Scroll untuk baca artikel
#
Opini

Euphemisme Konsep Zakat dan Sustainable Human Development

×

Euphemisme Konsep Zakat dan Sustainable Human Development

Sebarkan artikel ini
Muhammad Yusri Isfa (foto/dok/msj)
Muhammad Yusri Isfa. (foto/dok/msj)

Oleh : Dr Muhammad Yusri Isfa MSi

Menghadapi wabah pandemik global ini tentu tidak menggoyahkan akan kewajiban-kewajiban beribadah baik mahdoh maupun khoiru mahdoh. Jika pun ada protap protap khusus terkait tata cara beribadah yang dilakukan di masjid-masjid tentu kita samikna wa atokna terhadap amanat maupun instruksi, baik dari Persyarikatan Muhammadiyah, Pemerintah maupun Majelis Ulama. Tentu termasuklah dalam masalah zakat, kewajiban ini tidak dapat pengecualian oleh karena adanya pandemik Global ini.

Dalam Islam dikenal dua zakat yaitu zakat Fithri dan Zakat Mall. Kedua zakat ini memliki prosedur atau tata cara dalam mengimplementasikannya yang terkait dengan waktu. Zakat mall disalurkan setiap satu tahun se kali yang waktunya tetentu tergantung pada saat kapan dimulainya perolehan pendapatan dalam satu tahun. Dalam bab Zakat Ibnu Qoyyim Aljauziyah Rasul mengatakan bahwa dibolehkannya zakat harta dibayar sebelum setahun. Boleh dan biasa saja para muzakki membayarkannya setiap bulan Ramadhan yang bersangkutan. Penerima atau yang mustahak (musytahik) untuk meneima adalah mereka yang tergolong delapan asnab.

Selanjutnya zakat fithri disalurkan pada saat bulan Ramadhan setiap tahun, Zakat fithri atau zakat fitrah ini terikat dengan waktu yaitu dibulan Ramadahn setiap tahun. Bagi petugas zakat atau yang kita kenal dengan amil zakat mesti sudah menyalurkannya kepada musytahik paling lama tiga hari sebelum sholat Idul Fithri.

Sedangkan musytahik zakat fithri hanya ada dua yakni Fakir dan Miskin. Bahkan pada suatu ketika Rasul pernah ditanya oleh para Hartawan, suatu ketika zakat fitrah hanya ada penerima yaitu orang yang memusihi mereka, lalu hartawan bertanya : Apakah kami boleh menyembunyikan harta kami? Rasul menjawab: “Jangan”

Penulis hendak mengurai secara sederhana dalam kajian kultum ini adalah “eupimisme Zakat” (kata lain dari Zakat) Dalam Pembangunan Manusia Berkelanjutan. Terlebih masa tulisan ini dibuat saatnya ummat Islam akan membayar, atau diberi spirit, atau diingatkan/direfreshh akan kewajiban membayar zakat, baik zakat Fithri maupun zakat Mal.

Bahwa zakat sesungguhnya merupakan kata lain pertumbuhan, pengembangan yang berkelanjutan bagi eksistensi ummat yang berkeadilan. Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat ayat tuntunan dan ajakan untuk segera menunaikan zakat. Dan ayat ayat tersebut selalu bergandengan dengan “Aqimissholata wayuktuzzakata), tegakkan sholat dan tunaikan Zakat. Sebagi contoh lihat QS 2 (110), QS Al Bayyinah 98 (5) dan masih banyak lagi tentunya.

Permasalahan yang muncul dewasa ini adalah ketidak maximalnya pengumpulan, pendistribusian dan pertanggung jawaban zakat mall yang dikelola badan badan amil zakat. Hal ini diprediksi akan memperbesar kurangnya trust (kepercayaan) para muzakki yang hendak menyalurkan zakat mal melalui badan badan amil zakat itu.

Akhirnya, banyak yang menyalurkannya secara pribadi, perorangan kepada para musytahik, Mereka merasa puas dapat menyalurkannya kepada penerima secara langsung, ketauan siapa orang yang menerima dan ada kelegaan/kepuasan dari Muzakki apabila disalurkan secara langsung. Namun cara ini tentu mengakibatkan data kongkrit potensi zakat ummat Islam Indonesia menjadi bias, tidak trerkordinasi dengan baik. Salah seorang Muzakki yang sempat saya wawancarai Jumat 16 Ramadhan 1441 H diseala sela usai sholat Jumat; “ saya lebih puas menyalurkannya langsung pak kepada orang orang disekeliling tempat tinggal saya” Ini mungkin hanya satu diantara sekian banyak para muzakki.

Padahal Bappenas RI pernah paparkan bahwa potensi zakat ummat Islam Indonesia itu besar sekali, tahun 2016 sebesar 2.931 miliar (2,9 Triliun), 2017 sebesar 4.816 miliar (4,8Triliun), tahun 2019 kepala Bapenas menyebutkan potensi zakat di Indonesia adalah 217 Triliun. Bahkan Peran strategis Filantropi Islam, zakat akan mengantarkan pada pusat Ekonomi Islam di Dunia pada tahun 2024 yang akan datang, (www.bappenas.go.id), diunggah pada 16 Ramadahan 1441 H/8 Mai 2020). Kekayaan ummat Islam secara kommunal ini diporediksi di tahun 2024 justeru akan semakin subur menjadi 10 Triliun bahkan lebih, bila mana sadar zakat akan semakin baik tetntunya.

Eufemisme Zakat Secara Kontekstual

Saya tidak bermaksud bahwa kata “zakat” mengartikulasikan perkataan “kasar” yang tidak atau kurang menyenagkan tapi setidaknya ingin memberi artikulasi yang lebih menyenangkan, lebih halus mungkin ya. Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa “eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan”.

BACA JUGA :  Gelar Sertifikasi Hakim Bersama Mahkamah Agung, Menteri AHY Tekankan Pentingnya Kolaborasi untuk Hadirkan Keadilan bagi Masyarakat

Mari kita arahkan agar literasi“zakat” ini menuju kepada mindset yang dapat menyenangkan ummat Islam, sehingga jika dimungkinkan senang dari aspek perkataan selanjutnya diiringi dengan dengan implementasi atau perbuatan. Selama ini kita mengartikulasikan zakat hanya secara hitung hitungan kuantitatif, misalnya berapa persen dikenakan zakat untuk zakat mal, berapa gram emas, berapa banyak padi/sawah dan lain lain. Jadi yang terpatri hanya berapa harta atau harta yang didapat setahun dan berapa pula yang akan dikeluarkan.

Lalu dengan itu mungkin ummat Islam menghitungnya hanya dari untung rugi secara ekonomi atau semacam perspektif bisnis, padahal zakat sesungguhnya jauh berdampak positip yang lebih banyak bila ditunaikan.Oleh karena itu pemaknaan lain dari zakat ini sangat penting di urai, baik bagi para calon calon muzakki dan atau para mustahik yang kelak berupaya akan menjadi muzakki pula. Mengapa?, sebab zakat ini juga mengandung spirit bagi penerima. Mereka akan bertanya “kapan saya bisa sebagai pembayar zakat”. Mari kita liat berikut ini:

Ada empat makna zakat yang harus kita fahami sebagai seorang Muslim. Pertama, zakat adalah membersihkan atau mensucikan (At-Thohuru). Kenapa mensucikan. karena didalam harta harta itu sesungguhnya ada yang menjadi hak-hak orang lain (mustahik). Oleh karenanya jika harta yang dimiliki seseorang Muslim yang sudah sampai pada jumlah nominal zakat yang harus dikeluarkan (haulnya) maka sebanyak dua koma lima persen wajib dikeluarkan.

Kedua, makna keberkahan atau Al Barokahu, artinya harta yang kita sucikan dengan mengeluarkan hak orang lain didalamnya akan membawa pula keberkahan keberkahan yang lain, diantaranya; kenenagan jiwa, kesehatan, kelapangan, kemudahan kemudahan lain, termasuk kemudahan dalam berusaha/beraktifitas di jalan Allah, fi sabilillah.

Ketiga, makna As Sholahu dimana zakat itu membereskan, menuntaskan, menclearkan/mengesampingkan problem preblem dalam kehidupan. Hidup akan lebih beres, lebih cespleng, lebih tenang, tidak membawa kegelisahan hidup. Kegelisahan kegelisahan dalam hidup cukup banyak, padahal kurang duit? Tidak, kurang harta? Tidak juga, kurang makanan? Belum tentu, kurang Jabatan? Sudah seabrek. Lalu kenapa gelisah seolah banyak problem?. Saatnya coba lah kita introspeksi, mungkin kewajiban satu ini belum tunai kita bayar.

Keempat, makna tumbuh dan berkembang (An Numuw), makna ini tumbuh dan berkembang. Masya Allah barangkali agak sulit bagi teori ekonomi clasik dan modern memaknai hal ini. Bagaimana mungkin harta yang dikeluarkan justeru menjadi berkembang. Dalam makna lain dengan modal sekecil kecilnya mendapat keuntungan yang sebesar besarnya. Dalam buku Fiqih Empat Mazhab disebutkan bahwa ada empat harta yang senatiasa tumbuh dan berkembang itu yakni; binatang ternak, emas/perak, barang dagangan dan tanaman tanaman khusus yang bisa ditakar seperti buah buahan, padi padian.

Itulah keempat makna zakat, sebagai pembersih harta yang diperoleh, sebagai penambah keberkahan keberkahan lain, sebagai faktor pemberes dari masalah masalah, dan bagai mana mungkin harta yang dikeluarkan (zakat) tidak dalam rangka sebagai aliran modal atau salah satu faktor produksi, namun bisa menambah, bisa membuat profit, atau mendapat margin yang begitu besar. Inilah rahasia Allah Subhanahu Wata’ala yang tidak terterima oleh para kapitalis itu.

Zakat dan Pembangunan Manusia Berkelanjutan

Ada sebutan muzakki. Dalam konteks zakat sebagaimana makna keempat yakni tumbuh dan berkembang (an Nuwun) itu merupakan konsep bagaimana kita sebagai muslim memiliki sprit untuk dapat berusaha/berjihad dijalan Allah dengan cara mengumpulkan/mendapatkan harta yang halalan toyyiban. Dapat sebagai peternak, sebagai investor emas, sebagai pedagang maupun sebagai petani. Inilah esensi keberadaan ummat di bidang enterpreneurship yang berkeadilan. Ini sesungguhnya sebuah ajakan agar ummat bisa menekuni bidang ini, mengingat regulasi pembayaran zakatnya juga diatur dalam hukum Fiqih.

Di samping hal tersebut zakat sebagai sprit tumbuh dan berkembang memiliki arti kebersamaan, saling memberi dukungan antara penerima dengan muzakki. Dari sisi pemanfataan sumber daya manusia dalam aktivitas produksi, tentunya spirit zakat ini menjadi peluang tersendiri dan dapat menumbuh kembangkan potensi ekonomi yang berkelnjutan.

Ada sebutan mustahik 8 (delapan) Asnaf). Mereka itu adalah kategori penerima zakat mal itu. Ada orang yang tidak memliki harta (Fakir), orang yang berpenghasilan tidak mencukupi (Miskin), orang banyak hutang (gharim), Hamba Sahaya (budak), Pejuang di jalan Allaah (fisabilillah), orang yang baru masuk Islam (Muallaf), musyafir dan para pelajar (Ibnu Sabil) dan panitia penerima dsn penyslur zakat (amil zakat).

BACA JUGA :  Sporing ke Tanjung Balai (Cerbung, Bag. 4)

Ke delapan kriteria penerima zakat ini menurut hemat penulis jumlahnya tersebar/terpapar hampir disemua wilayah, baik didesa, kota, pedalaman atau daerah tertinggal, terdepan dan Terluar (3 T) sekalipun.Misalnya, apa kriteria orang tak punya harta? Tentu mudah memferifikasinya, tidak punya tanah/empang sedikitpun, tidak punya emas, tidak memiliki kenderaan, tidak memiliki hunian (rumah menyewa).

Kemudian, apa kriteria orang berpenghasilan tidak mencukupi, penghasilan sehari dimakan untuk dua hari misalnya, jatah makan 1 orang dimakan dua orang, gampang deh mengukurnya, gak usah dipersulit. Pengeluaran atau consumsi lebih besar dari (i) maka keadaan akan menjadi defisit atau merugi. Biasa untuk mencari solisi dicari dengan jalan menghutang, terus menghutang, akhirnya terlilit hutang. Jikan Bank Indonesia baru baru ini mensinyalir orang miskin baru jumlahnya akan meningkat dari 25 juta menjadi 65 juta dengan kriteria orang/individu berpenghasilan empat ratus ribu per bulan.

Orang yang banyak hutang tentu pinjaman yang tidak bisa berbayar. Salah satu hadis muttafaq alaih) : Yang mesti disegerakan adalah“bayarlah hutang” (mathlul khonii dzulman). Namun hutang tak terbayar, bahkan cenderung menambah hutang, tentu ini kategori orang yang banyak hutang. Bahkan ketika orang berhutang tetapi tak bayar hutang namun secara umum orang tersebut tergolong miskin. Dan seterusnya sampai dengan kriteria ke delapan.

Saya melihat ke delapan asnaf tersebut memiliki potensi untuk diberdayakan sebagai sumber daya manusia yang kuat dan mandiri dan berkelanjutan melalui potensi zakat ini. Bahkan ada suatu semangat (sprit) untuk merubah keadaan sehingga kedepan penggunaan zakat tidak hanya digunakan bagi kebutuhan yang bersifat konsumtif, tetapi kepada hal yang produktif. Lebih dari itu, bahkan ada sprit bagi penerima zakat menbjadi wajib zakat.

Kemudian selanjutnya, ada upaya Pengawasan/Pendampingan Mustahik ke Arah Produktif
Selama ini kita melihat penyaluran zakat kepada musytahik banyak digunakan pada hal hal yang bersifat konsumtif seperti keperluan makan saja. Sehingga setelah habis dimakan kembali miskin lagi.

Oleh karena itu dengan tidak menambahi syarat lain bagi musytahik, kiranya upaya-upaya zakat produksi ini bisa dimaksimumkan guna tujuan-tujuan yang lebih memberdayakan ummat. Oleh karenanya pendampingan-pendampingan semestinya perlu dilakukan oleh lembaga penyalur zakat mal ini, bagaimana supaya penerima zakat (mustahik) dapat lebih diberdayakan kearah yang lebih produktif, seperti warung, asongan dan lain-lain. Prinsipnya adalah menolong orang, agar orang dapat menolong dirinya sendiri. Dengan demikiian secara simultan orang akan mandiri bilamana penyaluran zakat tepat sasaran, tepat penggunaan dan dapat menggerakkan ekonomi individu, dan juga pada akhirnya ekonomi jamaah.

Kita cukup bergembira juga apa yang telah dilakukan oleh Baznas dalam mengelola zakat produksi. Sekalipun masih ada perdebatan diantara ulama bolehkah zakat diinvestasikan, sehingga mustahik tidak menerima secara keseluruhan apa yang menjadi haknya. Dari sisi ini makanya dibutuhkan fatwa ataupun regulasi yang kiranya justru tidak melanggar syariah dalam penyaluran zakat mal.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa zakat pada prinsipnya dapat diupayakan sebagai fasilitas pertumbuhan dan perkembangan ekonomi baik bagi muzakki maupun mustahik.

Penyaluran zakat dapat dilakukan pendampingan, pembinaan sekaligus memberdayakan, agar pemanfaatannya tidak sekedar untuk kebutuhan konsumtif seperti makan, pakaian dan lain lain, tetapi dapat diarahkan kepada hal hal yang bersifat produktif. Jika lembaga amil zakat melakukan program investasi zakat yang bersifat produktif, hendaknya dapat dilakukan secara bergulir pula bagi yang membutuhkan. Dengan demikian akan menjadi kekuatan ekonomi ummat Islam di Tahun 2024 akan tercapai.Semoga !! ** msj

** Penulis adalah Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PW Muhammadiyah Sumatera Utara, Ketua Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Strategis UMSU di Medan **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *