Opini

Indonesia di Persimpangan Bonus Demografi: Peluang Emas atau Ancaman Sosial?

×

Indonesia di Persimpangan Bonus Demografi: Peluang Emas atau Ancaman Sosial?

Sebarkan artikel ini
Bonus Demografi

Oleh: Leriadi

(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional [UNAS] Jakarta)

Indonesia tengah memasuki fase krusial dalam sejarah demografinya. Sejak 2020 hingga 2045, negeri ini menikmati apa yang disebut sebagai bonus demografi, di mana sekitar 70 persen penduduk berada pada usia produktif (15–64 tahun). Kondisi ini menjadi momentum langka yang hanya terjadi sekali dalam sejarah bangsa.

Namun, peluang emas ini juga menyimpan ancaman besar. Jika tidak dikelola dengan baik, bonus demografi bisa berubah menjadi “bom waktu sosial” yang mengguncang stabilitas ekonomi dan politik nasional.

Pertumbuhan Ekonomi yang Belum Cukup Kencang

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkisar di angka 5 persen, sedangkan pertumbuhan angkatan kerja mencapai sekitar 2 persen per tahun. Menurut perhitungan Bappenas dan Bank Dunia, Indonesia membutuhkan pertumbuhan minimal 6,5–7 persen untuk dapat menyerap tambahan tenaga kerja secara optimal.

Dengan laju 5 persen, lapangan kerja baru yang tercipta sebagian besar bersifat informal, berupah rendah, dan tidak stabil.

Data BPS (Agustus 2024) mencatat:

  • Tingkat pengangguran terbuka: 5,3 persen atau sekitar 7,6 juta orang.
  • Jika termasuk pekerja setengah menganggur dan informal, jumlahnya bisa mencapai 30 juta orang.
  • Mayoritas berasal dari generasi milenial (lahir 1981–1996) dan generasi Z (lahir 1997–2012) — kelompok usia yang justru menjadi tulang punggung masa depan ekonomi bangsa.

Dampak Sosial dan Politik: Frustrasi Generasi Muda

Ketidakseimbangan antara pendidikan dan kesempatan kerja telah menciptakan potensi frustrasi di kalangan generasi muda. Lulusan universitas dan sekolah vokasi semakin banyak, namun lapangan kerja berkualitas tidak tumbuh sepadan.

BACA JUGA :  Analisis Perbandingan Indonesia dan Malaysia: Sejarah, Sumber Daya, Ekonomi, dan Peran Global

Fenomena ini melahirkan “kelas pekerja digital informal” seperti pengemudi ojek online, reseller, dan freelancer yang tidak memiliki perlindungan sosial memadai. Di sisi lain, muncul “elite digital” yang menikmati keuntungan dari ekonomi teknologi. Ketimpangan ini berpotensi menciptakan jurang sosial baru.

Sejarah dunia menunjukkan, pengangguran muda sering menjadi pemicu instabilitas politik, seperti yang terjadi pada Arab Spring di Timur Tengah atau krisis di Sri Lanka. Indonesia pun tidak kebal terhadap risiko serupa. Dengan karakter masyarakat yang ekspresif dan mudah termobilisasi melalui media sosial, frustrasi ekonomi dapat dengan cepat berubah menjadi gerakan politik.

Generasi Kritis dan Tantangan Stabilitas Politik

Generasi muda Indonesia kini dikenal lebih kritis, egaliter, dan sensitif terhadap isu keadilan sosial. Mereka menolak sistem politik yang dianggap tertutup dan tidak meritokratik.

Apabila mereka merasa tidak mendapat ruang dalam sistem, potensi munculnya gerakan politik jalanan, aktivisme horizontal, hingga ketidakpercayaan terhadap lembaga formal semakin besar. Karena itu, stabilitas politik nasional sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menciptakan ekonomi yang inklusif dan berbasis meritokrasi.

Strategi Lintas Sektor untuk Menyelamatkan Bonus Demografi

Untuk mengubah bonus demografi menjadi mesin kemakmuran, bukan beban sosial, diperlukan strategi lintas sektor yang terintegrasi dan berkelanjutan:

  1. Bidang Ekonomi dan Industri
    Fokus pada industrialisasi padat karya berbasis teknologi menengah, seperti manufaktur, agroindustri, dan layanan digital. Tujuannya bukan sekadar menciptakan pertumbuhan, tetapi menyerap tenaga kerja secara masif.
  2. Bidang Pendidikan dan SDM
    Lakukan reformasi pendidikan vokasi dan politeknik agar lebih demand-driven, sesuai kebutuhan pasar kerja, bukan sekadar mencetak lulusan akademik.
  3. Bidang Kewirausahaan Muda
    Perluasan akses permodalan, pelatihan bisnis digital, dan insentif bagi startup teknologi dan pertanian modern untuk membuka lapangan kerja baru.
  4. Bidang Reformasi Pasar Kerja
    Lakukan deregulasi yang memudahkan mobilitas antar-sektor, namun tetap menjamin perlindungan sosial minimum bagi pekerja.
  5. Bidang Reformasi Birokrasi dan Politik
    Pemerintahan harus menerapkan sistem meritokrasi agar generasi muda yakin bahwa kompetensi, bukan koneksi, menjadi dasar keberhasilan.
BACA JUGA :  Murur ; Inovasi Kebijakan Publik Layanan Haji Lansia dan Penyandang Disabilitas

Kesimpulan: Ujian Kepemimpinan Nasional

Bonus demografi bukan sekadar fenomena statistik, melainkan ujian bagi kepemimpinan nasional. Pemerintah dituntut memastikan bahwa setiap warga muda mendapat kesempatan bekerja dan berkontribusi secara produktif.

Jika gagal, bonus demografi bisa berubah menjadi “liabilitas demografi” — beban sosial dan politik yang berpotensi mengguncang fondasi bangsa. Namun jika berhasil, Indonesia akan melangkah menuju era kemakmuran berkelanjutan, sejajar dengan negara-negara maju di Asia. **

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *