Oleh : Dr. Iwan Nasution, M.HI
Kemajuan ilmu dan teknologi membawa dampak yang sangat positif terhadap manusia, termasuk kemajuan dibidang kedokteran. Diantara penemuan spektakuler dalam bidang ini adalah ditemukannya cara-cara pembuatan manusia yang disebut dengan fertilisasi invitro atau lebih popular dengan istilah bayi tabung.
PROSES kehamilan tidak selamanya didapatkan melalui persetubuhan langsung, melainkan kehamilan bisa terjadi tanpa hubungan kelamin, asal ada pencampuran sperma dengan sel telur wanita. Namun karena proses pembuahan kehamilan yang tidak lazim, tentu hal ini menimbulkan berbagai efek hukum dalam perspektif hukum Islam.
Istilah Inseminasi Buatan
Inseminasi berasal dari bahasa Inggris, insemination yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Kata inseminasi itu sendiri, dimaksudkan oleh dokter Arab dengan istilah al-talqih dari fiil (kata kerja) laqqaha-yulaqqihu menjadi talqihan yang berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan). Dalam hal ini ada dua macam inseminasi, yaitu inseminasi alamiah (yaitu pembuahan dengan cara hubungan badan antara dua jenis makluk biologis), dan inseminasi buatan.
Dalam pandangan Islam, inseminasi buatan merupakan masalah ijitihadi, karena tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Karenanya masalah ini hendak dikaji dengan menggunakan metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para mujtahid, agar dapat ditemukan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan sunnah yang merupakan sumber pokok hukum islam.
Inseminasi Buatan pada Hewan Menurut Hukum Islam
Mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami maupun inseminasi buatan. Dasar hukum boleh membuat inseminasi buatan ini adalah qiyas (analogi). Hal ini berdasarkan pengalaman Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah, ia melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan pada pohon kurma. Lalu nabi menyarankan agar tidak melakukan itu, namun hasilnya perkebunan kurma penduduk Madinah mengalami gagal panen. Dan setelah hal itu dilaporkan kepada nabi, maka beliau berpesan: “lakukanlah pembuahan buatan! Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian”, hadits inilah yang menjadi qiyas kebolehan dalam melakukan inseminasi buatan baik terhadap tumbuhan ataupun hewan.
Inseminasi Buatan pada Manusia Dalam Pandangan Islam
Memiliki anak atau keturunan merupakan sebuah kebanggaan bagi setiap pasangan suami istri. Disamping menunjukkan sebuah perjalanan hidup yang normal, memiliki anak adalah bukti hakiki (secara biologis) seseorang berhasil menjadi seorang ayah dan ibu.
Proses kehamilan yang sejatinya dilakukan lewat hubungan biologis antara seorang laki-laki dengan perempuan ternyata tidak selamanya terjadi, hal ini terbukti bahwa banyak juga pasangan suami istri yang tidak berhasil mendapatkan anak atau keturunan. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong para ahli kedokteran melakukan inovasi dan penelitian ilmiah sehingga ditemukannya teknologi inseminasi buatan terhadap manusia atau yang biasa juga disebut bayi tabung.
Ada beberapa teknik insemitasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain:
1. Fertilazation in vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diperoses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.
2. Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, maka segera ditanam disaluran telur (tuba palupi).
Bayi tabung sebenarnya bukan masalah baru bagi umat Islam, masalah bayi tabung (inseminasi buatan) telah banyak dibicarakan dikalangan islam dan diluar islam, baik ditingkat nasional maupun internasional.
Majeis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Lembaga fiqih Islam OKI (Organisasi Konsferensi Islam) mengadakan sidang Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan (bayi tabung) dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma atau vonum donor.
Dalam pandangan Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkannya, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan kedalam vagina ataupun uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam didalam rahim istri, asal keadaan istri dan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan dengan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqih Islam. “Hal (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang”.
Sebaliknya, kalau inseminasi itu dilakukan dengan bantuan donor, donor sperma atau ovum, maka diharamkan, dan hukumannya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumannya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syara yang dapat dibagikan sebagai dasar hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor-donor diantaranya firman Allah Swt dalam QS-Al-Isra ayat 70: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka didaratan dan lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. Dalam sebuah hadits Rasul juga dengan tegas mengatakan: “tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”.
Beberapa Kelemahan Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan hasil rekayasa teknologi kedokteran yang memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia, namun mafsadat yang ditimbulkan kemungkinan jauh lebih banyak, diantaranya:
a) Percampuran nasab, padahal islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab.
b) Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
c) Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi pencampuran sperma dengan vonum tanpa perkawinan yang sah.
d) Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik didalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan kartakter mental si anak dengan bapak-ibunya.
e) Anak hasil inseminasi buatan bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal/nasabnya.
f) Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alami.
Status Nasab Anak Hasil Inseminasi Buatan
Mengenai status/anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah, statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank sperma dan bank ovum untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, bahkan hal ini juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi tanpa perlu adanya perkawinan.
Pemerintah, rumah sakit dan pihak yang terkait hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa ditransfer kedalam rahim wanita lain (ibu titipan), dan pemerintah hendaknya juga melarang keras dengan sanksi-sanksi hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan insiminasi buatan pada manusia dengan sperma dan ovum donor.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara)