Oleh: Dr Salahuddin Harahap
MENGHUBUNGKAN eksistensi agama dengan keteraturan dan harmonitas kehidupan di Indonesia, telah merupakan suatu keniscayaan. Sebab, agama sendiri telah dimaknai sebagai kumpulan tata nilai dan tata aturan yang diyakini dapat menghindarkan manusia, masyarakat dan alam semesta dari kerusakan, kekacauan, konflik dan kehancuran.
Sangat mengherankan, ketika sejumlah peristiwa yang diduga dapat mengganggu, mengancam bahkan merusak suasana harmoni dan rukun itu, di tengah agama-agama telah hadir dan dianut oleh masyarakat kita. Padahal jauh sebelum kedatangan agama-agama di Indonesia, justru negeri ini telah mampu hidup dan berjalan secara harmoni dan selaras di bawah kendali sejumlah nilai dan kearifan lokal yang ada.
Situasi ini, telah mengundang pertanyaan tentang sejauh mana agama dapat menjadi energi, daya dan penuntun dalam mewujudkan kehidupan yang serba teratur, serba selaras, serta serba seimbang di bumi ini. Bahkan, secara lebih radikal dapat dipertanyakan, tentang benarkah agama dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni, serasi dan selaras tersebut.
Alam Sebagai Sumber Kearifan dan Harmoni
Ketika Allah Swt menawarkan posisi kekhalifaan kepada langit, gunung-gunung, tanah, laut, air, udara serta api, tidak satu pun dari mereka yang menyatakan kesediaan untuk menduduki posisi tersebut, melainkan secara tegas berusaha menghindar dari mengembannya, hingga kemudian manusia memutuskan untuk memikulnya. Demikian al-Qur’an yang mulia menjelaskan kisah ini dalam Surat al-Ahzab: 72-73.
Menarik ketika kisah ini dijadikan landasan oleh para filsuf aliran Platonisme yang dilanjutkan oleh al-Farabi dan Abu Ali Sina, ketika menegaskan bahwa setiap materi yang ada di alam semesta, telah hadir dengan menggandeng jiwanya. Dalam khazanah Teologi Lingkungan, dapat disebut bahwa setiap wujud yang ada di bumi ini, telah didampingi dan dikendalikan kehidupannya (al-hayat) oleh satu malaikat yang memang diberi tugas pendampingan di bumi.
Malaikat pendamping bumi ini kemudian merancang rumusan, operasional serta pengendalian hukum-hukum gerak, pertumbuhan, relasi serta kausalitas bagi sekalian wujud di bumi yang kemudian disebut sebagai sunnatullah.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa bumi beserta isinya telah pun memiliki sistem paripurna yang mampu memelihara keseimbangan, keselarasan, harmoni dan keteraturan berkat bantuan dan pengawalan para malaikat di bumi. (al-Qur’an Surat al-Rum:48 dan al-Nur:43)
Dalam khazanah Teologi, realitas alam semesta yang sangat teratur ini dipandang sebagai pengejawantahan nama Allah Swt sebagai Maha Pengatur bagi alam semesta (Rabbi al-‘Alamin). Atas dasar ini pulalah, sehingga Teori Teleologi (Christian Wolff _1679-1754) dapat dijadikan sebagai landasan bagi argumen keberadaan Tuhan.
Mengacu kepada hal ini, maka dapat dibenarkan bahwa bumi beserta isinya telah mengandung nilai-nilai, prinsip-prinsip bahkan sistem yang dibutuhkan untuk mewujudkan keteraturan, keseimbangan, keselarasan, keterhubungan, bahkan hingga melahirkan keindahan (estetis).
Nilai-nilai ini lah yang telah diperoleh para petapa, resi, pendeta, rahib, santo, paranormal, filsuf dan para wali dari kesungguhan mereka dalam melakukan kontemplasi dan interkasi dengan hakikat kehidupan di bumi, yang kemudian melahirkan nilai-nilai luhur dan kearifan alam serta budaya (wisdom of nature and local wisdom).
Ali Ibn Abi Thalib Ra (599-661) telah memberi isyarat bahwa kebenaran atau kearifan (al-hikmah) adalah perbedaharaan atau pusaka kita (manusia) yang telah menyebar dan terecer di berbagai tempat dan masa, maka himpunlah pusaka tersebut.
Dalam konteks di Indonesia, kesadaran ini telah dimiliki oleh Bung Karno, lewat ungkapannya bahwa kita telah memiliki mutiara-mutiara yang tersebar di berbagai tempat dan masa, berupa kesadaran kritis serta nilai-nilai luhur budaya lokal (local wisdom) Nusantara atau Indonesia.
Konsisten terhadap itu, maka dapat diduga secara kuat bahwa masyarakat Nusantara telah pun memiliki alam, tradisi dan budaya yang kaya akan nilai, makna, filsafat, lalu nilai-nilai ini kemudian direvitalisasi menjadi nilai-nilai luhur universal kemanusiaan dan kemasyarakat, untuk selanjutnya menjadi modal sosial (social capital) dalam menata, menyelenggarakan dan memelihara kehidupan yang serba rukun, serba tentram, serba harmoni dan serba selaras.
Masyarakat Indonesia telah memiliki budaya dan tradisi gotong-royong yang padanya terkandung nilai kebersamaan, persatuan, kepedulian, tanggungjawab, kemanusiaan dan kasih sayang. Gotong royong ini kemudian telah terselenggara dalam sejumlah pola, bentuk hingga istilah dan penamaan, menyebar secara luas pada berbagai wilayah dan budaya yang ada di Indonesia. Menarik sekali, ketika tradisi dan budaya ini telah terbangun di Nusantara bahkan sebelum pun agama-agama hadir dan dipeluk.
Dengan begitu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, pada hakikatnya masyarakat di Indonesia telah mampu membangun kehidupan yang penuh dengan nilai, prinsip dan norma yang dapat memastikan hadir dan terpeliharanya suasana rukun, harmoni, selaras dan seimbang bahkan tanpa hadirnya agama-agama di Nusantara.
Penutup
Patut dipahami bahwa agama sendiri, telah diturunkan dalam rangka membangun dan memelihara harmoni di bumi. Lebih jauh, agama sendiri telah hadir membawa risalah-risalah atau wahyu-wahyu suci dan sakral sebagai pengejawantahan asma dan sifat Tuhan, sehingga sangat dimungkinkan kalau kehadiran agama akan dapat memyempurnakan berbagai nilai, prinsip serta tradisi dan budaya yang dimiliki oleh alam semesta.
Sehingga, kalau saat sebelum hadirnya saja pun agama kita telah memiliki tradisi dan budaya toleran, terbuka, harmoni dan selaras. Maka, teranglah jika pasca hadirnya agama, pencapaian dalam penyelenggaraan dan pemeliharaan hidup yang rukun, harmonis serta selaras pun dapat lebih ditingkatkan.
Bukankah Rasullah Muhammad Saw menekankan bahwa kehadirannya adalah dalam rangka penyempurnaan nilai dan prinsip luhur demi terselenggaranya kehidupan yang didasarkan pada akhlak yang mulia. Konsisten terhadap hal itu, maka kehadiran agama di Indonesia harus dalam rangka menguatkan kerukunan, harmoni dan keselarasan, sebab para pembawa agama ke Indonesia adalah mereka yang disebut para pewaris nabi yang hadir dalam rangka penyempurnaan akhlak dan peradaban tersebut.
Penulis adalah Ketua Gerakan Dakwah Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) dan Dosen Filsafat Islam UIN-SU Medan.
- Luar Biasa!!, Pelari Nella Persembahkan 3 Emas Untuk Sumut di PON XXI - September 18, 2024
- Atlet Sambo Sumut Everaim Ginting Raih Emas Melalui Kemenangan TKO di PON XXI - September 18, 2024
- Terima Sertipikat dari Menteri AHY, Masyarakat Hukum Adat di Kapuas Hulu: Ini Penting bagi Keberlangsungan Hidup Kami - September 17, 2024