Scroll untuk baca artikel
#
Opini

Mengapa Kita Harus Bermazhab ?

×

Mengapa Kita Harus Bermazhab ?

Sebarkan artikel ini
Khoirun Nisa. (foto/msj)
Khoirun Nisa. (foto/msj)

Oleh : Khoirun Nisa

 

Banyak orang bertanya, apakah kita perlu bermzhab? Tulisan ini akan mengurai apa itu madzhab. Madzhab, secara bahasa adalah sebagai tempat pergi atau jalan. Kemudian, secara istilah madzhab diartikan sebagai pandangan atau pendapat seseorang dan tokoh atau kelompok tentang hukum-hukum yang mencakup sebuah permasalahan.

Dalam perjalanan hidup kita, banyak dijumpai berbagai pertanyaan dan pernyataan tentang madzhab itu sendiri. Misalnya, sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam beragama dan jangan sampai meninggalkannya. Benarkah demikian? Atau ada sebuah pertanyaan mengapa kamu bermahdzab, padahal perintahnya kan rujuklah Al Quran dan Sunnah?

Dalam I’lamul Muwaqi’in, ditemukan penegasan bahwa tidak wajib untuk mengikuti madzhab tertentu. Karena yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Dan telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.

Tetapi, pendapat itu tidak menjadi hukum yang mutlak. Tetap kita diperbolehkan untuk mengikuti madzhab tertentu dengan catatan. Pertama, mengikuti atau mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai washilah (perantara) saja dan bukan merupakan tujuan akhir. Hal ini berlaku bagi seseorang yang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu. Kedua, apabila dengan mengikuti madzhab tertentu itu dapat menghilangkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Mengikuti madzhab adalah pilihan terbaik dan hal ini diperbolehkan.

Dari kesimpulan diatas bahwa kita perlu bermahdzab, mengapa demikian? Coba kita lihat secara nyata kondisi zaman kini. Rentang perjumpaan kita dengan Nabi SAW begitu jauh, sudah tentu dalam mengikuti jejak keteladannya serta memperoleh pemahaman yang sejati terhadap Al Quran kita memerlukan jalan atau sebuah metode.

Jalan itu terbuka lebar dalam madzhab, di mana kesimpulan segala hukum (syariat) telah diuraikan oleh para mujtahid yang terpercaya, ulama-ulama yang faqih dalam agama. Misalnya, empat madzhab yang masyur (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali). Ketidakmampuan kita dalam kefaqihan bahasa Arab maupun agama akan teramat sulit untuk mencapai kefahaman sejati terhadap teks wahyu (Al Quran dan Sunnah) beserta kesimpulan hukumnya. Dengan mengambil madzhab sebenarnya kita telah memudahkan diri sendiri untuk lebih dekat terhadap pemahaman pada Al Quran dan Sunnah dengan segala keterbatasan ilmu. Berbeda hal nya jika kemampuan kita melebihi ulama-ulama empat madzhab tersebut, tentunya kita bisa mendapatkan pemahan sendiri terhadap konsekuensi hukum dalam Al Quran dan Sunnah.

Jadi, memilih bermahdzab sebuah penyadaran diri kita tak sepenuhnya mampu dan kuasa untuk memahami teks-teks wahyu secara sendirian di zaman yang sebentar lagi ini mungkin akan usai. Memilih bermahdzab adalah menjaga keilmuan ulama-ulama terdahulu, agar segala yang diajarkan Allah SWT dan Rasul-Nya tetap hidup dalam setiap perjalanan umat Islam. Bermahdzab adalan langkah praktis untuk menjalankan ajaran Islam, mengingat sejauh ini tidak ada pakar atau ahli yang mampu menjelaskan cara berislam secara langsung dari nabi. Namun, demikian dalam bermahdzab ada kaidah dan aturan yang harus dipenuhi, yaitu: tidak taqlid buta, menghindari sikap primodial terhadap madzhab, tidak boleh membela madzhab secara overdosis.

BACA JUGA :  Covid-19 Dan Pemberitaan Hoax

Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhabnya sendiri? Tentu saja boleh, asalkan ia mampu menafsirkan dan menyimpulkan sendiri secara detail ayat Al-Qur’an dan As-sunnah. Tentu ini bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang, bahkan orang yang tingkat keilmuannya sudah mendalam seperti Imam Al-Ghazali pun tetap menganut kepada salah satu mazhab yaitu mazhab Syafi’i. Beliau tetap bermazhab meskipun sudah pandai mengistinbathkan hukum sendiri.

Dalam Islam sebenarnya terdapat banyak mazhab, diantara para mazhab ini ada yang memiliki banyak murid lalu para muridnya mengembangkan dan menyebar luaskan ajarannya, sehingga mendapat banyak pengikut dan terkenal sampai sekarang. Namun ada juga mazhab yang tidak memiliki banyak murid dan sedikit yang mengembangkan serta menyebar luaskan ajarannya, sehingga lambat laun kurang populer dan hilang tidak dikenal lagi contoh nya mazhab Auza’i, mazhab Ats-tsauri, mazhab dhahiri dan lain lain.

Saat ini hanya 4 mazhab yang populer yaitu Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi. Masing-masing memiliki caranya sendiri dalam memahami Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga tidak heran jika terdapat perbedaan pandangan. Walaupun mazhab dalam Islam terbilang banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan dalam akidah, semua perbedaan ini tidak dapat disalahkan. Pebedaan ini tetap tidak mengeluarkan Islam dari jalur akidah, karena setiap mazhab pasti sudah melakukan ijtihad.

Keempat mazhab populer ini tumbuh dan berkembang di wilayah yang berbeda-beda, sehingga tidak heran jika terdapat perbedaan pandangan. misalnya mazhab hanafi berkembang di irak, mesir, pakistan, india, bangladesh dan lain lain. mazhab maliki berkembang di maroko, al-jazair, maroko. sudan, nigeria dan tunisia, mazhab syafi’i berkembang di iran, indonesia,filipina, kamboja, malaysia dan brunei darussalam. dan yang terakhir mazhab hambali berkembang di Arab saudi. Selain itu cara berfikir yang berbeda serta masalah bahasa juga mempengaruhi timbulnya perbedaan pandangan.

Lalu bagaimana seorang muslim menentukan sikapnya dalam bermazhab? Kita tidak diwajibkan untuk berpegang pada satu pendapat saja, Akan tetapi harus diingat bahwa kita tidak boleh menggampang-gampangkan agama, dalam artian kita tidak boleh menggabungkan hukum yang mudah-mudah saja. Contohnya menurut pandangan Imam Maliki boleh menikah tanpa wali lalu pandangan mazhab Hanafi membolehkan menikah tanpa saksi, bukan berarti kita boleh mengabungkan kedua pandangan ini “menikah tanpa wali dan saksi”.

Bagi orang muslim yang masih awam dalam hukum Islam sebaiknya mengkaji satu mazhab saja, kemudian setelah betul-betul paham baru boleh mengkaji perbandingan mazhab. Karena fiqh perbandingan mazhab itu memberikan penjelasan kepada kita adanya perbedaan yang banyak. Misalnya tentang zakat fitrah, tidak sama pemikiran antara imam hanafi dengan imam syafi’i, imam hanafi mengatakan bahwa zakat fitrah yang harus dikeluar kan adalah sebanyak 3,8 kilogram sedangkan imam syafi’I mengatakan bahwa zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah sebanyak 2,7 kilogram. Nah, disinilah perbedaan perbedaan mereka akan dikaji secara tuntas di kitab perbandingan mazhab tersebut.

BACA JUGA :  APA YANG MENARIK DARI VOC ?

Perlu diingat, jika kita sudah mengikuti satu mazhab janganlah menyalahkan mazhab yang lain, hindari sifat fanatisme (berlebihan). Karena dizaman rasulullah, para sahabat sudah berbeda pendapat. Misalnya ketika umar bin khattab berbeda pendapat dengan nabi Muhammad saw bukan dalam masalah umum, tapi dalam masalah agama. Kejadiannya saat perang badar kalah, ketika itu Allah ta’ala turunkan 5.000 malaikat, umat islam berada diatas angin. Debat antara umar bin khattab dengan rasulullah karena malaikat jibril tidak memberikan keputusan dari langit apakah perangnya diteruskan atau dihentikan.

Akhirnya Rasulullah SAW mendegar rapat, para jendral muslim dikumpulkan. Ini bagaimana perang diteruskan atau dihentikan? Setelah itu didapat kesimpulan bahwa perang itu dihentikan, sementara umar bin khattab sendirian dengan pendapatnya mengatakan perang diteruskan sampai orang-orang quraisy habis semua. Karena rapat menghasilkan keputusan, akhirnya perang dihentikan karena suara mayoritas, suara umar tidak dipakai. Setelah diputuskan berhenti, tiba tiba malaikat jibril datang membawa wahyu dan ayat nya bertentangan dengan pendapat nabi Muhammad saw dan para sahabat, yaitu tidak pantas seorang nabi menghentikan perang dan memiliki tawanan, harusnya dia perang terus sampai benar benar menang mutlak.

Ketika itu, ayat tersebut membenarkan pendapat umar bin khattab. Nabi Muhammad saw langsung menangis karena ijtihad keliru. Nabi Muhammad saw bilang seandainya kesalahan ini terjadi pada zaman nabi nabi terdahulu dimana kalau salah dihukum pasti kita sudah dihukum oleh allah taala dan tingggal umar bin khattab saja yang hidup. Nah, dapat ditarik kesimpulan bahwa dizaman rasulullah telah ada perbedaan pendapat. Namun Rasulullah tidak menyalah kan salah satunya, tapi membenarkan kedua keduanya. ** msj

 

** Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Jurusan Perbandingan Mazhab UINSU Medan, peserta KKN-DR 119 **

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *