Opini

Harta serta Keterlibatan Negara untuk Kesejahteraan

×

Harta serta Keterlibatan Negara untuk Kesejahteraan

Sebarkan artikel ini
Harta

Oleh : Hikmatiar Harahap

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Sumber daya alam dunia semakin berkurang, sementara kebutuhan hidup manusia terus meningkat. Ketidakseimbangan ini menimbulkan kekhawatiran akan kekurangan harta dan sumber daya. Oleh karena itu, manusia perlu berpikir bijaksana dalam mengelola alam agar keseimbangan antara kehidupan manusia dan lingkungan tetap terjaga.

Ayat Al-Baqarah 155 diatas menegaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mencari, mengelola, dan memaksimalkan alam demi kemaslahatan umat. Kunci keberhasilan dalam menghadapi keterbatasan ini adalah bekerja secara profesional, giat, teliti, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Ayat ini juga menekankan bahwa kesabaran adalah bagian dari perjuangan untuk mencapai kesejahteraan.

Lebih lanjut, ayat ini mengajarkan bahwa setiap detik kehidupan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Setiap kesempatan, sekecil apa pun, harus dijadikan momen untuk berkarya dan berinovasi. Seperti pepatah “pisang tidak berbuah dua kali,” manusia harus menghindari ketakutan dan kekhawatiran yang tidak berdasar. Relasi antara agama dan harta harus dipahami sebagai bentuk usaha yang dilandasi rasa syukur dan tawakal kepada Allah Swt.

Memahami Makna Kekurangan Harta

Sering kali, kekurangan harta dimaknai sebagai kemiskinan, ketidakmampuan, atau tidak memiliki pekerjaan tetap. Padahal, ayat ini lebih mengarah pada sifat manusia yang mudah merasa khawatir dan putus asa saat menghadapi kegagalan. Oleh karena itu, yang perlu ditanamkan adalah motivasi tinggi, fokus, konsistensi, dan keberanian untuk mencoba.

Solusi untuk menghindari kemiskinan adalah dengan bekerja keras dan memiliki sikap produktif. Ayat ini menjanjikan berita gembira bagi orang-orang yang sabar, yaitu kehidupan yang lebih baik, maju, dan produktif. Dengan demikian, manusia harus mengelola sumber daya secara bertanggung jawab, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat.

Peran Negara dalam Kesejahteraan Ekonomi

Dalam buku Dasar-Dasar Ekonomi Islam karya H. Zainal Abidin Ahmad, ditekankan bahwa prinsip ketuhanan dalam ekonomi bukan hanya memperkuat moral dan sosial, tetapi juga berfungsi sebagai kontrol terhadap perilaku manusia agar tidak merugikan sesama. Prinsip utama dalam kehidupan adalah bekerja keras dan berproduksi tanpa menzalimi diri sendiri maupun alam sekitar.

BACA JUGA :  Heboh Tender Ulang Hingga Penggeledahan Polres di Kantor UKPBJ Kabupaten Samosir

Menurut Islam, negara memiliki peran penting dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Beberapa tugas utama pemerintah dalam ekonomi Islam adalah:

  1. Menghindari ancaman kelaparan (QS. Al-Isra’ [17]: 31).
  2. Menjamin lapangan pekerjaan bagi seluruh warga negara (QS. At-Taubah [9]: 60).
  3. Memberantas kemiskinan, karena kefakiran dapat menimbulkan putus asa atau pengangguran.
  4. Menyediakan organisasi sosial bagi kelompok rentan, seperti orang sakit, anak yatim, dan kaum lemah (QS. At-Taubah [9]: 91).
  5. Mendorong rakyat menjadi pihak yang memberi, bukan hanya menerima bantuan.

Empat poin pertama bertujuan mengurangi risiko kekurangan harta, sedangkan poin kelima mendorong masyarakat agar mandiri dan produktif.

Konsep Harta Kolektif dalam Pemikiran Ibnu Sina

Ibnu Sina dalam bukunya Negara Adil Makmur mengemukakan konsep harta kolektif (مال مشترك) yang digunakan untuk kepentingan bersama (مصالح مشتركة). Beberapa prinsip yang diajukan antara lain:

  1. Negara berhak melakukan sosialisasi untuk menciptakan harta kolektif bagi kepentingan masyarakat.
  2. Pengelolaan perusahaan vital dan tanah agraris harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Harta yang diperoleh negara dari putusan hukum harus dikelola untuk kepentingan publik.
  4. Penggunaan harta negara harus difokuskan pada:
    • Kesejahteraan masyarakat umum,
    • Pembiayaan aparatur negara dan pelindung keamanan,
    • Bantuan bagi kaum lansia, orang sakit, dan kelompok rentan lainnya.

Dalam konteks ini, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi bagi kemajuan negara dan dunia, bukan hanya mencari keuntungan pribadi. Keikhlasan dan tanggung jawab dalam bekerja harus menjadi landasan, bukan sekadar mengejar pengakuan atau pencitraan.

Bekerja sebagai Bentuk Ibadah dan Produksi

Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik lagi dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)

BACA JUGA :  Wapres Ma'ruf Minta Dana Desa Diefektifkan Tekan Stunting-Kemiskinan

Ayat ini menekankan pentingnya bekerja dan berusaha sebagai bagian dari ibadah. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebut manusia sebagai makhluk sosial (fi annal-ijtima’ al-insani daruri), yang berarti manusia membutuhkan interaksi dan kerja sama untuk memenuhi kebutuhannya. Mustafa Asy-Syak’ah juga menegaskan bahwa manusia harus berproduksi untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa.

Dengan demikian, bekerja, berusaha, dan berproduksi merupakan bentuk kontribusi manusia sebagai khalifah di bumi. Islam tidak hanya mengatur aspek spiritual, tetapi juga memberikan pedoman dalam kehidupan ekonomi agar tercipta kesejahteraan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Islam mengajarkan bahwa keseimbangan antara agama dan harta adalah kunci kesejahteraan. Ayat-ayat Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia harus bekerja keras, bersabar, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Negara juga memiliki peran strategis dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui kebijakan ekonomi yang adil dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Pada akhirnya, setiap usaha dan produksi yang dilakukan dengan niat baik akan membawa manfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan generasi mendatang. Keikhlasan dalam bekerja adalah investasi jangka panjang, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

(Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Transitif Learning Society — Dosen Universitas Al-Azhar Medan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *