Oleh : Salahddin Harahap MA
Dalam khazanah Teologi Islam telah umum dan dipahami bahwa salah satu misi peradaban para Rasul adalah untuk memerdekakan manusia dari berbagai belenggu kemanusiaan berupa penindasan atau penzhaliman “Liyukhrija al-Nasa min al-Zhulumati ila al-Nur_Min al-Bathili ila al-Haq”.
Terhadap pencapaian misi tersebut, Allah Swt kemudian membekali para Rasul dengan menganugerahi mereka al-Din yang isinya adalah pemahaman tentang eksistensi atau hakikat Allah Swt serta bagaimana membangun kenersamaan dengan Allah Swt untuk mengelola dan membimbing alam semesta menuju kesempurnaan. Syeikh Mulla Shadra menyebut capaian ini dengan istilah “al-safaru fi al-Khalqi ma’a al-Khaliq”— berjalan menapakindan mengolah alam semesta bersama-sama dengan Sang Pencipta”.
Substansi al-Din dengan demikian adalah pencapaian seorang manusia dalam mengenali hakikat Allah Swt serta membangun relasi serta kolaborasi yang efektif dengan Allah Swt dalam setiap aktifitasnya di bumi. Itulah mengapa dalam khazanah Teologi Islam dikenal iatilah “Awwalu al-Dini Ma’rifatullah”__ hakikat beragama adalah bagaimana hamba dapat mengenali Allah Swt: asma, sifat serta af’al-Nya terutama yang berhubungan dengan alam semesta.
Berbekal al-Din yang kemudian disebut juga Teologi ini, para Rasul belajar untuk merenung, bereksprimentasi, berkontemplasi untuk memahami hakikat gerak atau “al-hayat” yang menjadi energi pengendali alam semesta yang biasa dikenal dengan “Sunnatullah” dan Kausalitas. Sunnatullah dengan demikian merupakan rumusan-rumusan Allah Swt pada penciptaan dan gerakan (al-hayat) yang menjadi alat pengendalian alam semesta.
Pada salah satu hadis al-Rasul Saw menegaskan bahwa “al-Din huwa ‘Aqlun: La Dina liman la ‘Aqla lahu”__ beragama itu bagaimana seseorang dapat mendayagunakan potensi-potensi aqlanya, sehingga seseorang belum patut disebut telah beragama bilamana ia belum pun piawai menggunakan akalnya. Tentu saja akal disini tidak harus dibatasi pada logika seperti yang dihawatirkan para penolak logika. Akal dalam konteks ini meliputi ramah empirik, logika, eksprimentasi, kontemplasi dan spiritualitas. Konsisten terhadap itu, maka beragama atau berteologi berarti belajar mendayagunakan indrawi, logika, fikiran dan qalbunya untuk menangkap hukum-hukum atau rumusan-rumusan gerak di alam semesta untuk seterusnya dapat membangun kolaborasi dengan akal Tuhan untuk secara bersama-sama mengelola alam semesta.
Desian penciptaan manusia agar menjadi fatner Allah Swt dalam mengelola dan membangun bumi. Al-Qur’an yang Mulia memberi istilah “fi al-Ardh Khalifah”_ yang secara bebas dapat dimaknai dengan perpanjangan tangan Allah Swt dalam mengatur dan mengendalikan rumusan-rumusan al-Hayat di bumi. Mengacu pada konsepsi itu pada eksistensi manusia telah melekat secara azasi (takwiny) potensi-potensi kekaifaan berupa kemampuan mengindra, berfikir, merasa, kontemplasi serta beriman. Potensi- potensi ini kemudian menjadi fithrah manusia dan kemanusiaan. Sehingga jika salah satunya tidak diperoleh, maka jadilah manusia hidup dalam penzhaliman, kegelapan alias tidak merdeka.
Situasi yang membuat manusia tidak bebas menggunakan indranya, logikanya dan fikirannya, perasaannya serta spiritualnya dapat dikategorikan sebagai kegelapan, eksploptasi atau penzhaliman eksistensial yang bertentangan dengan desain awal lemciptaannya. Atas dasar itulah, maka membebaskan manusia dari belenggu-belenggu dimaksud telah merupakan misi utama pengangkatan para Rasul yakni memanusiakan-manusia — atau dslam istilah Teologis mempertahankan manusia pada fithrahnya sebagai hamba dan khifah Allah Swt di bumi.
75 tahun sudah berlalu dari deklarasi Indonesia Merdeka sebagai bangsa. Deklarasi yang berisi ada janjibdan komitmen Indonesia sebagai Negara Bangsa untuk menjamin agar setiap orang di Indonesia dapat memperoleh hak-hak kemerdekaannya baik secara empiris, logis, kontemplatif dan spiritual yang sejatinya telah diperolehnya sejak sedia kala (al-takwiny).
Secara sadar, para pendiri Bangsa Indonesia telah mentapkan bahwa upaya memerdekakan mestilah dengan al-Din atau agama. Sebab itulah yang telah direkam oleh sejarah peradaban manusia di dunia dibawah kendali para Rasul. Itulah mengapa sila pertama Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”_ yang mensyaratkan adanya kesadaran bertuhan yang bergerak menjadi peggenalan terhadap Tuhaan seterusnya membangun kolaborasi dengan Tuhan sebagai modal awal memerdekakan manusia Indonesia.
Penutup
Aktualisasi atas kesadaran ber-Tuhan tidak boleh berhenti pada memutuskan untuk memeluk suatu agama dan kemudian menjadikannya identitas pada KTP atau pengenal lainnya. Lebih jauh, dalam konteks merdeka, ada tanggungjawab setiap anak bangsa untuk memeluk agama, mengemali Tuhan lewat agamanya, memahami misi penciptaan dan pengelolaan bumi Indonesia serta membangun kolaborasi dengan Tuhan dalam mengelola dan membangun bumi Indonesia.
Jika setiap anak bangsa memiliki kesadaran ini, para pemimpin juga konsisten bertindak dan memutuskan berdasarkan kesadaran merdeka ini, maka jadilah tata aturan kita berdasarkan kesadaran merdeka yang mengakomodir penegakan dan pemeliharaan hak-hak kemerdekaan manusia yang berarti juga penegakan misi pembangunan bumi melalui cara berkolaborasi dengan Allah SWT.** msj
** Penulis adalah Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam FUSI UINSU Medan **