
Asaberita.com-Medan – Pusat Studi Pengembangan Islam MW KAHMI Sumatera Utara menyelenggarakan bedah buku karya Dr Ansari Yamamah MA, berjudul Tafsir al-Wasi’ Islam Transitif : Pendekatan dan Metode Tafsir Milenial yang baru saja diterbitkan Penerbit Media Prenada Group Jakarta. Kegiatan bedah buku Tafsir Al-Wasi’ itu digelar secara virtual, Jumat (10/09/2021).
Dalam pengantar diskusi, Ansari Yamamah menyampaikan beberapa gagasan yang diusung Tafsir al-Wasi’. Pertama, adanya perluasan makna dalam menfasirkan ayat-ayat Alquran. Perluasan makna ini bukan berarti liar, akan tetapi tetap terikat dengan berbagai kaedah tafsir yang lebih lentur.
“Dengan model perluasan penafsiran ini tidak hanya berada di dalam diskursus atau wacana keilmuan semata, akan tetapi diharapkan dapat sampai pada tataran praksis, baik dalam bentuk temuan, inovasi maupun ciptaan-ciptaan baru. Karena memang sesungguhnya Alquran bukan hanya sebagai kitab petunjuk tetapi juga sebagai kitab inspirasi keilmuan,” kata Ansari Yamamah dalam pengantarnya.
Pada ilmu itu bermanfaat bila dapat melahirkan barang-barang yang empiris untuk memfasilitasi jalannya sebuah peradaban. Kedua, kata dia, harus ada profesionalitas keilmuan mufassir sesuai dengan inspirasi, isi dan kandungan ayat yang ditafsirkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
“Dalam banyak pertanyaan bagaimana hasil tafsir sebanyak 30 yang dilakukan oleh seorang mufassir yang hanya memahami ilmu-ilmu keagamaan saja? Sedangkan ayat-ayat Alquran berbicara tentang beragam persoalan dan beragam keilmuan, termasuk ilmu-ilmu alam, kimia, fisika, sains dan teknologi.
Persoalan lain lanjut dia, adalah menguatnya fanatisme umat Islam, termasuk para dosen-dosen di perguruan tinggi Islam, kepada tafsir-tafsir klasik tersebut seolah-olah telah memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan umat hari ini.
Ditambahkan dia, bahwa menyampaikan Tafsir Al-Wasi’ bukanlah kitab tafsir, akan tetapi berisi pendekatan dan metode tafsir sehingga siapa saja yang melakukan langkah-langkah tafsir sesuai dengan pendekatan dan metode yang ditawarkan, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah model tafsir Al-Wasi’.
“Kita berharap semoga kiranya Tafsir Al-Wasi’ dapat menjadi salah satu alternatif model penafsiran untuk peradaban masa kini dan masa mendatang,” kata Pakar Sosiologi Hukum Islam UIN Sumatera Utara.
Sementara itu, Dr Ahmad Zuhri Lc MA, pakar Tafsir UIN Sumatera Utara, yang bertindak sebagai pembanding menyampaikan ada empat kriteria sebuah tafsir, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam as-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat,
“Pertama tafsir tekstual (zahiriyah) memahami ayat-ayat Alquran sesuai teks yang ada, Kedua, tafsir batiniah yang dalam hal ini memahami teks-teks ayat sesuai rasa atau beradasarkan olah batin seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dan para sufi. Ketiga tafsir qiyasiah, yang memahami ayat Alquran dengan melakukan ijtihad seperti mengqiaskan gandum dgn makanan pokok dan Keempat tafsir wasatiyah yang memahami teks-teks ayat Alquran dengan moderat, sehingga kita pertanyakanTafsir al-Wasi’ ini dudukannya apakah di antara keempat kriteria tafsir tersebut,” kata Ketua Badan Wakaf Indonesia Kota Medan ini.
Dr Zuhri lebih jauh mempertanyakan apakah pemahaman ulama tafsir klasik terdahulu tentang suatu teks ayat Alquran juga ada di dalam Tafsir al-Wasi’? Karena sebuah tafsir hendaklah di dalam bentuk atau metode yang empat itu, yaitu metode tafsili, ijmali, maudhu’i atau muqaran. Sementara Tafsir al-Wasi’ ini tidak masuk di dalam salah satu bentuk yang empat tersebut.
Secara substansial, katanya, dia belum melihat kemana arah atau corak dari Tafsir al-Wasi’ ini. Ini yang belum terlihat jelas pada tafsir al-Wasi’. Namun demikian menurut hemat saya kita berikan apresiasi atas karya Ansari Yamamah atas gagasan yang luar biasa dalam mengembangkan pemahaman tenatang tafsir. Seorang penafsir tidak mesti memiliki kitab tafsir, dan oleh karena itu Ansari telah memberikan kontribusi besar dalam menngembangkan tafsir ayat ayat Alquran.
“Walaupun Tafsir al-Wasi’ dinyatakan sebagai sebuah model perluasan makna dengan metode yang disebut oleh Ansari sebagai Metode kolaboratif transdisipliner, namun istilah ini perlu untuk dikaji lebih jauh. Semoga bisa menjadi bahan rujukan untuk perkembangan Tafsir di Indonesia dan Dunia,” kata doktor alumni Sudan ini diakhir presentasinya.
Bedah buku ini dimoderatori Dr Budi Abdullah SH, MH, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Ishlahiyah Binjai dan diIkuti para mahasiswa dan dosen penikmat kajian tafsir lainnya.** msj