Asaberita.com – TULISAN ini bukan untuk mengolo-olok, tidak sedikitpun niat untuk menggunjing. Ini hanya sebuah narasi kontemplatif, bentuk dari kekecewaan, kegelisahan sekaligus kepedulian alumni terhadap kampusnya.
Kita butuh pengingat, nasehat yang berani, meskipun ditujukan pada kaum² intelektual, ilmuwan dan pemimpin, agar kita sadar, bahwa sehebat apa-pun kita bisa terjatuh, ketika kita gagal memahami hakikat jabatan.
Berita penon-aktifan Prof Dr Syahrin Harahap menyentakkan kita. Apalagi penon-aktifan itu merupakan tindak lanjut dari hukuman disiplin. Sungguh sangat menyedihkan, pilu dan tentu ini musibah kita bersama sebagai civitas akedemika UINSU, alumni dan seluruh stakeholder.
Sejak dilantik jadi Rektor, tentu civitas sangat berharap UINSU di tangan dingin dan pikiran hebat Prof Syahrin akan semakin baik, maju dan unggul. Sebagaimana ekspektasi kita dengan segudang sebutan dan gelar akan kehebatan beliau.
Beliau dikenal, “Sang legenda dari lembah Garoga”, professor hebat, intelektual tanpa batas, cendikiawan dan ulama kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, ilmuwan yang menggilas congkaknya sinar mentari di siang hari. Sang legenda yang diwaktu kecil sering mandi di hutan dan memiliki ketajaman mata bathin. [Baca, Sang Legenda dari Lembah Garoda, Gardamedannews, Sattar 6 Agustus 2022]
Dalam catatan media online itu, sang legenda, dianggap mampu berhasil memajukan UINSU. Sejumlah capaian itu dapat kita baca, masih di Gardamedannews, “Sang Lagenda dari Lembah Garoga”, yakni ; “Ketika sekitar 4 bulan Prof Syahrin menjabat Rektor UIN Sumut, beberapa programnya yang menyentak public. Antaranya, merevitalisasi anggaran, mendirikan Profesor Corner…dst.”
Namun sangat disayangkan, fakta yang terjadi justru Menteri Agama memberikan hukuman disiplin secara keras, dengan tidak menerima sanggahan. Tentu selaku lembaga negara, semua ini sudah melalui proses pemeriksaan dan investigasi yang konprehensif.
Dan akibat langsung dari hukuman itu membuat beliau dianggap tidak lagi memenuhi syarat jadi Rektor UINSU. Kita tidak tahu apa yang menjadi penilaian objektif kementrian agama sehingga harus mencopot Prof Syahrin, tapi itulah takdir yang terjadi.
Keprihatinan kita semakin mendalam ketika kepemimpinan beliau dikaitkan dengan pengembangan keilmuan paradigma “wahdat al-‘Ulum”. Perlu diketahui, Wahdat al- ‘Ulum bukanlah ilmu dan temuan baru. Paradigma Wahdat al- ‘Ulum telah pernah digagas dan ditulis oleh Dr H Abdul Muhaya MA, Dosen Wali Songo dengan judul “Wahdat al-‘Ulum menurut Imam al-Ghazali” tahun 2014.
Namun untuk UINSU, Prof Syahrin-lah pelopor dan pengagasnya. Paradigma wahdat al- ‘Ulum, melihat bahwa ilmu itu satu dari Allah dan semua ilmu adalah Islam. Jadi tidak ada ilmu sekularistik, karena seluruh ilmu bersumber dari yang satu yakni Allah.
Dari sini dapat dilihat, penekanan wahdat al- ‘Ulum pada basis tauhid, iman, spiritual dan moralitas, karena semua dikembalikan dan ditundukkan kepada Allah. Pengamal wahdat al-‘Ulum harus dekat dengan Tuhan. Output-nyapun diharapkan memperbaiki sejumlah dikotomi² kehidupan [dikotomi vertikal, horizontal, aktuliatas, etis dan intrapersonal].
Wahdat al-‘Ulum sebagai ilmu, tentu terpuji dan mulia. Namun, Wahdat al- ‘Ulum mengalami bias dan kehilangan martabat, ketika pelopor, penggagas dan tokohnya, yakni ketika Prof Syahrin tidak mampu menuntaskan kepemimpinannya secara husnul khatimah. Inilah yang dimaksud dikotomi aktualitas.
Kepemimpinan “wahdat al-‘Ulum” diperkuat lagi dengan jargon “UINSU KITA”, sungguh mengisyaratkan kepemimpinan kolaboratif, tim work dan kollektif serta berkarakter rendah hati dan merangkul. Bukan sebaliknya, “one man show”, individualiastik, hegemoni dan otoritarian.
Ada bagian tubuh yang tidak mungkin bisa kita lihat tanpa bantuan cermin. Ada sudut pandang yang belum sempurna bisa kita pahami tanpa bantuan pikiran orang lain. Untuk itu, wahdat al-‘Ulum kesadaran akan kesatuan ilmu yang memastikan kita butuh pikiran² dan gagasan² orang lain untuk kesatuan tujuan.
Ini harus menjadi iktibar dan renungan kollektif kita semua. Terkhusus bagi anda jika ditakdirkan jadi pemimpin kampus ke-depan, mulai dari rektorat sampai ke dekanat. Jadilah pemimpin kolaboratif, berkarakter rendah hati, ramah dan tidak sombong. Sebab, jabatan itu hanya sesaat.
Spirit itu sepertinya lebih kuat ada pada dimensi langit paradigma “Islam transitif,”. Kita butuh kepemimpin kampus yang kolaboratif, merangkul dan berkarakter rendah hati, untuk membangun harmoni dan meningkatkan gerakan total produksi. Itulah paradigma Islam transitif yang digagas Datuk Dr Ansari Yamamah, sosiolog Sumut, yang perlu kita attensi lebih serius.
Paradigma wahdat al-‘Ulum menjadi dipertaruhkan dan berpotensi dievaluasi oleh Rektor berikutnya, ketika ilmu ini dianggap gagal diaktulisasikan pada dimensi kepemimpinan. Ilmu itu nur, cahaya, penerang dan harus bertuah.
Sebaliknya, andaikan Prof Syahrin tidak dicopot, mampu menyelesaikan masalah dan memajukan UINSU serta berhasil mewariskan better legacy. Maka Prof Syahrin akan menjadi rektor paling menyejarah dan mampu meletakkan wahdat al-‘Ulum sebagai pijakan tapak-tapak keteladan untuk kita titi melanjutkan baktinya. Disitulah baru kita mulai meletakkan monumen “Wahdat al-‘Ulum.” Namun, takdir berkata lain.
Begitupun, tetaplah berbaik sangka [berhusnu’dzan]. Sebab seringkali, teguran, musibah dan ujian, fitnah dan gunjingan justru cara Allah memberi kita keselamatan, kebeningan dan kebaikan. Tetaplah berhati-nyaman; mampu tersenyum kala terluka; mampu tertawa dalam kecewa; mampu bermaaf pada yang tega.
Mari belajar dari ketabahan TGS Prof Saidurrahman sang sufi intelektual UINSU, yang dia sangat haqqul yakin bahwa Allah Maha Baik, Dia tidak tidur dan “Maha Bijaksana” dalam menunjukkan keadilan dan kekuasaanNYA.
“Jika kamu berkuasa, semua orang mendekatimu dan jika kamu jatuh, semua orang akan menjauhi dan meninggalkanmu, seolah-olah tidak mengenalmu. Semua itu agar kamu menyadari bahwa hanya kepada Allah-lah kita bersandar dan kembali.”
Akhirnya tulisan ini, saya tutup dengan mengutip penggalan kalam Ilahi. ” In aḥsantum aḥsantum li`anfusikum, wa in asa`tum fa lahā,. “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” [Alquran]
Ilahi Anta Ma’sudi Wa Ridlha Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka. Wallahu ma’ana.
■ Ahmad Sabban Rajagukguk | Presiden IKA UINSU
(tulisan ini mengalami pengeditan dan pergantian gambar dari penayangan sebelumnya)