Opini

Sinergi Tiga Kekuatan Besar: Civil Society, Generasi Muda, dan Influencer Mendorong Perubahan

×

Sinergi Tiga Kekuatan Besar: Civil Society, Generasi Muda, dan Influencer Mendorong Perubahan

Sebarkan artikel ini
17+8 Tuntutan Rakyat

Oleh : Leriadi, S.Sos

MENGAPA 17+8 Tuntutan Rakyat bisa begitu cepat membumi, viral, dan diterima luas oleh masyarakat? Pertanyaan ini bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan refleksi penting atas dinamika politik dan sosial kita hari ini.

Jawabannya tidak sesederhana, karena “isu ini sedang tren” atau “media sosial yang mempercepat arus informasi”. Angka 17+8 sendiri melambangkan Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 bulan 8 atau Agustus.

Tuntutan itu muncul setelah diskusi online yang dilakukan beberapa pemengaruh seperti Jerome Polin, Cheryl Marcella, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati Malaka, dan Andhyta F Utami. Mereka merangkum tuntutan dari berbagai organisasi dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan “17+8 Tuntutan Rakyat”.

17+8 Tuntutan Rakyat bisa cepat mengakar karena gerakan ini lahir dari kombinasi unik tiga kekuatan besar yang saling melengkapi: civil society yang konsisten berjuang, generasi muda yang energik, serta influencer/YouTuber yang mampu melakukan amplifikasi pesan secara masif.

Inilah sinergi yang membuat 17+8 tidak berhenti pada lingkaran aktivis, tetapi benar-benar menjadi bahasa rakyat banyak.

Civil Society: Fondasi yang Tak Pernah Lelah

Civil society adalah pilar pertama. Ia mencakup akademisi, tokoh agama, LSM, serikat buruh, aktivis HAM, hingga mahasiswa yang selama bertahun-tahun mengawal jalannya demokrasi dan reformasi.

Mereka tidak hanya berbicara di ruang seminar, melainkan juga turun langsung ke jalan, menyiapkan kajian hukum, menyusun advokasi, hingga menghadapi represi. Tidak sedikit yang akhirnya harus berhadapan dengan kriminalisasi, kekerasan, bahkan kehilangan nyawa.

Civil society adalah fondasi karena dari mereka lahir substansi perjuangan. Mereka merumuskan masalah secara akademis, menganalisis dengan data, dan menyusunnya menjadi tuntutan politik yang dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa mereka, 17+8 hanya akan jadi teriakan emosional tanpa arah. Dengan mereka, tuntutan itu memiliki dasar yang kokoh dan legitimasi moral yang tinggi.

Generasi Muda: Penyederhanaan yang Menggerakkan

Kekuatan kedua adalah generasi muda—Milenial dan Gen Z—yang mengubah wajah advokasi menjadi sesuatu yang lebih membumi.

Bahasa advokasi sering kali rumit: penuh istilah hukum, pasal-pasal perundangan, dan narasi akademis yang sulit dipahami masyarakat awam. Generasi muda dengan kecerdasan komunikasinya berhasil menyulap kerumitan itu menjadi narasi yang sederhana, jelas, dan mudah diingat.

BACA JUGA :  Siti Holija Harahap Dikabarkan Diberhentikan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Tapsel

Mereka menjadikan 17+8 sebagai slogan yang tidak hanya logis, tetapi juga emosional. Sebagai contoh, tuntutan tentang penegakan hukum tidak dipresentasikan dengan bahasa “revisi regulasi” atau “reformasi struktural”, melainkan dengan bahasa yang lebih dekat: keadilan bagi rakyat kecil, perlindungan bagi pekerja, akses pendidikan, dan harga kebutuhan pokok yang terjangkau.

Energi muda membuat tuntutan itu relevan. Mereka menghubungkannya dengan keseharian publik, sekaligus memberi semangat baru. Bagi generasi muda, ikut terlibat bukan sekadar aksi politik, tetapi juga ekspresi identitas dan kepedulian pada masa depan bangsa.

Influencer & YouTuber: Amplifikasi Suara Rakyat

Kekuatan ketiga yang tak kalah penting adalah influencer dan YouTuber. Mereka biasanya identik dengan dunia hiburan, gaya hidup, atau konten ringan yang menghibur. Namun kali ini, sebagian dari mereka turun tangan mengangkat isu serius.

Dengan jutaan pengikut, influencer dan YouTuber mampu menjangkau audiens yang selama ini mungkin apatis terhadap isu politik. Mereka menghadirkan substansi perjuangan rakyat ke layar gawai, dengan bahasa yang lebih ringan, visual yang menarik, dan pendekatan yang menghibur tanpa kehilangan pesan utamanya.

Inilah faktor amplifikasi. Apa yang sebelumnya hanya diketahui kalangan aktivis, kini menyebar luas. Dari ruang-ruang diskusi kampus hingga meja makan keluarga, dari pos ronda hingga warung kopi, 17+8 diperbincangkan. Bahkan mereka yang sebelumnya tidak peduli politik, mulai bertanya-tanya: “Apa itu 17+8?”—dan ketika dijelaskan, mereka merasa itu juga menyuarakan keresahan mereka sendiri.

Lebih dari Sekadar Daftar Tuntutan

Sinergi tiga kekuatan ini menjadikan 17+8 lebih dari sekadar daftar tuntutan politik. Ia berubah menjadi bahasa bersama.

Civil society memberikan fondasi substansi. Generasi muda menyederhanakan bahasa hingga mudah dicerna. Influencer dan YouTuber memperluas jangkauan pesan. Hasilnya adalah sebuah artikulasi penderitaan sekaligus harapan rakyat yang bisa dipahami, dirasakan, dan diperjuangkan bersama.

17+8 adalah simbol persatuan. Ia bukan milik satu kelompok atau satu generasi saja, melainkan milik bersama. Inilah yang membuatnya membumi—karena setiap orang menemukan dirinya di dalam tuntutan itu.

Tantangan yang Menanti

Namun, perjalanan tentu tidak berhenti di sini. Justru tantangan ke depan jauh lebih berat.

  • Civil society tidak boleh lelah. Mereka harus terus mengawal substansi perjuangan, memastikan tuntutan tidak direduksi menjadi sekadar tren sesaat.
  • Generasi muda harus menjaga konsistensi. Kepedulian pada demokrasi dan keadilan sosial tidak boleh padam hanya karena hiruk pikuk isu lain.
  • Influencer dan YouTuber harus membuktikan komitmen. Keberpihakan kepada rakyat tidak boleh hanya hadir ketika isu sedang viral, tetapi konsisten dalam jangka panjang.
BACA JUGA :  Membangun Sumut Dengan Gerakan Gemar Membaca

Sinergi ini harus terus dipelihara. Jika salah satu komponen melemah, maka gaung 17+8 akan meredup. Tetapi jika tiga kekuatan ini tetap bersatu, maka perubahan tidak hanya berhenti pada slogan. Ia bisa benar-benar menjadi arah baru bagi bangsa ini: demokrasi yang sehat, keadilan yang nyata, dan kesejahteraan yang merata.

Penutup: Dari Viral Menjadi Gerakan

Sejarah bangsa ini mencatat, perubahan besar selalu lahir dari persatuan berbagai kekuatan. Reformasi 1998 tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi mahasiswa, masyarakat sipil, media, dan rakyat biasa. Begitu juga dengan perjuangan hari ini, 17+8 hanya akan bermakna jika benar-benar dijaga sebagai gerakan bersama.

Viral hanyalah pintu masuk. Yang jauh lebih penting adalah menjadikannya sebagai gerakan panjang yang konsisten, disiplin, dan terarah.

17+8 bukan sekadar fenomena media sosial. Ia adalah panggilan moral, simbol persatuan, dan kompas perjuangan rakyat untuk masa depan yang lebih adil.

Perubahan memang tidak datang dalam semalam. Tetapi dengan sinergi civil society, generasi muda, dan influencer/YouTuber, maka jalan menuju perubahan itu semakin terbuka. Yang diperlukan kini adalah keberanian, konsistensi, dan tekad untuk terus melangkah.

Karena pada akhirnya, 17+8 bukan sekadar viral. Ia adalah panggilan untuk berjuang tanpa henti.

(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *