MEDAN – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) resmi berdiri pada 1 Juli 1946 melalui Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 11/SD. Seiring perjalanan waktu, tugas pokok dan kewenangan Polri kemudian diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
Pada tahun 2014, isu reformasi Polri kembali mencuat dengan usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Isu ini kembali menguat pasca demonstrasi masyarakat di Gedung DPR RI pada Agustus 2025 yang menewaskan satu orang akibat kelalaian sopir kendaraan pengamanan Polri. Peristiwa itu memicu kritik tajam terhadap pimpinan Polri dan tuntutan agar institusi tersebut direformasi.
Namun, menurut Ketua KBPP Polri Sumut periode 2014–2019, Syaiful Syafri, reformasi total terhadap Polri tidak diperlukan. “Berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri sudah memiliki fungsi jelas sebagai alat negara untuk menjaga keamanan, ketertiban, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat sekaligus menegakkan hukum,” ujar Syaiful dalam dialog bersama Nasrullah, Ketua Entitas Kolaborasi Presisi Masyarakat Sipil (Ekosimasip), Kamis (16/10).
Syaiful menambahkan, stabilitas sosial yang dirasakan masyarakat saat ini merupakan hasil kerja Polri, terutama melalui peran Bhabinkamtibmas yang aktif berkolaborasi dengan ulama, tokoh masyarakat, dan pemuda di berbagai daerah.
Ia juga menilai bahwa perbaikan Polri sebaiknya difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan di internal kepolisian. “Tim Transformasi Polri perlu memperbaiki kurikulum pendidikan, mulai dari Tamtama, Bintara, Perwira, hingga Diklat Kejuruan dan Sespim. Materi tentang kehidupan masyarakat dan masalah sosial harus diajarkan langsung oleh para ahli agar anggota Polri tidak terjebak dalam arogansi jabatan,” jelasnya.
Sementara itu, Nasrullah menilai langkah Kapolri membentuk Tim Akselerasi Transformasi Polri merupakan kebijakan kontekstual yang lebih tepat dibanding sekadar upaya reformasi yang digagas Presiden RI Prabowo Subianto. Menurutnya, kedua langkah tersebut penting dan saling melengkapi.
“Transformasi memiliki posisi lebih prioritas karena menyentuh akar persoalan di tubuh Polri, seperti kultur, paradigma, dan sistem kerja. Ini menuntut perubahan cara berpikir dan bertindak seluruh jajaran, bukan sekadar mengganti aturan,” tegas Nasrullah.
Ia menambahkan, reformasi yang digagas Presiden bersifat politis dan normatif, menyoroti aspek kebijakan makro, regulasi, dan struktur kelembagaan. “Reformasi penting sebagai payung besar perubahan, tapi tanpa transformasi di tingkat praksis, semua kebijakan hanya berhenti di atas kertas,” ujarnya.
“Langkah Kapolri mempercepat transformasi adalah tindakan konkret untuk mewujudkan semangat reformasi di lapangan. Transformasi berarti menata ulang budaya kerja Polri dari dalam, membentuk karakter profesional, modern, dan berorientasi pada pelayanan publik,” tutup Nasrullah. (AVN/dan)
- Bersinergi untuk Negeri: UMSU Dampingi UINSU Dirikan Fakultas Kedokteran – Oktober 27, 2025
- UMSU Raih Dua Penghargaan PKM Award 2025 – Oktober 27, 2025
- Hadiri Pelantikan Dekan dan Direktur Sekolah Pascasarjana UMSU, Wamen Diktisaintek Dorong Pendidikan Berdampak – Oktober 25, 2025











