Filsafat Ibadah ; Shalat Fondasi Peradaban Bumi

Salahuddin Harahap. (foto/msj)
Salahuddin Harahap. (foto/msj)

Oleh : Salahuddin Harahap

 

Dalam khazanah Teologi Islam, telah umum dipahami bahwa mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya Muhammad Saw, merupakan fondasi dari keimanan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Terhadap hal ini, dapat direnungkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas Ra, dimana Nabi Muhammad Saw_ bersabda: “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (H.R. Bukhari Muslim).

Konsisten terhadap hal itu, dapat disebut bahwa inti dari keimanan itu adalah kecintaan kepada Allah Swt dan Rasulullah Muhammad Saw. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya sendiri dapat diaktualisasikan dalam berbagai cara bahkan lewat berbagai dimensi yang bersifat hirarkis.

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang telah umum dijadikan sebagai defenisi iman seperti berikut: “Iman adalah tambatan hati, ucapan lisan dan laku perbuatan”. Secara bebas dapat dimaknai bahwa kecintaan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya dapat meliputi berbagai dimensi secara hirarkis berupa keterikatan rasa atau qalbu, deklarasi melalui ucapan dan implementasi lewat aksi nyata.

Menjadikan kecintaan sebagai padanan kata keimanan serta membatasinya dengan defenisi di atas, belum juga membuat iman menjadi sederhana untuk dipahami apalagi untuk dimiliki para pemeluk agama. Betapa banyak pemeluk agama yang tidak juga mampu mengidentifikasi apakah ia telah beriman atau belum, bahkan setelah beragama secarabturun temurun. Begitu pun juga, betapa banyak yang terkadang harus meragukan keimanannya_ ketika mengkonfirmasi dirinya dengan karakteristik para pemilik iman seperti yang digambarkan oleh kitab suci al-Qur’an maupun hadis Rasulullah.

Dilema ini kerap memosisikan sementara orang yang mengaku beriman tetapi secara eksistesial berada di persimpangan jalan atau dalam istilah Teologis disebut  Agnostic-Theism- yakni meragukan iman yang dilakoninya.

Ketika pemilik iman mulai meragukan keadaan beriman yang sedang dijadikannya sebagai identitas dan kualitas dirinya. Sementara itu iman sendiri dalam khazanah Teologis merupakan batu pertama atau modal utama membangun peradaban manusia di bumi. Maka jadilah para pemilik iman sebagai bukan lagi pelopor bagi pengembangan peradaban seperti yang pernah dicontohkan para Nabi, Rasul dan Wali Allah di bumi.

Lihatlah bagamana Adam AS, baru mulai percaya diri untuk bergerak dan membangun peradaban di bumi setelah adanya proses rekonsiliasi hubungan dengan Allah Swt atau dalam istilah Teologis proses pertaubatan atau pemulihan keimanan. Begitupun Nabi Syits As yang baru dapat menjadi pelopor peradaban setelah menerima wahyu sebagai buah dari keimanan yang dibangunnya secara baik. Demikian seterusnya jejak rekam para popor peradaban dunia yang dalam khazanh Teologis dibatasi pada Rasul, Nabi dan Para Wali Allah Swt.

BACA JUGA :  Pos Indonesia Salurkan Bantuan Pangan di Sumut, Ijeck: Turunkan Angka Stunting

Belakangan makna keimanan mengalami degradasi sedemikian parahnya. Pemilik iman tidak lagi mengambil posisi sebagai pelopor peradaban kalau bukannya malah menjadi beban bagi kemajuan peradaban. Iman yang semula menjadi lambang ikatan dengan Sang Creator Yang Maha Kuasa, Kaya, Cerdas dan Kreatif___ telah berobah me jadi sekadar identitas pembeda antara yang masih mengakui Tuhan dan Agama dengan yang tidak atau meragukannya.

Agar tidak terjebak dalam dilema yang demikian, agaknya penting untuk menyederhanakan makna iman agar lebih mudah untuk dipahami dan aktualisasikan. Tentu saja penyederhanaan tidak bermakna simplikasi apalagi parsialisasi iman, tetapi lebih pada upaya efektifitas atau reaktualisasi  iman sebagai modal utama penggerak peradaban di bumi.

Menunjuk iman sebagai penggerak peradaban tentu memiliki alasan terutama dalam konteks Teologis. Iman dalam hal ini disejajarkan dengan cinta dan kasih sayang. Sejalan dengan itu beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh ketika memberikan makna terhadap “al-Rahman dan al-Rahim” mengidentifikasi bahwa– Allah Swt telah mencipta dan mengatur alam semesta lewat kedua asma-Nya yakni “al-Rahman dan al-Rahim” yang berarti cinta dan dapat juga berarti iman.

Jika iman bermakna cinta dan cinta bermakna fondasi sebuah hubungan, maka fondasi dari keimanan kepada Allah Swt sendiri adalah Shalat (al-Shalatu imau al-Din), sedangkan fondasi keimanan kepada Rasulullah Saw sendiri adalah Shalawat. Shalat menjadi media bagi hubungan, keterikatan dan kecintaan manusia kepada Allah Swt, sedangkan shalawat merupakan media bagi hubungan, keterikatan dan kecintaan manusia kepada Rasulullah Muhammad Saw.

Lihatlah bagaimana Radulullah Saw memberi penjelasan akan dua jalur iman ini seperti berikut: Pertama, terhadap shalat sebagai jalur utama Iman kepada Allah Swt – Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Sementara itu Kedua, terhadap Shalawat sebagai jalur utama keimanan kepada Rasulullah Saw__ “Orang yang paling dekat dariku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, dan dihasankan Al-Albani).

BACA JUGA :  Rekomendasi Pembubaran BPIP Tidak Beralasan

Shalat dan Shalawat dengan demikian menjadi modal penting bagi manusia beriman, dimana jika keduanya terbangun secara baik pada diri seseorang, maka orang tersebut berpeluang untuk menjadi pelopor bagi peradaban dunia. Lewat shalat seseorang dapat berinterkasi bahkan nyaris tanpa batas dengan Allah Swt__ seterusnya berpeluang untuk mengadaptasi asma dan sifat Allah Swt dalam pengejawantahan makhluk yang akan dibutuhkan untuk membangun peradaban di bumi.

Sedangkan shalawat akan membuka sekat-sekat dimensial yang memisahkan seoramg beriman dari Rasulullah Saw baik ruang, waktu serta dimensi. Seperti halnya shalat yamg membuka tabir pemisah anatar makhluk demgan Tuhan, maka shalawat dapat membuka tabir dan sekat yang memisahkan kita dari penghulu segala zaman Rasulullah Saw.

Jika shalat dapat menjadi media yang dapat menghadirkan Allah Swt di bumi serta mengintegrasikan manusia dengan Allah Swt dalam menapaki dan membangun peradaban. Maka shalawat juga dapat menghadirkan Rasulullah Swt dalam setiap ruamg dan waktu serta berintegrasi dengannya dalam menapaki serta membangun tahapndemi tahap peradaban dunia.

Untuk mewujudkan dua jalur iaman ini sebagai pemggerak peradaban, maka paling tidak, baik shalat maupin shalawat harus pula dapat didukkan dalam tiga dimensi keimanan yakni terbangunnya penghayatan ikatan qalbu atau spiritual dengan Allah Swt lewat shalat dan dengan Rasulullah Saw lewat shalawat. Begitupun juga, penting mendeklarasikan shalat sebagai jalur iman kepada Allah Swt lewat pendirian atau pelaksanaannya pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Demikian pula dengan pendeklarasian shalawat sebagai bukti keimanan dan kecintaan kepada Rasulullah Saw lewat pengucapan atau wiridan.

Penting mengaktualisasi shalat dalam aksi nyata sebagai bukti keimanan kepada Allah Swt lewat pengejawantahan asma dan sifat Allah Swt dalam konteks pembaharuan bumindan peradaban. Begitu pun juga penting mengaktualisasi shalawat sebagai bukti kecitaan kepada Rasulullah Saw dalam kehidupan nyata melalui peneladanan dan penegakan tradisi dan akhlak Rasulullah Saw dalam hidup dan membangun peradaban di bumi.

Penutup

Mengambalikan posisi iman sebagai penggerak peradaban dunia sebagaimana yang ditradisikan para Rasul, Nabi dan Wali Allah tentu bukan pekerjaan yamg mudah setelah sekian lama iman ini hanya sebatas selogan dan identitas sosial bagi banyak manusia. Namun, tidak juga bermakna tidak mungkin lagi terwukud alias mustahil. Karena itulah upaya- upaya mewujudkannya mesti tetap dilakukan dan mesti dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga, masyarakat hingga bangsa dan negara. Wallahu A’lam ** msj

 

** Penulis adalah Ketua Umum Gerakan Dakwah Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) **

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *