Opini

Renungan Hari Kemerdekaan ke-80 Tahun 2025; Perlunya Reorientasi Pembangunan Ekonomi

×

Renungan Hari Kemerdekaan ke-80 Tahun 2025; Perlunya Reorientasi Pembangunan Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Renungan HUT RI Ke 80

Oleh: Didin S. Damanhuri
(Guru Besar Ekonomi Politik FEM IPB)

DIRGAHAYU kemerdekaan RI ke-80. Banyak capaian yang telah diraih bangsa Indonesia, meski dengan segala keterbatasan. Integritas sebagai negara-bangsa relatif utuh, kebhinekaan terkelola dengan baik, GDP per kapita meningkat 700%, kemajuan fisik kota-kota, sebagian masalah sosial dapat ditangani—misalnya pengendalian jumlah penduduk yang seharusnya sudah mendekati 500 juta, kini sekitar 280 juta.

Angka buta huruf turun di bawah 5%, penyakit menular berkurang drastis, hampir tidak ada kelaparan yang menimbulkan kematian, harapan hidup meningkat dari di bawah 50 tahun menjadi di atas 70 tahun, dan kelas menengah (dalam arti longgar) mencapai sekitar 45%. Pemilu langsung berlangsung relatif aman, konsentrasi uang di Jakarta berkurang dari sekitar 75% menjadi di bawah 65%, penghargaan terhadap HAM, kebebasan berekspresi, dan berorganisasi pun terjaga.

Namun, bangsa ini masih menghadapi tantangan serius: ketimpangan yang buruk (rasio Gini pendapatan mendekati 0,5, meski rasio Gini pengeluaran menurut BPS 2015 sebesar 0,4), maraknya impor bahan pokok, belum mandiri dalam aspek makrofinansial, teknologi, pangan, energi, dan kebijakan pembangunan. Kepemimpinan dalam perdamaian dunia belum kembali, otonomi daerah belum optimal menyejahterakan rakyat, korupsi masih sistemik, politik uang merajalela, dan demokrasi belum substansial karena supremasi hukum, kesejahteraan umum, dan keadilan sosial belum sepenuhnya terwujud seperti amanat Pancasila dan UUD 1945.

Reorientasi Pembangunan Ekonomi

Kita perlu melakukan reorientasi pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pemerataan. Dalam buku saya Ekonomi Politik Indonesia dan Antar Bangsa (Pustaka Pelajar, 2023), saya menyoroti perlunya menggeser orientasi pembangunan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan GDP semata (GDP-oriented).

Amerika Serikat adalah contoh klasik. Dengan orientasi tersebut, AS memang menjadi negara adikuasa secara ekonomi, politik, dan militer. Namun, kemiskinan di sana cukup tinggi untuk ukuran negara maju—sekitar 18%, dengan homeless 12% dan gelandangan sekitar 2 juta jiwa. Ketimpangan pun parah: 40% penduduk hanya menerima kurang dari 17% GDP nasional. Orientasi GDP yang berlebihan membuat pasar menjadi instrumen utama pertumbuhan tanpa peran aktif negara dalam regulasi sosial. Akibatnya, kelompok miskin harus bersaing bebas dengan kelompok kaya untuk mendapatkan akses sumber daya, sementara negara tidak memberikan jaminan sosial yang memadai.

BACA JUGA :  Terus Tingkatkan Pelayanan, Kalapas Berikan Penguatan Petugas Wasrik

Indonesia mengalami hal serupa. Selama era reformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% per tahun. Namun, penduduk yang hidup dengan pengeluaran hanya 2 USD/hari masih sekitar 49%, tingkat pengangguran terbuka dan setengah menganggur sekitar 40%, dan ketimpangan meningkat tajam: rasio Gini konsumsi naik dari sekitar 0,32 pada 2004 menjadi sekitar 0,40 pada 2024, sedangkan rasio Gini pendapatan berada di atas 0,5 (ketimpangan buruk).

Pertumbuhan tinggi ini diiringi dengan makin dominannya mekanisme pasar, peran negara yang minimalis, dan lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Akses rakyat terhadap sumber daya—pendidikan, perbankan, teknologi, tata ruang—masih sangat terbatas.

Pembangunan Ekonomi Berbasis UUD 1945

Reorientasi yang dimaksud bukan menolak pertumbuhan, tetapi menempatkan GDP hanya sebagai indikator, bukan tujuan akhir. Mekanisme pasar tetap dipakai demi efisiensi, namun orientasinya adalah kesejahteraan rakyat yang tinggi dan merata, sesuai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1): “Perekonomian disusun…” yang berarti negara berperan aktif.

Konsep “ekonomi kekeluargaan” dalam UUD 1945 bukan nepotisme ala Orde Baru, melainkan negara modern yang menyejahterakan rakyatnya, seperti Jepang dengan Japan Incorporated atau negara-negara Eropa Utara dengan koperasi, jaminan sosial, dan pajak progresif.

Pasal-pasal UUD 1945 juga menegaskan pentingnya full employment (Pasal 27), penguasaan negara atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 ayat 2), pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3), demokrasi ekonomi (Pasal 33 ayat 4), dan jaminan sosial (Pasal 34). Amandemen UUD 1945 juga menetapkan APBN harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat 1).

Politik Fiskal yang Berpihak

Kunci reorientasi pembangunan adalah menyehatkan APBN demi kemakmuran rakyat yang merata, sekaligus menutup kebocoran dan korupsi. Saat ini, anggaran pembangunan kurang dari 25% APBN. Subsidi besar, seperti migas (sekitar Rp285 triliun dari total subsidi Rp430 triliun), sering kali tidak tepat sasaran. Pajak sekitar Rp2.200 triliun pun masih bocor 25–40%. Jika kebocoran Rp900 triliun–Rp1.900 triliun ini bisa dicegah, APBN akan jauh lebih kuat.

BACA JUGA :  Kejari Samosir Salurkan Bantuan untuk Korban Puting Beliung di Sitiotio

Utang luar negeri yang mencapai sekitar Rp22.200 triliun (pemerintah Rp10.000 triliun, BUMN Rp9.000 triliun, swasta Rp3.200 triliun) juga perlu ditekan. Pengawasan ketat harus mencegah terulangnya krisis 1998 akibat utang swasta jangka pendek untuk proyek jangka panjang.

Program hilirisasi sumber daya alam harus dilaksanakan serius, dengan kewajiban transfer teknologi dan kemitraan dengan perusahaan lokal. Targetnya: dalam lima tahun, utang luar negeri di bawah 10% GDP, APBN untuk pembangunan mendekati 50%, industri pengolahan berkembang pesat, dan teknologi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pokok serta barang modal.

Prasyarat Menuju Kemandirian dan Kedaulatan Ekonomi

APBN dan APBD harus diarahkan untuk mengoreksi ketimpangan. Alokasi tata ruang perlu memberi prioritas pada pasar tradisional dan UMKM, bukan dominasi mal dan ritel asing. Akses UMKM ke pasar modal dan perbankan harus diperluas—tidak seperti sekarang, di mana 90% pasar modal dan 82% kredit bank dikuasai perusahaan besar.

Sistem perbankan idealnya unit banking, di mana bank daerah mengalokasikan kredit sesuai prioritas lokal, bukan branch banking yang sentralistis dan menyedot dana daerah ke Jakarta. Tanpa perubahan kebijakan yang mendasar, struktur moneter seperti ini akan memperparah ketimpangan.

Kesimpulan:
Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan harus berbasis konstitusi, bukan hanya demi kewajiban hukum, tetapi karena secara substantif paling sesuai untuk mewujudkan pertumbuhan tinggi yang merata dan berkelanjutan.

(ABN)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *