Analisis Maslahat Mursalah Terhadap Perkawinan Beda Agama

Iwan Nst

Iwan Nst

Oleh : Dr. Iwan Nasution, M.HI

Perkawinan merupakan syariat Allah kepada manusia dalam rangka menyalurkan kebutuhan biologis terhadap lawan jenisnya. Sesuai petunjuk Allah, bahwa perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang muslim dengan muslimah dan sebaliknya.

Namun dewasa ini, banyak dijumpai hubungan pria dan wanita yang berbeda agama yaitu Muslim dengan non Muslim yang sampai pada jenjang perkawinan. “Perkawinan beda agama”, yang dimaksud disini ialah perkawinan orang Islam baik laki-laki maupun perempuan dengan orang bukan Islam (pria/wanita).

Perkawinan sejatinya menyimpan berbagai hikmah dan kemaslahatan jika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah Swt, dan apa jadinya tatkala hukum Allah mengenai larangan perkawinan beda agama itu dilanggar. Apakah perkawinan beda agama dapat mendatangkan kemaslahatan atau sebaliknya.

Perspektif Hukum Islam Terhadap Perkawinan Beda Agama

Dalam literatur klasik tidak dikenal kata Perkawinan Beda Agama secara literal dan tidak ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun pembahasan yang terkait dengan masalah tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai wanita yang haram dinikahi atau pernikahan yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai az-zawaj bi al-kitabiyat, az-zawaj bi al-musyrikat atau az-zawaj bi ghair al-muslimah (perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu perkawinan dengan wanita-wanita Yahudi dan Nashrani), perkawinan dengan wanita-wanita musyrik (orang-orang musyrik) dan perkawinan dengan non muslim.

Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penetapan larangan nikah beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada alasan yang kuat, antara lain: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab 1 pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini menjadi pijakan “dasar perkawinan” bagi warga Negara Indonesia (termasuk umat Islam di Indonesia) yang merupakan ketentuan hukum Negara yang berlaku umum, mengikat, dan meniadakan perbedaan pendapat. Hal in sesuai dengan kaidah hukum Islam “Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat”.

Dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur fiqh klasik, Perkawinan Beda Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori :
1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wania musyrik.
2. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab; dan
3. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik atau ahli kitab).

Pertama, perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan sebaliknya. Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan seorang wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2), ayat 221:
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Menurut Qatadah, maksud dari ayat “dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” adalah untuk wanita musyrik yang bukan termasuk ahli kitab. Ayat ini umum secara zhahir dan khusus secara batin dan tidak ada nasakh hukum dari ayat tersebut. (Ibn Jarir at-Thabari, 2000: 389).

Ayat lain tentang pelarangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah (60): 10. “Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka”.

Kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, di dalam literatur klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan perkawinan tersebut dan sebagian dari mereka hanya menganggap makruh, mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5): 5 :
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

Para ulama menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan halalnya menikahi para wanita ahli kitab, yaitu wanita Yahudi atau Nashrani. Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan al-muhshanat yang dimaksudkan disini yaitu wanita-wanita merdeka, yaitu dihalalkan bagi kalian wahai orang-orang beriman, menikahi wanita-wanita merdeka dari kalangan wanita mukmin, ataupun wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu wanita-wanita Yahudi atau Nashrani, jika kalian memberikan kepada mereka mahar ketika menikahi mereka.

Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim atau kafir, para ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam, sama adanya calon suami dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci.

Maksud dari lafaz musyrik pada ayat “dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” adalah semua orang kafir yang tidak beragama Islam, yaitu watsani (penyembah berhala), majusi, yahudi, nasrani dan orang yang murtad dari Islam. Semua yang disebutkan tadi haram bagi mereka menikahi wanita-wanita muslimah.

BACA JUGA :  Menakar Kepantasan Sugiat Santoso Memimpin KAHMI Sumut

Seorang suami mempunyai kekuasaan atas istri, ada kemungkinan sang suami memaksa istrinya untuk meninggalkan agamanya dan membawanya kepada yahudi atau nasrani. Pada umumnya, anak akan mengikuti agama ayahnya, jika ayahnya yahudi atau nasrani maka mereka akan mengikutinya.

Sedangkan seorang pria muslim, ia akan mengagungkan Nabi Musa dan Isa As. percaya dengan risalah mereka dan turunnya taurat dan injil. Seorang muslim tidak akan menyakiti istrinya yang merupakan seorang yahudi atau nasrani dengan alasan keimanan mereka yang berbeda.

Berbeda jika suami yang tidak mempercayai Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw., dengan tiada keimanannya terhadap Islam menyebabkannya menyakiti wanita muslimah dan meremehkan agamanya.

Hukum Positif UU No. 1 Tahun 1974

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kata “ikatan lahir batin” dalam pengertian tersebut dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak cukup hanya dengan adanya ikatan lahir saja, atau hanya dengan ikatan batin saja, namun harus keduanya ada dalam perkawinan.

Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa perkawinan adalah ikatan yang dapat dilihat, artinya adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama, sebagai suami isteri. Ikatan ini dapat juga disebut sebagai “ikatan formal” yakni hubungan formal yang mengikat dirinya, orang lain dan masyarakat.

Sedangkan “Ikatan batin” dapat dimaknai sebagai hubungan yang tidak formil, artinya suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, namun harus ada karena dengan tidak adanya ikatan batin dalam perkawinan maka ikatan lahir akan rapuh.

Pengertian perkawinan di atas mengadung beberapa aspek. pertama: aspek yuridis, karena di dalamnya terdapat ikatan lahir atau formal yang melahirkan hubungan hukum antara suami isteri; kedua: aspek sosial, dimana perkawinan merupakan hubungan yang mengikat dirinya, orang lain dan masyarakat; ketiga: aspek religius, yaitu dengan adanya tujuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia.

Perkawinan sebagai salah satu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum, mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum itu. Dalam Pasal 2 UUP disebutkan syarat sahnya perkawinan, yaitu:
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal ini terdapat penegasan bahwa perkawinan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum yang sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 UUP bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayan itu. Hal ini, sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 :
1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di Indonesia, Perkawinan Beda Agama, sebelum lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan sebutan “Perkawinan Campur”, sebagaimana diatur pertama kali dalam Regeling op de gemengde Huwelijken, Staatblad 1898 No. 158, yang merupakan Peraturan Perkawinan Campur/PPC).

Dalam PPC tersebut terdapat beberapa ketentuan tentang perkawinan campur (perkawinan beda agama) :

Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang yang di Hindia Belanda tunduk kepada hukum yang berbeda, disebut Perkawinan Campur.

Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon pasangan kawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2): perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Pasal-pasal tersebut di atas menegaskan tentang pengaturan perkawinan beda agama, bahkan disebutkan, perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.

Pencatatan Sipil dalam Perkawinan Beda Agama

Dalam hal perkawinan beda agama, walaupun tidak secara tegas menutup peluang perkawinan, antar pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan. Namun UU No.1/1974 menjadi petunjuk bagi petugas KCS atau KUA untuk menolak pencatatan perkawinan tersebut berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974.

Akibat sulitnya mencatatkan perkawinan beda agama di Indonesia, banyak sekali pasangan beda agama yang terpaksa mencatatkan perkawinan mereka di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke KCS Indonesia. Yang menyedihkan adalah mereka yang tidak mampu menikah di luar negeri, terpaksa harus melangsungkan perkawinan tanpa akta perkawinan.

Berdasar Pasal 2 ayat (1) PP No. 9/1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (yaitu KUA).

Melihat dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam yang dicatatkan di KUA. Ini berarti perkawinan beda agama, jika dilakukan dengan penetapan pengadilan, dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Akibat dari keraguan tersebut, akhirnya berbagai cara pun ditempuh agar perkawinan yang tidak sesuai UU No.1/1974 tetap diakui oleh negara.

Dalam hal perkawinan beda agama, walaupun tidak secara tegas menutup peluang perkawinan, antar pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan. Namun UU No.1/1974 menjadi petunjuk petunjuk bagi petugas KCS atau KUA untuk menolak pencatatan perkawinan tersebut berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974.

Macam-macam upaya yang dilakukan pasangan beda agama agar perkawinan mereka sah dan dapat dicatatkan di KCS Indonesia, yaitu:
1) Pasangan beda agama menikah di Indonesia, walaupun mereka mengetahui bahwa perkawinan beda agama tidak dapat dicatatkanpada KCS, lalu berusaha mendapatkan legalitas mereka di luar negeri yaitu dengan cara menikah lagi menurut hukum formil perkawinan dari negara yang membolehkan perkawinan beda agama tersebut, untuk mendapatkan akta perkawinan yang akan dilaporkan di KCS Indonesia.

BACA JUGA :  Kisah Kilau Arjun Hutagalung: Sukses Adsense yang Berawal dari Desa Terpencil di Sumatera Utara

2) Pasangan beda agama memilih menikah di luar negeri agar bisa langsung mendapatkan akta perkawinan dan dapat segera dilaporkan di KCS Indonesia.

3) Pasangan beda agama menikah dua kali yaitu menikah dengan hukum agama suami dan hukum agama isteri, kemungkinan untuk dicatatkan sangat sulit karena perkawinan belum sah.

4) Pasangan beda agama yang menikah di Indonesia, mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri agar hakim pengadilan negeri membuat penetapan agar KCS mencatatkan perkawinan beda agama tersebut.

5) Salah satu pasangan beda agama tersebut menundukkan diri pada hukum agama pasangannya, agar perkawinan mereka sah dan dapat dicatatkan di KCS. Setelah mendapatkan akta perkawinan pasangan yang menundukkan diri tersebut kembali kepada agamanya semula.

Dari uraian tersebut, maka pasangan beda agama telah melakukan penyelundupan hukum untuk menyimpangi hukum perkawinan nasional. Oleh karena UU No.1/1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama maka pencatatan perkawinan beda agama pun tidak dapat dilakukan pada KCS atau KUA.

Memandang persoalan pencatatan perkawinan menjadikan perkawinan tersebut sah atau tidak, penulis mengambil sikap menggunakan Interpretasi diferensif dalam memandang persoalan tersebut. Interpretasi diferensif merupakan suatu interpretasi yang memandang sahnya perkawinan hanya diatur dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan.

Sedangkan regulasi kewajiban pencatatan nikah sebagaimana ditunjukkan pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undnag Perkawinan hanya merupakan administratif perkawinan semata yang tidak terkait dengan syarat sahnya perkawinan.

Apalagi jika kita menyelidiki pasal 8 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan salah satu larangan untuk dilangsungkan perkawinan adalah apabila calon mempelai memiliki hubungan yang dilarang melangsungkan perkawinan oleh agama maupun oleh peraturan lainnya.

Oleh karenanya perkawinan beda agama adalah sah selama masing-masing agama dan kepercayaan dari calon mempelai mengizinkan dilangsungkan perkawinan beda agama. Keabsahan perkawinan tidak terikat pada persoalan dicatat atau tidaknya perkawinan tersebut.

Tujuan Perkawinan Seakidah

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbul kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Menurut Imam Al-Ghazali tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta kasih sayang.

Pada realitasnya, pernikahan beda agama di Indonesia terjadi di kalangan artis maupun masyarakat biasa. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama tetap berjalan, walaupun kontroversial.

Di satu sisi dihadapkan dengan hukum Islam, dan di sisi lain ada regulasi sebagai hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penegasan alquran surat alBaqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam dalam katagori musyrik/musyrikah.

Seorang pria muslim dibolehkan menikah dengan seorang wanita ahlulkitab (Yahudi dan Kristen) berdasarkan QS al-Mā’idah ayat 5, disertai syarat jika kualitas keimanan dan keislaman pria muslim tersebut baik, sebab pernikahan semacam ini mengandung risiko yang tinggi: “pindah agama atau bercerai”, karena hingga saat ini pun sangat sulit menemukan Wanita ahlul kitab sebagaimana yang dimaksud dalam ayat tersebut.

Pernikahan pria muslim dengan wanita ahlulkitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi “mubah” (boleh dilakukan), tetapi bukan anjuran, apalagi perintah. Sahabat Umar bin Khattab juga menunjukkan sikap tidak setuju kepada sahabat Hudzaifah bin alYaman dan Thalhah yang menikahi wanita Yahudi dan Kristen, karena khawatir diikuti kaum muslimin lainnya, sehingga mereka akan menjauhi wanita-wanita muslimah.

Analisis Maslahat Mursalah Terhadap Perkawinan Beda Agama

Istilah al-maṣlaḥah pada dasarnya mengandung arti menarik manfaat dan menolak mudarat. Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab menarik manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), sedangkan kebaikan bagi makhluk (manusia) ada dengan tercapainya tujuan mereka.

Yang kami maksudkan dengan maṣlaḥat ialah memelihara tujuan syariat (maqāṣid alsyarī‘ah). Tujuan syariat itu ada lima; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap usaha untuk memelihara prinsip ini disebut al-maṣlaḥat dan setiap upaya merusak, mencederai adalah mafsadat dan menolaknya adalah al-maṣlaḥah itu sendiri.

Akar historis pengharaman tersebut dapat ditemukan pada kebijaksanaan ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, yaitu ketika ia memerintahkan Ḥudhaifah ibn al-Yaman untuk menceraikan wanita Yahudi yang telah dinikahinya karena menimbulkan kesan negatif, dan tidak dapat direalisasikan tujuan perkawinan.

Oleh karena itu, pengharaman perkawinan beda agama termasuk dengan perempuan ahlul kitab tersebut didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yakni untuk menutup jalan timbulnya sesuatu yang membahayakan (tindak preventif), khususnya pada tujuan syariat untuk memelihara akidah.

(Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara)

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *