Disampaikan dalam Dialog Publik Memperingati Hari Bhayangkara ke-79
Oleh: Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, SH, SE, MM
DISAHKANNYA revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada 20 Maret 2025 oleh DPR atas usulan pemerintah menjadi langkah mundur dalam perjalanan reformasi nasional yang telah berlangsung 27 tahun. Langkah ini mencederai semangat pemisahan TNI dan Polri, yang merupakan tonggak utama dalam mengakhiri praktik dwifungsi ABRI pasca-reformasi 1998.
Reformasi kala itu menempatkan TNI dan Polri pada jalur profesional masing-masing: TNI sebagai alat pertahanan negara dan Polri sebagai pengayom serta penegak hukum sipil. Namun, saat ini kita justru menyaksikan kembalinya bayang-bayang dwifungsi dengan penempatan personel TNI-Polri aktif di berbagai jabatan sipil tanpa alih status. Ini bertentangan dengan semangat supremasi sipil dalam negara demokrasi modern.
Kabar mengenai wacana revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI pun menambah keresahan publik. Terlebih ketika diketahui bahwa lebih dari 50 perwira tinggi Polri aktif saat ini menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, yang sejatinya melanggar Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian: “Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” Ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip profesionalisme dan netralitas institusi Polri.
Supremasi Sipil, Demokrasi, dan Negara Sejahtera
Supremasi sipil merupakan prinsip utama dalam negara demokratis, di mana kekuatan militer dan kepolisian tunduk pada otoritas sipil yang sah dan bekerja secara transparan serta akuntabel. Prinsip ini bertujuan mencegah militerisasi politik, menjaga stabilitas, dan menjamin hak-hak rakyat.
Negara-negara dengan indeks demokrasi tertinggi versi Economist Intelligence Unit (EIU) 2024—seperti Norwegia, Selandia Baru, Belanda, dan Jerman—menunjukkan korelasi kuat antara supremasi sipil dan kesejahteraan rakyat. Di negara-negara tersebut, aparat keamanan dilarang menduduki jabatan sipil kecuali melalui alih status atau dalam situasi darurat. Pendapatan per kapita mereka pun melampaui standar negara maju (di atas USD 12.000/tahun), mencerminkan kemajuan tidak hanya secara ekonomi, tapi juga tata kelola pemerintahan.
Profesionalisme Polri di Persimpangan Jalan
Sejak dipisahkan dari TNI pada era reformasi, Polri berkembang pesat dari sisi organisasi, jumlah personel, dan anggaran. Dari sekitar 230 ribu personel pada 1998, kini berjumlah lebih dari 477 ribu dengan anggaran lebih dari Rp125 triliun. Namun, perkembangan kuantitatif ini belum sepenuhnya diimbangi oleh perbaikan kualitatif.
Penempatan personel aktif di berbagai kementerian dan lembaga, sebagaimana tercantum dalam surat telegram Kapolri 12 Maret 2025, memperlihatkan penyimpangan dari tugas pokok Polri. Bahkan sejumlah oknum dituding terlibat dalam politik praktis, termasuk dalam Pemilu 2019 dan 2024. Tiga isu utama yang dipersoalkan publik terhadap Polri adalah: turunnya profesionalisme, keterlibatan dalam politik praktis, dan konflik kepentingan karena penempatan di luar institusi induk tanpa alih status.
Laporan KontraS mencatat 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024. Tak kurang dari 20 kasus besar selama satu dekade terakhir—termasuk kasus pembunuhan dan narkoba oleh perwira tinggi—menunjukkan rapuhnya sistem pengawasan internal. Skandal seperti suap dalam kasus BBM oplosan yang melibatkan perwira Polri pada Februari 2025 menambah daftar panjang tantangan profesionalisme Polri.
Tidak mengherankan jika World Internal Security and Police Index (WISPI) 2023 menempatkan Polri di peringkat ke-63 dunia, jauh di bawah Singapura (4), Belanda (5), Jepang (12), dan bahkan Malaysia (43) dan Vietnam (45). Skor Indonesia hanya 0,51—jauh dari ideal (1,00).
Membangun Kepolisian Modern
WISPI menggunakan empat indikator dalam mengukur kualitas kepolisian: kapasitas sumber daya, efektivitas penegakan hukum, legitimasi publik, dan rasa aman masyarakat. Negara-negara seperti Inggris, Belanda, Singapura, dan Georgia menjadi contoh reformasi kepolisian yang berhasil.
Di Inggris, prinsip “policing by consent” memastikan bahwa kekuasaan polisi bersumber dari kepercayaan publik. Di Georgia, reformasi radikal dilakukan pasca-Revolusi Mawar dengan membubarkan unit-unit yang korup dan merekrut ulang personel berdasarkan integritas. Hasilnya, kepercayaan publik meningkat tajam, dan indeks kepolisian Georgia melampaui sebagian besar negara ASEAN.
Agenda Reformasi Polri
Dalam konteks ini, reformasi Polri bukan hanya penting—melainkan mendesak. Agenda reformasi harus melibatkan seluruh elemen masyarakat: akademisi, mahasiswa, LSM, tokoh agama, budayawan, dan lainnya. Empat agenda utama reformasi Polri meliputi:
- Struktural:
- Menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana praktik negara demokrasi lainnya.
- Mendorong desentralisasi kewenangan kepolisian daerah dan memperbaiki sistem koordinasi vertikal-horizontal.
- Kultural:
- Menanamkan kembali nilai-nilai etika, ketuhanan, dan kemanusiaan dalam jiwa setiap anggota Polri.
- Menghindari keterlibatan dalam politik praktis dan menjunjung tinggi peran pengayom masyarakat.
- Personalia:
- Menerapkan sistem meritokrasi, transparansi promosi, dan akuntabilitas SDM.
- Memberi ruang pensiun dini atau alih status bagi personel yang tidak profesional atau punya minat di luar kepolisian.
- Pendidikan dan Kurikulum:
- Menyegarkan materi pendidikan kedinasan dengan penekanan pada integritas, ideologi Pancasila, dan wawasan global.
- Menjamin seleksi pendidikan yang objektif, bebas suap, dan menjangkau semua kalangan.
Penutup
Reformasi Polri adalah keniscayaan jika Indonesia ingin menjadi negara maju dan demokratis. Dibutuhkan kemauan politik dari Presiden, perhatian serius dari DPR, serta keterlibatan aktif masyarakat. Alih-alih merevisi UU Kepolisian untuk melegitimasi pelanggaran, saatnya pemerintah memprioritaskan reformasi institusional yang substansial.
Semoga momentum Hari Bhayangkara ke-79 menjadi refleksi bersama untuk meneguhkan kembali arah perjalanan Kepolisian Republik Indonesia: menjadi institusi yang profesional, dipercaya rakyat, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan dan keamanan negeri.
*) Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional. Pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Ukraina, Armenia & Georgia (2017–2021), Menteri PAN-RB (2014–2016), serta Penulis Buku Reformasi Internal ABRI Menuju Hubungan Sipil-Militer Baru di Indonesia (2004).
- Kajari Madina Luncurkan Aplikasi “SIKIMAN” untuk Tingkatkan Pelayanan Publik – Juli 3, 2025
- Rangkaian Peringatan HANI 2025, PKS Sumut Tegaskan Komitmen Perangi Narkoba – Juli 2, 2025
- AMPU dan Praktisi Hukum Kecam Dugaan Korupsi Kepala Dinas PUPR Sumut, Dukung Komitmen Gubernur Bobby untuk Transparansi – Juli 2, 2025