Pancasila dan Api Islam Bung Karno

Oleh : Dr Salahuddin Harahap MA

Bacaan Lainnya

PENDUDUK Nusantara telah merupakan kumpulan manusia yang religius (telah menganut suatu agama dan atau kepercayaan) sebelum dirumuskannya Pancasila. Sehingga Pancasila tidak lahir di ruang hampa nilai tetapi sebaliknya pada ruang yang kaya nilai.

Sebagai perumus Pancasila, Bung Karno adalah tokoh yang memiliki pemahaman yang komprehensif bahkan paripurna tentang agama-agama Nusantara — baik menyangkut ajaran, norma dan susbtansi — sehingga mampu merumuskan Pancasila di atas susbtansi (beyond) ajaran agama dan kepercayaan yang dianut penduduk Nusantara.

Agama dan kepercayaan yang ada di Nusantara telah dipahami dan dirumuskan oleh Bung Karno berdasarkan hasil akulturasinya serta sikritisisnya dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara sehingga setiap agama seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan kepercayaan lainnya sudah merupakan khas Indonesia atau khas Nusantara dan terlepas dari pengaruh budaya lain dimana agama dana kepercayaan serupa dianut.

Terkait hal ini Bung Karno menyebutkan bahwa muslim Indonesia harus ber-Islam layaknya orang Indonesia tanpa harus ke- Arab-araban, ke- Pakistan- Pakistanan, ke- Turki-turkian dan ke-Mesir-mesiran. Begitu pun seorang Kristen di Indonesia tidak perlu harus ke-Inggris-inggrisan, ke-Belanda-belandaan. Seorang Katholik di Indonesia tidak perlu ke-Roma-romaan, seorang Hindu di Indonesia tidak perlu ke India-indiaan serta seorang Budha tidak perlu ke-China-cinaan dan seterusnya.

Kehadiran agama-agama di Nusantara mesti dilihat sebagai suatu rahmat yang amat besar dan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga ketika bersentuhan dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara telah merupakan pertemuan dua kekuatan yang luar biasa dyahsat.

BACA JUGA :  Relevansi dan Aktualisasi Nilai Islam Kebangsaan Megawati Soekarno Putri

Bagi Bung Karno, pertemuan agama yang merupakan wahyu Allah Swt dengan budaya dan kearifan lokal yang juga merupakan anugerah Allah Swt yang membumi (sunnatullah) akan dapat melahirkan enegi luar biasa dyahsat yang disebutnya dengan “Api”– Api Islam, Api Kristen, Api Katholik, Api Hindu dan Api Budha.

Setiap orang telah dianugerahi fihtrah untuk beragama sehingga ia menjadi hak paling azasi dan karena itu Negara harus hadir untuk menjamin kebebasan memeluk dan menjalankam ajaran agamanya. Tetapi, penting untuk diperhatikan bahwa beragama dalam konteks berbangsa Indonesia– tidaklah sebatas pelestarian ritual apalagi sekadar simbol-simbol, tetapi lebih luas merupakan sarana dan wadah membumikan ajaran-ajaran agama yang mulia untuk memajukan kehidupan bangsa ini. Karena itulah, maka agama harus hadir dalam bentuknya yang inklusif, moderat, progersif dan dinamis untuk dapat menjadi rahmatan lil’alamin.

Pancasila telah dirumuskan berdasarkan pengayaan kultural, filosofis, teologis dan bahkan spiritualitas sehingga mampu merepresentasi ajaran agama-agama, kepercayaan dan budaya. Pancasila lahir dari jati diri dan citra diri bangsa Indonesia yang beragama dalam kesadarannya sebagai manusia Indonesia (saya seorang Muslim dan saya Indonesian, saya seorang Katholik dan saya Indonesia, saya seorang Parmalim dan saya Indonesian). Kesadaran ini menjadi sangat penting agar religiositas dan spiritualitas seorang anak bangsa dapat bergerak, meningkat dan menyempurna secara simultan dengan semangat kebangsaan— kecintaan dan komitmennya memajukan bangsa ini.

Manusia Pancasila tidak perlu lagi mempertrntangkan antara agama dan budaya, sebab tugas itu telah selesai di tangan foungding fathers bangsa kita. Para Wali, Resi, Pendeta, Romo telah dengan bijaksana mengawal proses akulturasi dan sinkritisasi ajaran agama-agama dengan budaya dan kearifan lokal sejak ketika bumi Nusantara ini dimasuki ajaran-ajaran penuh hikmat itu.

BACA JUGA :  Pancasila Dan Nalar Kerukunan Beragama

Manusia Pancasila dalam pandangan Bung Karno— bukan Manusia Sekuler yang memisahkan agama dari bangsa atau mengutamakan bangsa di atas agama. Manusia Pancasila adalah manusia Indonesia yang di dalam dirinya terinetegrasi secara apik komitmen dan kecintaannya kepada agama yang dianutnya telah terbangun dalam komitmen dan kecintaannya kepada bangsanya.

Hubbul al-Wathn min al-Iman — mencintai tanah air merupakan bukti keimanan telah menjadi rumusan sempurna bagi terintegrasinya kecintaan dan komitmen keberagamaan dengan kebangsaan kita.

Posisi Pancasila terhadap agama dan negara Indonesia, percis seperti posisi Piagam Madinah terhadap Negara Madinah yang dipimpin Rasulullah Muhammad Saw — dalam segenap pluralitas yang ada saat itu.

Piagam Madinah dengan berbagai rumusannya yang sangat toleran dan inklusif— tidak pernah dianggap mereduksi ajaran agama oleh setiap pemeluk agama yang berkomitmen me jadi penghuni Negara Madinah kala itu.

Semangat itulah yang mestinya dimiliki oleh Manusia Pancasila, memandang bahwa Pancasila sebagai dasar negaranya tidak dianggap telah mereduksi ajaran agama dan nilai budayanya. Jika, penduduk Negara Madinah mampu melihat bahwa mempertahankan dan memajukan negaranya adalah jihad di jalan Tuhan, maka Manusia Pancasila juga harus mampu memandang bahwa mempertahankan dan memajukan Bangsa Indonesia— Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan jihad di jalan Allah Swt.

Penulis adalah Kepala Laboratorium Pancasila dan Islam Bung Karno UIN-SU

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *