Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
RIAK politik Indonesia pasca Mahkamah Konstitusi RI menolak gugatan Prabowo-Sandi yang berakhir dengan bubarnya koalisi partai politik pendukung pasangan Prabowo-Sandi. Prabowo sebagai capres pada pilpres 2019, resmi membubarkan koalisi partai politik pendukungnya dan mempersilakan partai politik pendukung mengambil sikap politik partai masing-masing.
Bubarnya koalisi partai politik Prabowo-Sandi ini, ternyata tidak sampai di situ. Jokowi dan Prabowo pun bertemu sekaligus memicu kemarahan politik para pendukung koalisi dalam Gerbong MRT kemudian diakhiri suguhan makan siang bersama di sebuah restoran. Dari silaturrahim politik ini muncullah istilah rekonsiliasi dari kedua kubu yang selama ini tak pernah terbayangkan kubu pasangan Prabowo-Sandi, bahkan para pendukung Prabowo sekalipun pada pilpres 2019 lalu. Sikap yang ditunjukkan Prabowo ini justru mengundang kecemburun politik bagi koalisi partai politik 01 dan 02. Mengapa demikian? Prabowo Subianto ternyata tidak melibatkan koalisi yang tergabung dalam pasangannya ketika bertemu Jokowi. Faktanya juga bahwa elit PKS, PAN dan Demokrat tidak terlihat dalam silaturrahim politik antara Jokowi dan Prabowo itu.
Kecemburuan politik tersebut ternyata tidak terjadi di kubu 02 saja, justru koalisi partai politik 01 pun meradang. Kekhawatiran ini memang sudah terbaca jauh-jauh hari ketika Jokowi-Prabowo bertemu. Rekonsialiasi yang dimaksud dalam semiotika komunikasi pada pertemuan itu, bagaimana Gerindra masuk dalam koalisi pemerintahan. Angin politik semakin kencang dan terus berhembus ketika sebagian kader Gerindra plus pendukung Prabowo-Sandi tetap menginginkan partainya berada di luar pemerintahan. Peta politik tersebut ternyata tidak mudah untuk diprediksi, isu politik merebut kursi dalam kabinet Jokowi juga semakin santer. Apakah setelah pertemuan Megawati dan Prabowo, Jokowi bakal merekrut kader Gerindra masuk kabinet. Atau jabatan Ketua MPR diberikan kepada Gerindra. Tanda tanya seperti inilah yang kerap menghiasi politik kekinian kita di Indonesia.
Di sisi lain, kecemburuan politik nampak kental di kubu koalisi 01. Partai politik yang sudah “berdarah-darah” mendukung Jokowi pada pilpres 2019 yakni Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan Hanura minus PDIP, merasa tidak dilibatkan dalam pertemuan Jokowi dan Prabowo bahkan pertemuan Mega dan Prabowo. Koalisi partai politik Jokowi minus PDIP pun kumpul menanggapi agenda di balik pertemuan Mega-Prabowo. Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bereaksi dengan gaya politiknya. Ia mengundang Gubernur DKI Jakarta Anies Basweda dan seakan membuat pertemuan tandingan pada pertemuan Mega dan Prabowo. Surya Paloh pun menyatakan siap mencapreskan Anies Baswedan pada pilpres 2024. Bisa jadi, ucapan politik Surya Paloh ini memberi signal kuat bagi Anies Baswedan untuk mempersiapkan diri maju pada pilpres 2024. Dukungan utama dan pertama yang bakal dikantongi Anies Baswedan berasal dari Partai Nasdem. Jika peta pencapresan Anies Baswedan ini sukses, maka Nasdem merupakan partai politik pertama yang mempersiapkan capresnya berkompetisi di 2024 akan datang.
Bola Panas Koalisi
Ada pertanyataan mendasar yang patut untuk dipertanyakan. Jika Gerindra masuk koalisi pemerintahan, bagaimana nasib koalisi partai politik Jokowi yang sudah berjibaku memenangkannya? Nampaknya ini bakal menjadi bola panas bagi pemerintahan Jokowi lima tahun mendatang.
Andaipun Gerindra bergabung ke koalisi pemerintahan dan diberi jatah menteri atau jabatan strategis lain, dipastikan bakal mengurangi kekompakan koalisi partai politik. Apalagi jatah menteri yang seharusnya diperuntukkan bagi koalisi partai politik Jokowi berkurang secara otomatis. Inilah yang saya maksud menjadi bola panas bagi Jokowi. Gelindingan bola panas ini bakal berlangsung lama, jika koalisi partai politik Jokowi tidak menerimanya dengan lapang dada.
Kemungkinan Gerindra masuk ke pemerintahan bisa terjadi. Apalagi kultul politik kita di Indonesia tetap cair. Kultur politik kita justru menghindari politik ketegangan. Sikap partai politik dalam koalisi pemerintahan dan koalisi di luar pemerintahan acapkali berakhir damai. Politik Win win solution dari kedua kubu tetap berjalan, meski pada akhirnya ada kelompok yang ditinggalkan akibat tercederai politik bumi hangus. Mengapa bola panas sedang “menghantui” Jokowi dan koalisi partai politiknya? Pertama, Jokowi sangat ingin Gerindra duduk sama dalam koalisi pemerintahan. Bisa jadi, Jokowi menganggap Gerindra selama dinakhodai Prabowo terlihat lebih solid jika dibanding partai politik koalisi lainnya yang berada dalam koalisi Prabowo-Sandi. Kemungkinan ini sangat kuat, hingga akhirnya Jokowi ingin Gerindra bergabung di pemerintahan. Andai ini terjadi, sungguh di luar dugaan politik kita lawan jadi kawan sebaliknya kawan jadi lawan. Sikap inilah yang memunculkan kecemburuan politik bagi partai politik koalisi Jokowi.
Kedua, kemungkinan Jokowi belum puas dengan koalisi 62 persen yang ada saat ini. Koalisi gemuk diprediksi menghamoniskan pemerintahan. Jika Gerindra masuk koalisi pemerintahan, jalannya pemerintahan semakin kuat. Signal ini bisa jadi terealisasi pasca bertemunya Mega dan Prabowo. Hubungan Gerindra dan PDIP memang tak perlu diragukan lagi. Baik Gerindra dan PDIP pernah sama-sama mengusung pencapresan Mega-Prabowo pada pilpres 2009 lalu meski kemudian dimenangkan pasangan SBY-Boediono.
Bola panas yang ketiga, bakal bubarnya koalisi partai politik Jokowi. Partai Golkar, Nasdem, PKB dan PPP bakal mencari kiblat politik yang berbeda bahkan dapat berseberangan dengan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi. Jika ini terjadi, sangat dimungkinkan krikil-krikil tajam bakal berjalan di tengah pemerintahan Jokowi. Bola panas seperti inilah yang membawa pemerintahan Jokowi semakin tidak sehat. Krikil-krikil tajam politik inilah yang bakal menerjang pemerintahan Jokowi bertubi-tubi, jika Jokowi tidak sesegera mungkin memperbaiki hubungannya dengan koalisi partai politik saat berkuasa.
Akhirnya, sekedar sumbang saran saya dalam tulisan ini. Jokowi sebaiknya lebih panjang berpikir untuk menerima koalisi partai politik Prabowo masuk ke koalisi pemerintahan. Andaipun Gerindra, PAN dan Demokrat masuk koalisi pemerintahan, bukan menambah baik perjalanan pemerintahan sekarang. Jusru sebaliknya akan menambah runyamnya perjalanan pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan.
Atas dasar itulah, jika Jokowi tidak ingin masuk ke pusaran politik konflik koalisi, ada baiknya Jokowi langsung menutup kran politik untuk tawar menawar masuk kabinet di pemerintahannya. Tidak ada jaminan, jika Gerindra, PAN dan Demokrat masuk ke kabinet Jokowi membuat aman pemeintahan. Justru bakal terjadi sebaliknya, Jokowi sulit mengendalikan krikil-kritil tajam selama menjalankan pemerintahan. Biarlah Gerindra, PAN dan Demokrat berada di luar pemerintahan. **
** Penulis adalah dosen komunikas politik UIN Sumatera Utara.