Opini

Loyalisme Personal sebagai Pengkhianatan Demokrasi

×

Loyalisme Personal sebagai Pengkhianatan Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Loyalisme Personal

Oleh : Leriadi Napol*

DEMOKRASI Indonesia tidak pernah dirancang untuk melayani figur, keluarga, atau kelompok kecil tertentu. Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan melalui mekanisme representasi institusional.

Namun, hari ini kita menyaksikan gejala berbahaya: menguatnya loyalisme personal atau fanatisme individu, yang muncul dalam berbagai komunitas politik seperti Jokomania atau Jokower. Mereka tidak berjuang atas dasar ideologi, tidak mengusung agenda publik, dan tidak merepresentasikan kepentingan rakyat banyak. Yang mereka perjuangkan semata-mata adalah kepentingan pribadi, keluarga, serta lingkaran politik tertentu.

Fenomena ini bukan sekadar ekspresi dukungan politik. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyat, karena:

  1. Menggeser demokrasi dari institusi ke figur.
    Demokrasi seharusnya dijalankan melalui partai politik, ormas, serikat pekerja, asosiasi profesi, dan organisasi masyarakat sipil. Ketika fanbase personal masuk ke ruang pengambilan keputusan, demokrasi kehilangan basis institusionalnya.
  2. Melembagakan nepotisme.
    Orientasi loyalis personal adalah melanggengkan kepentingan keluarga dan lingkaran terdekat figur. Inilah wajah baru politik dinasti yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan warga negara.
  3. Melahirkan kolusi dan politik balas jasa.
    Jabatan publik tidak lagi didasarkan pada kompetensi dan integritas, melainkan pada tingkat loyalitas kepada figur. Akibatnya, kebijakan publik tersandera oleh transaksi politik.
  4. Menyuburkan oligarki.
    Fanatisme personal membutuhkan penyandang dana untuk bertahan. Maka, oligarki ekonomi masuk sebagai sponsor, menjebak negara dalam lingkaran kolusi antara loyalis personal dan oligarki finansial.
BACA JUGA :  Perkuat Silaturahim H.Albiner Sitompul Gelar Pengajian Bersama Masyarakat

Dengan demikian, persoalan ini bukan semata pro-Jokowi atau anti-Jokowi. Masalahnya jauh lebih fundamental:

  • Apakah kita rela demokrasi direduksi menjadi panggung nepotisme?
  • Apakah kita tega membiarkan rakyat hanya menjadi penonton, sementara negara dikendalikan oleh fanatisme personal dan oligarki modal?

Fenomena loyalisme personal harus dihentikan. Bukan karena kebencian terhadap seorang figur, melainkan demi kesetiaan pada konstitusi, demokrasi, dan rakyat.

Demokrasi hanya akan sehat apabila:

  • Kepentingan rakyat ditempatkan di pusat kebijakan.
  • Jabatan publik diisi berdasarkan meritokrasi, bukan balas jasa.
  • Institusi lebih kuat daripada figur.

Jika kita membiarkan fanatisme personal terus dinormalisasi, maka yang kita wariskan kepada generasi mendatang bukanlah demokrasi, melainkan nepotisme, kolusi, dan oligarki dalam balutan demokrasi semu.

BACA JUGA :  Langkah Sederhana Kelola Sampah di Rumah

*(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *