Scroll untuk baca artikel
#
Opini

MENAKAR KEDUNGUAN DALAM BERAGAMA

×

MENAKAR KEDUNGUAN DALAM BERAGAMA

Sebarkan artikel ini
Tuan Guru Batak (TGB)

||Dari perspektif historia Klasik dan kultur tutur Islam kontemporer ||Dungu di-musim corona

Tuan Guru Batak (TGB)

Oleh Tuan Guru Batak (TGB) Dr Ahmad Sabban elRahamaniy Rajagukguk MA

IBLIS terdampar, ter-usir dan akhirnya terlaknat atau terkutuk. Kenapa (?) Karena Iblis dungu. Di-mana letak kedunguan Iblis (?) Melawan perintah Tuhan, dengan argumentasi syahwat kesombongan. Apakah sebelumnya Iblis tidak pintar, ‘alim, abid dan mulia (?) Ya, atas dasar itulah, iblis diperdaya ego sehingga sanggup melawan Tuhan dengan argumentasi syahwat sembari menganggap dia lebih mulia dari Adam (as).

Abu Jahal, Abu Lahab dua paman Nabi yang dilaknat Tuhan. Kenapa (?) Juga karena dungu. Mereka mengingkari kenabian. Bahkan merasa lebih pantas jadi Nabi. Apakah mereka tidak pintar (?) Mereka hidup ditengah tradisi tutur dan sastra arab sudah berkembang. Bukan hanya mengetahui bahasa arab ‘Amiyah tapi sudah maju peradaban syair.

Dalam suatu riwayat, Isa al-Masih pernah berkata, “Sesungguhnya aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan perkenan Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan perkenan Allah; juga aku obati orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan perkenan Allah; kemudian aku obati orang dungu namun aku tidak mempu menyembuhkannya!”

Selanjutnya Isa as pun ditanya, “Wahai ruh Allah, siapa orang dungu itu?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat beban (cacat) baginya; yang memastikan semua kebenaran harus menurut diri sendiri. Itu orang-orang dungu, yang tidak ada jalan untuk mengobati.”

“Orang dungu” yang disebut Isa al-Masih dalam bahasa Arabnya disebut “al-ahmaq” Bukan dungu biasa, melaikan kedunguan ganda, yang menurut Nabi Isa al-Masih tidak akan dapat diobati. Di kalangan kaum pelajar ada istilah sepandan, yaitu “jahil murakkab” (“bodoh kuadrat”), yaitu orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya sendiri.

DUNGU PERSPEKTIF HISTORIA KLASIK DAN KULTUR TUTUR ISLAM KONTEMPORER

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dungu bermakna sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh; sok tahu; goblok. Namun dungu dalam korelasi dan perspektif agama, mereka yang tidak mau menerima kebenaran karena mempertahankan kesombongan dan kebodohan keyakinan.

Saat ini istilah ‘dungu’ begitu populer. Terminologi ini menjadi sangat akrab dalam dinamika interaksi kita dengan hadir Rocky Gerung yang sangat sering berkata soal dungu.

Menurut Rocky, kosa kata ‘dungu’ untuk menggambarkan seseorang yang menjawab pertanyaan tanpa berpikir sistematis. Arti lain ‘dungu’, ‘Koherensi antara dua premis yang tidak memiliki kesimpulan. Atau ketidak-tersambungan logika ilmu akibat sebuah kebodohan.

Tapi tahukah kita, bahwa makna dungu sudah populer dalam tradisi sufi sejak zaman klasik. Kata “dungu” jadi terdengar amelioratif. Mengingatkan saya pada kitab klasik karya Ibnu al-Jauzi (abad ke-6 Hijriah) berjudul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin”—jadi kitab itu ditulis sekitar 900 tahun. Jadi, jauh sebelum populer saat ini, istilah dungu sudah populer.

Karya Ibnul al-Jauzi, berjudul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin” itu kira-kira artinya “Kabar Tentang Orang-orang Dungu”. Dalam kitab itu, di-jelaskan. Suatu hari, dalam sebuah forum yang diampu oleh Ibnu Abbas, ada seorang lelaki yang bolak-balik interupsi dan berkomentar. Setiap kali orang itu berbicara, selalu saja salah.

Ibnu Abbas beberapa kali meluruskan pembicaraannya, tapi masih saja lelaki itu berkomentar dan salah lagi, salah lagi. Setelah berulang beberapa kali, nampaknya Ibnu Abbas sudah mulai lelah. Ia kemudian menoleh ke arah budaknya, sembari berkata, “wahai budakku, aku merdekakan engkau sejak saat ini.”

Merasa aneh, si lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas. “Wahai Ibnu Abbas, kenikmatan besar apa yang membuatmu bersyukur seperti ini ? sampai-sampai engkau memerdekakan budakmu?.”

Ibnu Abbas menjawab singkat: “Aku bersyukur karena Allah tidak menjadikan aku seperti dirimu. Lelaki itu pun tercekat air liur di tenggorokannya dan wajahnya berubah kecut.”

Menurut Sayidina Ali, atribut dungu juga bisa disematkan kepada seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ يَمْنَعُ الْبِرَّ وَيَطْلُبُ الشًّكْرَ، وَيَفْعَلُ الشَّرَّ وَيَتَوَقَّعُ ثَوَابَ الْخَيْرِ

Orang yang paling dungu adalah yang menahan kebaikan namun berharap sanjungan dan berbuat keburukan namun berharap pahala kebaikan.

اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ ظَنَّ اَنَّهُ اَعْقَلُ النَّاسِ

Orang yang paling dungu adalah yang merasa paling pandai.

تُعْرَفُ حَمَاقَة ُالرَّجُلِ فِي ثَلَاثٍ : فِي كَلَامِهِ فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ وَ جَوَابِهِ عَمَّا لَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَ تَهَوُّرِهِ فِي الْاُمُوْرِ

Kedunguan seseorang dapat dikenali pada tiga hal:

Pada perkataannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak berhubungan dengannya. Pada jawabannya ketika menjawab sesuatu yang tidak ditanya tentang itu. Pada kecerobohannya dalam segala urusan.

Kita juga mengenal Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang orientalis berjubah santri. Snouck, sangat mahir sastra arab, pakar dalam ilmu hadis dan menguasai kitab-kitab klasik literatur Islam. Dia berhasil menyematkan gelarnya di majelis Imam Syafi’i di kawasan Baitullah Masjid al-haram dengan nama Syekh Abdul Ghaffar.

BACA JUGA :  Pancasila Dan Ekonomi Gotong-Royong

Snouck mampu membangun “kedunguan” umat Islam dalam perspektif hermaunitika agama. Islam dijinakkan dengan bangunan ritual. Snouck membagi golongan Islam menjadi tiga kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas, yakni Islam sebagai ritual keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang kemasyarakatan, dan Islam dalam bentuk kenegaraan.

Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia menawarkan tiga pendekatan yang berbeda pula. Kepada yang pertama, pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur di dalamnya. Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji.

Tetapi untuk kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu. Snouck ingin menegaskan bahwa Islam ritual yang dibangun doktrin keyakinan yang kuat tidak perduli sistem politik adalah Islam dungu. Dan “kedunguan” harus terus dijinakkan dengan menguatkan keyakinannya atas kesadaran menjauhkan sistem ekonomi-politik Islam, bahwa Islam itu hanya agama ritual.

DUNGU DI-MUSIM CORONA

Tiba-tiba, saya terkejut membaca satu komentar pendek di-salah satu beranda status teman. Bunyi komentar itu, ‘Jangan ikuti Ulama yang menjauhkan kita dari Masjid.’ Jika-pun mati, biarlah mati dalam mempertahankan masjid.’ Sebab Masjid-lah pertahanan terakhir umat Islam.’

Saya coba baca dan analisis pelan-pelan kemana arah komentar itu. Ternyata, di-arahkan kepada status di-atas yang mengecam adanya fatwa MUI untuk sholat di-rumah sehubungan dengan musim wabah virus corona, covid-19. Memahami arah komentar itu, seketika saya membathin, ‘kok dungu sekali, orang ini sekelas Ulama yang di-akui dikecam seruan-nya sebagai menjauhkan umat dari Masjid.’

Kenapa saya sebut dungu (?) Betapa tidak sekelas Ulama yang berfatwa di MUI, para mufti bahkan Grand Syekh azhar, yang sangat kita dan dunia menta’zhimi ke-ilmuan dan kredibiltasnya. Tiba-tiba dikecam oleh mereka sebagai tindakan menjauhkan umat dari masjid. Ini justru dungu tingkat akut.

Bahkan kekesalan itu sampai terungkap dari lisan Ustadz Abdul Somad Lc Phd yang berkata “Kita diposisikan seakan meninggalkan masjid, kalimat yang meninggalkan masjid ini yang melukai hati kita. Padahal kita sedang berpindah dari sunnah ke sunnah lain.”

Ternyata bukan hanya saya, beberapa Ulama, tokoh termasuk UAS juga terasa ter-lukai ketika di-anggap meninggalkan atau menjauhkan diri atau umat dari Masjid.

Benar kata Ulama, jika agama di-amalkan dan di-tafsirkan sendiri kaum dungu atau merasa iman-nya benar, maka dia bukan hanya merusak dirinya, orang lain tapi juga agama itu sendiri.

Mereka dengah mudah menjatuhkan kredibilitas dan maruah para Ulama tanpa memikirkan sakit hati ulama dan umat serta kecintaan mereka terhadap umat di-musim wabah ini. Tapi ketika mereka disebut ‘dungu’, mereka menjadi marah karena dianggap melecehkan umat Islam. Bayangkan betapa ‘dungunya makin gak ketolongan’.

Dungu kok mengatas-namakan umat Islam. Jika dungu, maunya dungu sendiri tidak perlu mengatasnamakan umat, karena itu menambah ‘pangkat kedunguan’ menjadi provokator umat karena telah membangun fitnah.

Muncul juga argumentasi pembelaan. Fatwa MUI sudah benar, yang keliru itu memahami fatwa tersebut. Sebab fatwa ini berlaku bagi daerah yang sudah dianggap darurat dan sudah mewabah. Saya jawab, apakah saat fatwa ini keluar di-daerah pekan baru sdh ada korban terpapar, sehingga UAS mendukung fatwa sholat dirumah ?

Apakah di-majelis Aagym sdh ada terpapar begitu juga UAH sudah ada korban terpapar (?) Lantas apakah fatwa MUI didaerahnya sdh ada anjuran sholat dirumah (?) semua itu kita jawab belum. Lantas kenapa mereka mendukung dan langsung memulai dari diri dan majelisnya lockdown (?) Sebab, mereka memahami karakteristik wabah saat ini, dengan mendahulukan pencegahan. Patuh dan taat terhadap Ulama dan yakin akan kredebilitas Ulama adalah kepatuhan terhadap agama. Mereka tidak terpikir sedikitpun bahwa fatwa Ulama itu menjauhkan umat dari masjid.

Lantas bagaimana jika didaerah itu belum ada wabah atau belum darurat. (?) Ini pertanyaan dungu lagi. Pertanyaan ini, sangat cerdas dan lengkap dijawab UAS. Kita tidak bisa memastikan virus ini sudah ada atau belum, siapa yang sudah terjangkit atau belum, karena selain kita tidak punya alat deteksi cepat. Dan juga sifat wabah ini sangat berbeda dan sangat cepat proses penyebarannya. Maka untuk menolak mudharat itu, kita pindah dari sunnah satu ke sunnah lain yaknu sunnah sholat dirumah. Jadi jangan dianggap tidak paham taghairul ahkam bitaghairul jaman wal makan.

Ingat, semua sekarang yang terkena posotif itu, awalnya tidak tahu dan mereka merasa tidak ada apa-apa, tidak ada gejala dan sehat-sehat saja. Mereka juga bukan berada dikawasan dharurat corona. Tetapi kenapa terjadi (?) Karena upaya mencegah itulah. Aagym, UAS dan UAH dll sudah off dari dakwah massif dan stay at home. Kenapa (?) Agar majelis dan tabligh akbar apalagi masjid tidak menjadi asbab datangnya mudharat.

BACA JUGA :  Perekrutan Dosen BLU UINSU Carut Marut, Presiden Alumni UINSU Minta Menag RI Bertindak

Teologi dungu neo jabariyah juga diketahui adanya statemen. Jangan takut sama corona tetapi takutlah sama Allah. Atau jikapun mati karena corona, saya ikhlas karena ajal sudah ditentukan, penting saya hanya takut kepada Allah.

Ada juga, mereka yang berprasangka bahwa Ulama-ulama yang berfatwa sholat dirumah dimusim wabah dianggap menjauhkan umat Islam dari masjid adalah penganut kaum dungu neo jabariyah. ‘Kata-kata dungu dalam pendapat saya ini, jadi polemik karena dianggap melecehkan.

Iya, benar. Namun ini bukan perbandingan yang setara. Sama dengan misalnya jangan takut kolesterol, takutlah hanya pada Allah SWT. Kita akan tertawa pada pernyataan kolesterol itu sebab kita tahu itu perbandingan yang cacat logika namun tidak semua tertawa pada pernyataan Corona sebab ada efek psikologis karena wabah sedang menyerang, meski juga sama-sama cacat logika.

Takut pada Allah SWT itu konteksnya ketaqwaan, keimanan yakni takut melakukan yang dilarang atau diharamkan. Sedangkan takut pada Corona itu bukan takut melainkan waspada atau ikhtiar. Bersikap hati-hati, antisipasi, serta mencegah jangan sampai menjadi wabah makin luas.

Bersikap waspada dengan ikhtiar itu justru bentuk perilaku yang diarahkan oleh agama kita. Rosulllah bersabda ikatlah ontamu baru kemudian bertawakal.

PENUTUP

Dari tulisan diatas, mari kita menakar diri kita, apakah kita masuk kategori umat Rasulullah yang cerdas, bodoh atau malah terjerambab dalam penyakit akut dungu. Yakni seseorang yang bodoh, tetapi merasa pintar dan sulit menerima kebenaran.

Menutup tulisan ini, saya mengutip tulisan Neneng Maghfiro. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada empat macam jenis kebodohan, satu di antaranya bisa diobati sedangkan tiga yang terakhir tidak akan bisa terobati.

Tiga kebodohan yang tidak bisa diobati tersebut di antaranya adalah Pertama, orang yang bertanya karena dengki dan benci. Ketika pertanyaan orang tersebut engkau jawab dengan jawaban yang baik, fasih dan jelas justru semakin menambah kebencian, permusuhan dan kedengkiannya kepadamu. Kedua, jika penyakit bodohnya berupa hamaqah atau kedunguan, maka juga tidak bisa diobati. Sebagaimana ucapan Nabi Isa:

انما عجزت عن احياء الموتي وقد عجزت عن معالجۃ الحمق

“Sesungguhnya bukannya aku tidak mampu menghidupkan orang yang mati, tetapi aku tidak mampu mengobati orang yang dungu”

Menurut Imam al-Ghazali, penyakit dungu yaitu seseorang bertanya kepada orang yang alim yang telah menghabiskan umurnya dalam waktu lama mempelajari ilmu-ilmu akal dan syariat. Orang dungu tersebut tidak tahu dan menyangka bahwa permasalahan yang musykil baginya juga musykil bagi orang alim yang agung.

Ketiga, seseorang yang bertanya untuk meminta petunjuk. Namun setiap ada ucapan orang alim yang tidak bisa dipahaminya, ia merasa itu karena sempitnya pemahaman sang alim. Orang seperti ini biasanya adalah orang bodoh yang sombong maka tidak perlu menjawabnya. Sebagaimana sabda Nabi

نحن معاشر الانبياءامرنا ان نكلم الناس بقدر عقولهم

“Kita golongan para Nabi diperintahkan berbicara kepada manusia dengan sesuai kemampuan akal mereka”

Karena itu terkadang jawaban Nabi terhadap pertanyaan yang diajukan para sahabatnya berbeda-beda meskipun pertanyaannya sama.

Sementara itu menurut Imam al-Ghazali, penyakit bodoh yang bisa diobati adalah seseorang yang bertanya untuk mencari petunjuk serta memiliki akal yang mampu untuk memahami serta hatinya tidak terkalahkan oleh sifat dengki, marah, dan hawa nafsu.

Serta pertanyaanya bukan pula karena dengki, mempersulit dan mencoba kepintaran seseorang seperti pada poin kedua. Maka orang seperti ini bisa diobati kebodohannya, boleh bagimu menjawab pertanyaan orang tersebut bahkan hukumnya wajib.

Lalu bagaimana sikap terbaik yang harus kita ambil saat berhadapan dengan orang dungu?

اَلسُّكُوْتُ عَلَى الْاَحْمَقِ اَفْضَلُ جَوَابِهِ

Diam di hadapan orang dungu adalah sebaik-baik jawaban.
_________

Penulis, Tuan Guru Batak (TGB) Dr Ahmad Sabban elRahamaniy Rajagukguk MA. Mursyid Thoriqah Naqsyabandi|Dosen Pascasarjana UIN SU|Pemerhati sosial, budaya dan agama.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *