Nasional

Praktisi Hukum: Kekerasan Terhadap Pers Ancaman Bagi Kebebasan Berpendapat

×

Praktisi Hukum: Kekerasan Terhadap Pers Ancaman Bagi Kebebasan Berpendapat

Sebarkan artikel ini
Pers
Dr Ali Yusran Gea, praktisi dan akademisi hukum dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Pers
Dr Ali Yusran Gea, praktisi dan akademisi hukum dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

Asaberita.com, Medan – Akhir-akhir ini, perbincangan terhadap kehidupan Pers terus menjadi sorotan publik. Tidak hanya oleh pekerja Pers, tetapi hampir seluruh elemen masyarakat ikut mendiskusikan maraknya ancaman dan kekerasan terhadap kemerdekaan Pers di tanah air.

Di Sumatera Utara sendiri, ancaman terhadap insan pers (wartawan) semakin sering terjadi, baik berupa ancaman verbal hingga ancaman fisik dan terus berulang. Bahkan, ancaman paling serius terhadap insan Pers baru-baru ini terjadi hingga sampai menghilangkan nyawa wartawan. Mara Salem Harahap atau yang akrab disapa Marshal, Pemimpin Redaksi (Pemred) Lasernewstoday.com, harus meregang nyawa karena ditembak orang tidak dikenal (OTK) di dalam mobilnya tak jauh dari rumahnya di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Sabtu (19/6/2021) dini hari.

Penembakan hingga tewas terhadap Marshal, menambah daftar kelabu sejarah kehidupan pers di tanah air, khususnya di Sumatera Utara. Penembakan terhadap Marshal telah menjadi isu nasional bahkan internasional, bagaimana ancaman bagi insan Pers begitu nyata dan parahnya. Negara gagal melindungi rakyatnya, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat terancam di negara yang berdemokrasi ini.

Kecaman pun bermunculan dari berbagai pihak di tanah air, mulai dari organisasi pers, politisi, praktisi, para tokoh dan lainnya. Semuanya mengutuk dan mengecam aksi keji dan biadab itu serta meminta aparat kepolisian segera mengusut tuntas kasus ini, menangkap siapa pelakunya serta membongkar motif dan siapa dibalik aksi pembunuhan terhadap wartawan itu.

Dr Ali Yusran Gea, praktisi sekaligus Akademisi Hukum dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengatakan, selain menangkap pelaku penembakan, sangat penting kepolisian membongkar motif dibalik penembakan itu serta siapa aktor intelektualnya.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PERHAKHI) ini juga mengatakan, kasus penembakan terhadap Mara Salem Harahap di Simalungun ini, bukti bahwa negara gagal melindungi rakyatnya.

“Penembakan terhadap wartawan itu sangat fatal bagi negara-negara maju seperti yang terjadi di Indonesia saat ini,” kata Ali Yusran Gea kepada wartawan, Selasa (22/6/2021) di Pondok Konstitusi miliknya, Jalan Bakti Selatan No. 42 Gaperta Ujung, Medan.

BACA JUGA :  Menteri AHY dan Jajaran ATR/BPN Kerja Keras, Terbitkan Sertipikat Tanah Elektronik 38 Kali Lipat dalam Enam Bulan

Ali Yusran Gea selaku Ketua DPD PERHAKHI dengan sekretaris Dr Mirza Nasution yang mendapat SK dari Ketua Umum DPP PERHAKHI, yang juga pengacara ternama Elza Syarief, menegaskan bahwa saat ini kebebasan pers dan kebebasan berpendapat sedang terancam. Karenanya negara harus hadir melindungi insan Pers yang bekerja untuk kepentingan publik dan pekerjaannya dilindungi UU Pers.

Soroti Penerapan UU ITE

Dikesempatan yang sama, Ali Yusran Gea juga menyoroti ancaman lainnya terhadap insan Pers yang masih kerap dijerat pidana dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), atas pemberitaan wartawan yang dianggap menyinggung atau merugikan orang lain.

Menurut Gea, keberadaan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai wujud dari Pasal 28 huruf F UUD tahun 1945 sudah final. Karena itu, ia meminta agar wartawan di tanah air harus dilindungi oleh negara, bukan dikriminalisasi lewat pasal karet UU ITE.

“Sebenarnya dengan begini (penerapan UU ITE kepada jurnalis) adalah ancaman bagi kebebasan berpendapat. Sebab kebebasan berpendapat itu dijamin oleh konstitusi. Karena itu, kritik (pers) adalah bagian dari demokrasi, jadi pemerintah jangan alergi soal (kritik) itu. Mengkritik untuk perbaikan adalah sesuatu yang sangat bagus, karena itu kritikan dari Pers jangan dijadikan sebagai persoalan hukum lewat UU ITE,” jelasnya.

Ketua DPD PERHAKHI Sumut ini kembali mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk tetap menghormati profesi serta karya jurnalistik karena wartawan dilindungi UU Pers.

“Undang-Undang Pers itu filosofisnya adalah melindungi kebebasan berpendapat. UU (Pers) itu memberikan perlindungan terhadap rekan pers untuk mempublikasi segala kebenaran,” tuturnya.

Menyoal tentang penerapan UU ITE oleh penyidik terhadap karya jurnalistik, Ali Yusran Gea kembali menegaskan bahwa pemidanaan terhadap jurnalis lewat UU ITE sangat bertentangan dengan UU Pers yang telah lex specialis, sehingga penerapan UU ITE terhadap sengketa jurnalistik harusnya ditiadakan.

BACA JUGA :  Forum Aktifis 98: Kriminalisasi, Pemidanaan Wartawan karena Pemberitaan

“Itulah penerapan hukum (oleh penyidik) yang keliru, tidak bisa serta merta karya jurnalistik itu dipidana, tidak boleh,” cetusnya.

Eksistensi Dewan Pers Dipertaruhkan

Dia juga meminta Dewan Pers agar sungguh-sungguh melindungi pekerja pers sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pers.

“Makanya Dewan Pers ini harus mampu melindungi pekerja Pers, dialah yang bisa menentukan sikapnya terhadap perbuatan jurnalis itu, apakah mengandung unsur pidana atau etika, itu sesungguhnya perintah Undang-Undang Pers,” katanya.

Terkakhir, Ali Yusran Gea meminta kepada publik untuk selalu menggunakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur oleh UU Pers, jika keberatan terhadap produk pers.

“Katakanlah jika ada (masyarakat) yang bersinggungan dengan berita, ada ketidakbenaran misalnya, itu tidak bisa langsung dipidana, karena perintah undang-undang (Pers) ada hak jawab serta hak koreksi. Itu harus didahului,” ujarnya.

Terhadap maraknya laporan masyarakat atas karya jurnalistik kepada Kepolisian, Ali Gea menyarankan agar penyidik Kepolisian mempertimbangkan laporan tersebut dengan mendahulukan mekanisme yang diatur oleh UU Pers.

“Polisi harus objektif melihat pengaduan/laporan masyarakat, apakah memenuhi syarat apa tidak? kalau laporan terkait dengan karya jurnalistik, polisi tidak boleh langsung membuat laporan polisi. Karena dia (Polisi) harus objektif melihat pelanggaran dan membandingkan dengan UU Pers, apakah telah memenuhi (UU Pers) apa tidak (memenuhi UU Pers),” pungkasnya. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *