FPDI Perjuangan: 7.000 Hektar Lahan Sawah Hilang Pertahun dan Sengketa Tanah tak Terselesaikan

FPDIP
Sugianto Makmur, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan. (Foto: ist)
FPDIP
Sugianto Makmur, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan. (Foto: ist)

Asaberita.com, Medan – Tujuan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi untuk mewujudkan masyarakat berpenghasilan cukup, ketersediaan bahan pangan, terjangkaunya harga barang melalui program peningkatan daya saing masyarakat melalui sektor agraris sebagai prioritas terancam gagal.

Pasalnya, Gubernur Edy hingga 2,5 tahun masa pemerintahannya, tidak mampu menghentikan tingginya tingkat konversi lahan sawah di Sumatera Utara. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga belum mampu menciptakan pertanian modern untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian. Dibuktikan dengan masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pertanian modern.

Bacaan Lainnya

Hal ini disampaikan juru bicara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut, Sugianto Makmur, kepada wartawan, Senin (1/3/2021), dalam penilaian dan evaluasi FPDI Perjuangan dibidang pertanian dan pertanahan, di setengah periode Gubernur Edy memimpin Sumut.

“Dari data-data yang kami peroleh, di tahun 2017 luas lahan sawah di Sumut 427.262 hektar, turun 1,77 % atau 7.704 hektar dibandingkan luas lahan sawah pada tahun 2016. Selanjutnya rata-rata pertahun lahan sawah di Sumut terkonversi seluas 1,67% atau 7.000 hektar menjadi lahan-lahan non pertanian,” kata Sugianto Makmur.

Hingga kini, lanjut Sugianto, FPDI Perjuangan belum melihat usaha yang sungguh-sungguh dilakukan oleh Gubernur Edy dalam menekan laju alih fungsi lahan sawah tersebut di Sumut.

Sugianto Makmur yang juga Kepala Badan Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan DPD PDI Perjuangan Sumut ini menyatakan, defisit luas lahan sawah yang konsisten 1,67% pertahun terjadi, membuktikan bahwa Edy Rahmayadi sebagai Gubernur Sumut tidak memiliki kemampuan dan tidak mengerti menjalankan program ketahanan pangan.

Karenanya pihaknya menilai, program peningkatan daya saing masyarakat dengan memprioritaskan kembali ke sektor agraris, hanyalah omong kosong belaka. Bahkan, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi pun petani sulit mendapatkannya. Kondisi ini pun terjadi berulang dari tahun ke tahun.

BACA JUGA :  Terkait Temuan BPK dalam Penanganan Covid, FPDIP Minta Gubsu Beri Pertanggungjawaban

“Bila Gubernur Edy serius dengan program ketahanan pangan, selayaknya ia melakukan langkah-langkah cepat dengan menghentikan segera alih fungsi lahan sawah menjadi tanaman keras dan atau perumahan. Kemudian diikuti dengan membuka lahan-lahan baru sebagai pertapakan persawahan, sembari secara cepat mengalihfungsikan alat-alat kerja tradisional kepada mekanisasi alat-alat kerja pertanian yang modern dan pemanfaatan teknologi tepat guna. Tanpa melakukan langkah-langkah ini, program prioritas ketahanan pangan itu hanya menjadi wacana belaka,” ujar Sugianto.

Hingga setengah periode kepemimpinan Gubernur Edy, Pemprov Sumut belum ada sama sekali melakukan pencetakan lahan pertanian atau persawahan untuk program ketahanan pangan.

Langkah pemerintah pusat yang sedang menggalakkan program penguatan pangan dengan memperluas lahan untuk tanaman pangan semisal food estate, sama sekali tidak disambut Pemprov Sumut dengan membuat program yang sama ke arah ketahanan pangan itu.

“Kondisi ini menunjukkan, bahwa Edy Rahmayadi sebagai Gubernur Sumut, tidak memiliki keberpihakan untuk penguatan ketahanan pangan,” tegas Sugianto.

Sengketa Tanah tak Kunjung Selesai

Selain itu, F-PDI Perjuangan DPRD Sumut juga menilai, dari ribuan kasus sengketa tanah (2.833 kasus berdasarkan data Pemprov Sumut Tahun 2012), tidak satu pun yang mampu diselesaikan oleh Gubernur Edy Rahmayadi.

“Setiap tahun konflik agraria ini terus bertambah dan tak satu pun terselesaikan oleh Gubernur Edy. Memang ada usaha untuk menyelesaikan, tetapi selalu saja dengan pendekatan yang konvensional dan cenderung mengesampingkan hak-hak rakyat kecil dan lebih memihak para pemilik modal,” beber Sugianto.

Tercatat, selama dua setengah tahun Edy Rahmayadi memimpin Sumut, belum ada satupun persoalan sengketa agraria yang terselesaikan. Bahkan cenderung kasusnya semakin menumpuk. Hal ini membuktikan belum ada tekad dan komitmen dari Gubernur Sumut dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria ini.

“Kita baru saja menyaksikan ada 170 perwakilan petani yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mancirim Bersatu (STMB), berjalan kaki dari Sumut menuju ke istana negara di Jakarta untuk mengadukan nasibnya kepada Presiden Jokowi secara langsung. Langkah yang dilakukan para petani ini adalah sebagai bentuk protes atas kegagalan Pemprov Sumut dalam menyelesaikan kasus agraria di daerah ini,” jelas Sugianto.

BACA JUGA :  Tidak Pro Rakyat, AMPK Sumut Desak Gubernur Edy Mundur

Karenanya, Sugianto menyampaikan agar gubernur bisa mengerti, bahwa untuk mencapai masyarakat yang mandiri, pangan adalah suatu hal yang sangat penting. Itu adalah strategi mencapai pertahanan dan ketahanan yang sesungguhnya.

Untuk mencapai ketahanan pangan itu, kata Sugianto, tentu diperlukan lahan yang luas, selain pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menciptakan pertanian modern. Dengan demikian, maka konversi lahan pertanian sawah ke tanaman keras atau bahkan alih fungsi lahan ke perumahan haruslah bisa diminimalisir, serta harus ada pembukaan lahan-lahan pertanian baru.

Alih fungsi lahan ke tanaman keras atau menjadi perumahan, kerap menjadi penyebab timbulnya konflik agraria di masyarakat. Pemprov Sumut harus bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi secara bijak, dengan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat kecil ketimbang pemilik modal, demi tujuan kebermanfaatan yang lebih besar dan untuk menciptakan ketahanan pangan.

Sugianto juga menyarankan agar pupuk non subsidi dapat diatur tata niaganya, karena banyak pupuk palsu beredar dan pupuk non subsidi sering dijual terlalu mahal. Bibit atau benih, pupuk dan obat pertanian adalah biaya langsung. Apabila terlalu tinggi, menyebabkan Harga Pokok Produksi (HPP) hasil pertanian menjadi mahal. Akibatnya, masyarakat luas yang menanggung akibatnya.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *