Asaberita.com – Jakarta – Menteri Agama RI Letjen (Purn) Fachrul Razi mengungkapkan, isi buku berjudul Nalar Kerukunan Keberagaman Agama Mengawal NKRI, karya Rektor UINSU Medan TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg dan Dr Arifinsyah MAg sejalan dengan program Kementerian Agama RI.
“Tema buku ini, sesungguhnya sangat sejalan dengan program kerja Kemenag di bidang agama. Terciptanya kerukunan merupakan kerjasama kita bersama. Karena itu, buku yang ditulis ini membantu kita untuk merawat kerukunan,” kata Menteri Agama Fachrul Razi ketika tampil pada acara webinar nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) secara online lewat aplikasi zoom, Rabu (19/08/2020).
Tampil sebagai pembicara pada webinar tersebut, Kepala BPIP Prof Drs Yudian Wahyudi Ph.D, Prof Dr Jamal Wiboho SH, MHum (Rektor UNS/Pengarah BPIP), Pdt Dr Andreas Anangguru Wawanhoe (Pengarah BPIP), DR (HC) Soenjoto Sudhamek Awe (pengarah BPIP) dan penulis buku Nalar Kerukunan TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg. Kegiatan ini dimoderatori Ahmad Uzair Fauzi Ph.D.
Menag mengatakan, terciptanya kerukunan atas kerjsama semua pihak. Beda pendapat bukan berarti berkonflik. Karena mencitpakan dan merawat kerukunan bukan perkasa muda dengan masyarakat yang majemuk.
“Kita sangat butuh regulasi yang berpihak kepada prinsip keadilan, agar adil semua agama adil tidak ada yang dikecilkan dalam menjalankan agamanya masing-masing,” katanya.
Sejak lama, kata Menag, bahwa Kemneterian Agama RI sudah ikut terlibat untuk memediasi semua umat beragama. Tetapi lanjut dia, tugasnya ini belum selesai dan terus akan dilakukan dalam menjaga kerukunan beragama.
“Kemenag, tentu tidak dapat mencampuri praktik ritual setiap agama. Tapi kebebasan agama tetap dijalankan secara tertib dan tidak saling mengganggu. Kehadiran Negara mengatur agama, bukan berarti ikut mengintervensi. Keragaman itu menjadi tafsir yang baik dan menerjemahkan dengan baik pula. Negara harus hadir dalam kebebasan umat beragama,” katanya.
Menag mengatakan, bahwa moderasi beragama merupakan proses pemahamaan agama yang terhindar dari prilaku ekstrim. Ini telah dicontohkan di masa Menteri Agama sebelumnya. Misalnya, di era 1970-an, Menteri Agama Mukti Ali, mengajukan konsep setuju dalam ketidaksetujuan.
“Mukti Ali kata Menag, mengajak umat beragama, tidak tunggal, melainkan banyak dan berbeda-beda. Bahkan, Menag Alamsyah Ratu Perwira Negara juga menyebutnya dengan trilogi umat beragama. Trilogi ini bertujuan menciptakan toleransi antara umat beraga,” katanya.
Pada acara webinar tersebut, Menag mengajak semua pihak untuk memanfaatkan momentum yang baik ini untuk memperbaiki hubungan antara umat beragama. Para nara sumber harus mengelaborasi materi ini lebih dalam.
“Karena keragaman yang kita miliki, sebagai kenyataan, ini harus dikelola secara arif. Program moderasi beragama, program jangka menengah untuk membina mental kita semua. Kemenag tetap konsisten dalam menguatkan keragaman umat beragama,” kata Fachrul Razi.
Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi dalam sambutan pembukaannya mengapresiasi buku karya Rektor UINSU Medan Prof Dr Saidurrahman MAg. Dalam sambutannya, Yudian menyebut bahwa sejarah keislaman dimulai sejak era Nabi Muhammad SAW.
Era Nabi Muhammad, kata dia, merupakan awal era kebangkitan Islam agar lebih maju dan merdeka keterpurukan. Setidaknya, pelajaran sejarah Islam ini menjadi awal kebangkitan umat beragama di Indonesia.
Penulis Buku TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg mengucapkan apresiasi yang dalam atas sambutan buku karyanya. “Saya mengucapkan kepada Menteri Agama yang mengapresiasi buku ini sekaliugus memberikan kata sambutannya dalam pengantar buku,” kata Saidurrahman.
Dia mengatakan, kerukunan dan harmoni beragama harus bergerak dari literasi menuju aktualisasi. Dari dari peraturan dan perundang-undangan menuju sikap dan prilaku hidup beragama.
Sebab, katanya, hidup rukun tidak sekadar slogan tidak pula sebatas diskursus tetapi merupakan aksi hidup sebagai individu maupun sosial. Menggunakan istilah “Gotong Royong Beragama”.
“Tampaknya ini menjadi masuk akal, sebab istilah ini dapat dilihat lebih bersifat aplikatif, operasional dan lebih akrab dengan budaya Bangsa Indonesia,” katanya.
Dia mengatakan, Gotong Royong Beragama tidak hanya penting sebagai wadah membangun harmoni dan kerukunan hidup antara umat beragama, tetapi lebih jauh dapat menjadi upaya mendudukkan suasana rukun dan harmoni tersebut dalam bingkai Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.** msj