maliyah, tanggung jawab dalam mengatasi persoalan ekonomi bukan hanya dibebankan kepada negara saja, melainkan ikut ambil posisi para aghnia (orang-orang kaya). Kehadiran dan kekuatan harta yang dimiliki orang-orang kaya sangat bermakna dan mampu mengurangi beban penderian kaum miskin serta beban negara bila orang-orang kaya mau berbagi kepada sesama dari sebahagian harta yang mereka miliki.

Seorang tokoh dari Mazhab Zahiri, Ibnu Hazm al-Andalusia sangat keras dalam sebuat statement bahwa negara berhak mendesak orang kaya bahkan menuntut hak-hak orang miskin yang terdapat pada orang kaya selain zakat. Merupakan pandangan yang harus ditampung dan dipikirkan oleh pemerintah terkait keikutan bersama membangun bangsa dan negara.

Kebijakan negara terhadap para aghnia harus terhindar dari ancaman agar tatanan serta kepentingan negara dan bangsa secara konsepsional dapat berjalan dengan baik dan kondusif. Sehingga antipati dapat diminimalisir secara halus dan bijaksana.

BACA JUGA :  Rekomendasi Pembubaran BPIP Tidak Beralasan

Pemerintah sebagai pengguna kekuasaan di negara ini, bahwa setiap kebijakan ditujukan untuk kemaslahatan dan keadilan bersama. Dalam bahasa Plato pemerintahan yang ideal adalah kebijakan-kebijakan yang didalamnya terdapat nilai kebaikan dan keadilan bersama. Melalui tangan kekuasaan pemerintah, atas nama kesejahteraan rakyat harus tercapai secara adil dan berkelanjutan.

Pandangan pemikir kontemporer Sayyid Qutb bahwa zakat batas minimal dari harta untuk disalurkan, bila tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara berhak mengatur aksi sosial (pungutan) lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Makanya, kewajiban zakat merupakan bentuk halusnya perintah untuk saling berbagi atas nama sosial dan kemanusiaan sebagai bentuk pernyataan untuk membiaskan kesadaran.

Sesungguhnya, kalau dilihat nilai kedalaman setiap ibadah merupakan mewujudkan nilai dan kesadaran, terkadang kesadaran ini yang sangat sulit muncul dalam diri setiap manusia, sehingga, dibutuhkan peran medesak oleh negara, antara lain;

Pertama, negara harus mempersiapkan formulasi peraturan terkait batas dan kemampuan setiap pribadi yang tergolong pada aghnia. Kedua, formulasi yang bersifat lingkungan, artinya, setiap aghnia harus bertanggungjawab kepada setiap orang yang ditimpa kesusahan hidup yang berada di sekelilingnya. Ketiga, para aghnia harus mendidik dan mengarahkan masyarakat yang lain untuk tampil menjadi produktif. Artinya, bantuan dalam bentuk immaterial, berupa pelatihan kepada masyarakat yang membutuhkan. sesuai skill yang mereka miliki harus juga dilakukan untuk menjadikan mereka lebih produktif.

BACA JUGA :  Hidup Harmoni dengan atau Tanpa Agama

Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan dan desakan negara terhadap para aghnia, diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat kehidupan manusia, menuju kehidupan yang maju dan menang.

(Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Transitif Learning Society [TALAS] Islam Transitif – Mahasiswa Pascasarjana UIN SU Medan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *