Stretegi Pembangunan Dan Politik Martabe di Tapsel

Suheri Harahap MSi

 

Suheri Harahap MSi (foto/msj)

Oleh : Suheri Harahap M.Si

Bacaan Lainnya

Guna menguatkan ‘ruh’ politik kekuasaan hari ini, kita dihadapkan akan dilema munculnya gerakan politik pragmatisme, dimana seluruh aktifitas politik dan kepemimpinan politik memberi bentuk pola dan steategi transaksional, seolah konsepsi dakwah ideal sebuah ‘utopia’, nonsen, imposible, sesuatu konsep yang melangit meski dari kitab suci (tauhid politik) sulit bahkan dijauhkan atau dianggap tak membumi bagi yang ingin meletakkan fondasi politik sebagai ladang dakwah. Bahkan ini juga relevan dengan politik Pancasila untuk mewujudkan pembangunan bersadarkan lima sila.

Hari ini banyak pihak sedang berjuang merebut ‘kekuasaan’, apa makna kekuasaan itu? Seberapa pentingkah manusia hidup untuk sebuah kekuasaan. Hari kita menyebut kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif (pembagian kekuasaan). Untuk Tapanuli Selatan (Tapsel) terjadi perebutan kekuasaan eksekutif (Bupati dan Wakil Bupati) dalam sistem pemilu hari ini dipilih langsung oleh rakyat sebagai wujud kedaulatan berada ditangan rakyat. Mereka yang dipilih akan menjadi kepala pemerintahan ditingkat kabupaten, pejabat publik dan perpanjangan tangan pemerintah propinsi.

Sebuah mekanisme demokrasi menjadi penting untuk mempertanyakan niat, motivasi dan program yang ditawarkan bagi mereka yang mendaftar calon di partai politik dan ditetapkan. Tentu ada mekanisme lain lewar jalur independen diberi ruang bagi calon, tapi di Tapsel kita lihat tak ada yang mendaftar. Akankah demokrasi pilkada di Tapsel disambut dengan gembira, partisipasi meningkat atau rakyat menunggu siapa yang datang membawa ‘uang’ (konkrit) bukan harapan. Padahal harapan itu jauh lebih baik, mereka bisa mendapatkan misalnya kapan anak-anak kita bisa beasiswa, kapan sekolah gratis, kapan kesehatan murah dan kapan rumah sakit bagus.

Strategi Politik Pembangunan

Lalu seperti apa ‘dakwah politik, sebuah kerinduan akan perlombaan (kompetisi), ‘perebutan’, ‘persaingan’ untuk sebuah kekuasaan dan melanjutkan pembangunan. Perlukah kita berdemokrasi dengan nilai-nilai (doktrin ilahi begitu juga tantangan Islam dan pembangunan), dan seberapa pentingkah kita membahas Umar bin Khattab sebagai Amirul Mukminin? catatan sejarah filosofi penegakan hukum Islam.

BACA JUGA :  GUGAT PEMBAWA MISI DARI VISI JOKOWI

Bagaimana kehidupan sosial, ekonomi, politik yang akan diperjuangkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder kepemimpinan politik). Bagaimana merubah keadaan, ‘sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum, sebelum mereka sendiri yang nerubahnya’. Dalam perspektif ilmu sosial banyak teori-teori sosial menjelaskan tentang ini, apakah teori perubahan sosial, teori tindakan, teori struktural fungsional, teori interaksionisme simbolik dll). Begitu juga teori-teori pembangunan seperti teori modernisasi, ketergantungan, (dependensi), sistem dunia dll.

Maka pembangunan dan kekuasaan harus diisi dengan ‘ruh” Pancasila yang didalamnya terdapat ‘ruh” budaya lokal kalau di Tapsel budaya Angkola  kita menolak ‘ruh’ kapitalisme (ekonomi)/liberalisme (politik), begitu juga sosialisme/marxisme/leninisme, komunisme. Kedepan masyarakat Tapsel semakin cerdas dan dicerdaskan, suatu saat mereka akan protes terhadap tanahnya ketika diambil atas nama pembangunan (investor), mereka mendukung tambang dan PLTA sebagai kebanggaan, tapi menolak jika sungai Batang Toru tercemar.

Begitu juga mempertanyakan bagaimana nasib petambak ikan maupun di danau Siais? mereka bertanya kenapa longsor/banjir, karena terjadi pembalakan liar, bagaimana nasib hutan kita? lalu bagaimana dengan keberhasilan program reboisasi? mereka bertanya juga bagaimana pasar-pasar tradisional nasibnya, jika indomaret, alfamat masuk ke kecamatan? Bagaimana program pemerintah membangun prilkaku hidup bersih dan sehat (membuat jamban (toilet) sehat, dsb. (contoh lihat hasil riset implementasi CSR terhadap masyarakat lingkar luar tambang dan perlunya riset akademis untuk memperkuat data). Diperlukan analisis terhadap kebijakan dan keberpihakan pemimpin.

Dialog  Strategi Pembangunan

Strategi pembangunan perlu dibungkus dengan semangat membangun tanpa korupsi, bangga jadi orang jujur. Seberapa takutkah kita dengan ‘penjara’ dan ‘neraka’?. Mereka ada menyebut ‘jangan datang ke Tapsel kalau tak bawa uang’, apakah karena mereka tak punya uang atau tak punya pekerjaan atau tak punya kebun/ladang? Ataukah sebuah problem mentalitas ?  Disinilah pentingnya  mencerdaskan pemilih dalam pilkada tahun 2020 ini. Dialog pembangunan : antara strategi melanjutkan kekuasaan atau strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Saatnya dibangun sebuah komitmen baru yang mencerdaskan, dan memberi ruang munculnya kesadaran bersama (kolektif) akan dinamika politik seperti kehadiran dakwah politik dimana mayoritas masyarakat Tapsel adalah muslim (jangankan bicara Perda Syariah, Perda Adatpun kita takut, sejauhmana keberhasilan Perda-Perda yang dibuat Pemkab Tapsel, Bagaimana dengan Indeks Pembangunan manusia (IPM)nya?  Apajah tingkat kemiskinan dan pengangguran menurun, hasil-hasil pembangunan menuju pemerataan? Strategi ‘bedah APBD’ akan membantu untuk melihat percepatan pembangunan.

BACA JUGA :  Mengikis Politik Emosional

Disatu sisi kita harus mengakui keberhasilan Bupsti sekarang memimopin dan terpilih dua kali Bapak Syahrul Pasaribu, membangun kantor bupati dan mesjid yang megah, membangun jalan kabupaten, propinsi dan nasional serta infrastruktur lainnya apakah irigasi, jembatan, pertanian dan pengelolaan keuangan dengan predikat WTP. Kondusifitas dan kerukunan masyarakat terjaga (belum ada warga Tapsel kita lihat terpapar radikalisme/terorisme, kamtibmas terjaga, tak terlihat konflik SARA, dan minimi kasus pejabat korupsi), tapi perlu juga ada check and balance atas kondisi masyarakatnya saat ini untuk evaluasi dan kritik secara sehat (konstruktif). termasuk melihat kondisi BUMD Tapsel dan investasi tambang emas dan PLTA nya, UMKM, koperasi, pusat kesehatan masyarakat (puskesma), pariwisata, prestasi olah raga dan lapangan yang tersedia.

Penutup

Akhirnya ‘politik martabe’ dapat dibangkitkan. Politik martabe bertujuan jangka panjang, tak terbatas saat pilkada. Membangun dari desa akan jauh lebih cepat jika didukung oleh para perantau transfer pengetahuan dan ilmu kepada saudara-saudara kita dan menarik saudara kita ke kota untuk sekolah dan kerja, membagi rezeki bagi yang kurang mampu. (politik martabe berbasis dakwah sosial dan kultural). Kita memang akan memilih pemimpin, tapi kita juga harus mendialogkan bagaimana pembangunan dijalankan. ** msj

 

** Penulis adalah Dosen Sosiologi Agama FIS UIN Sumatera Utara Medan **

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *