Asaberita.com, Medan — Pemerintah berencana akan merubah sistem pendistribusian pupuk subsidi dari sistem yang dilakukan selama ini yakni menebus pupuk di kios-kios resmi secara langsung menggunakan E-RDKK (elektronik rencana defenitif kebutuhan kelompok) menjadi Bantuan Langung Tunai (BLT).
Wacana ini dilontarkan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu. Luhut meminta petani untuk membuat rekening per individu dan petani membeli pupuk non subsidi.
Wacana dari pemerintah ini sontak langsung mendapat respon penolakan tak hanya dari petani, tapi juga dari sejumlah pengamat. Seperti yang disampaikan Direktur MATA Pelayanan Publik Sumatera Utara (Sumut) Abyadi Siregar.
Menurut mantan Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Sumut dua periode ini, wacana yang disampaikan Menteri Marves Luhut adalah wacana ngawur.
Pasalnya, kebijakan yang dijalankan selama ini pun masih membuat petani ribut. Ribut karena pupuk subsidi kosong disaat petani akan menanam.
“Kenapa tidak ini saja yang dibenahi. Sehingga administrasi dalam pendistribusian pupuk bersubsidi yang menjadi masalah petani selama ini berjalan baik tanpa dibarengi dengan teriakan petani yang selalu menyebut pupuk kosong,” jelas Abyadi ketika dihubungi via selular, Senin (12/8/2024) di Medan.
Dikatakannya, dari informasi yang selama ini diperolehnya selama menjabat Kepala ORI Sumut, permasalahan pupuk subsidi ini adalah masalah administrasi. Bukan pupuk yang tidak tersedia.
“Buktinya tahun 2023, pupuk subsidi yang tidak ditebus petani di Sumut jumlahnya mencapai ribuan ton. Dan, itu kan kembali ke negara. Sementara satu sisi petani kesulitan memperoleh pupuk,” jelasnya.
Itu artinya, kata Abyadi, pendataan dalam pengaturan pupuk subsidi tidak beres.
“Itu tugas siapa? Jelas pemerintah mulai dari penyuluh pertanian yang menyusun data-data petani penerima sampai Kepala Dinas Pertanian kabupaten/kota termasuk Provinsi dan pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian,” tegas Abyadi.
Ia juga menyayangkan Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumut yang tidak peduli dengan kesembrautan data atau pun kekacauan data petani-petani penerima pupuk subsidi di Sumut.
“Kepala Dinas Pertanian sebagai pengkoordinasi harus bertanggungjawab bila data-data itu salah. Provinsi harus menegur kabupaten/kota yang telah menyusun data yang salah,” jelasnya.
“Kenapa tahun lalu ada pupuk subsidi tidak terserap dalam jumlah ribuan ton. Yang rugi siapa? Jelas petani,” sambungnya.
Dan, tahun ini kata Abyadi, alokasi pupuk ditambah pemerintah dari total nasional 4,5 juta ton menjadi 9,5 juta ton.
“Kalau tidak bisa ditebus petani ya sama saja. Tahun lalu saja jumlahnya 4,5 juta ton bersisa, apalagi sekarang. Saya yakin jumlah yang tidak terserap pun makin banyak selama pendataan tidak diperbaiki. Data-data petani penerima kita hanya copy paste dari data-data sebelumnya,” kata Abyadi.
BLT Pupuk
Terkait dengan wacana BLT Pupuk yang disalurkan dalam bentuk uang tunai ke rekening petani, Kepala Ombudsman periode 2013-2018 dan 2018-2023 ini mengatakan, akan semakin kacau.
Pertama, kata Abyadi, petani penerima tidak akan tepat sasaran. Bisa saja berdasarkan unsur kedekatan antara pengurus dengan petani.
Kedua, bisa jadi uang yang seharusnya membeli pupuk dialihkan untuk membeli kebutuhan lain di luar pertanian. Misalnya dibelikan emas, dijadikan uang muka pembelian motor, atau dipakai untuk berjudi.
Ketiga, lanjut Abyadi, karena selisih harga pupuk nonsubsidi dengan subsidi sangat jauh, sementara uang yang diberi pemerintah tidak cukup, petani akan membeli pupuk abal-abal, yang penting murah.
“Akibatnya, pertanian kita akan semakin kacau. Produksi akan menurun drastis. Ujung-ujugnya pemerintah akan impor beras. Sekarang saja akibat perubahan iklim dan El Nino produksi beras nasional anjlok. Apalagi bila tidak dipupuk dengan pupuk yang baik,” ujarnya.
Karena itu, Abyadi berharap pemerintah mengkaji lebih serius untuk menerapkan BLT Pupuk dalam bentuk uang tunai ke petani.
Sebelumnya, Suhardi, petani padi di Desa Bingkat, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai juga menolak sistem BLT Pupuk yang akan diberlakukan pemerintah.
Menurutnya, sistem yang ada sekarang sudah cukup baik, di mana petani datang ke kios dengan membawa KTP tapi sudah terdaftar di eRDKK, sudah bisa menebus pupuk subsidi.
Kemudian, dengan penerapan sistem ini pupuk tidak pindah ke mana-mana. Artinya bila petani tidak menebus maka pupuk akan kembali ke pemerintah.
“Seperti akhir tahun kemarin pupuk masih bersisa dan menjadi stok awal di 2024. Dan, sekarang peruturannya bahwa pupuk setiap saat ada di kios karena diwajibkan,” jelasnya.
Semenara kalau BLT, kata Suhardi, petani harus belajar lagi bagaimana sistemnya, apakah tepat sasaran. Karena, bisa jadi petani penerima adalah orang-orang terdekat dengan pengurus,” terangnya.
Karena itu, ia berharap pemerintah mengkaji lagi untuk merubah sistem pendistribusian pupuk subsidi dengan pemberian BLT Pupuk. (red/bs)