Gelombang Ketiga Kebangkitan UINSU Menuju World Class University 2045

 

Bacaan Lainnya

Oleh : TGS. Prof. Dr. KH. Saidurrahman, M.Ag

Kami selalu berkata bahwa IAINSU lahir pada 19 November 1973 yang saat ini telah bertransformasi menjadi UINSU Medan, adalah keinginan dan cita-cita luhur masyarakat Sumatera Utara khususnya para ulama dan cerdik pandai. Pada saat itu, Propinsi tetangga, seperti NAD atau Aceh telah memiliki IAIN Ar-Raniry. Sumatera Barat juga telah lahir IAIN Imam Bonjol. Sedangkan Riau mempunyai IAIN Sultan Syarif Kasim. Siapakah Ar-Raniry, Imam Bonjol dan Sultan Syarif Qasim ?

Semuanya pasti mengenal ketiga tokoh besar dalam sejarah Indonesia dan juga sejarah Peradaban Islam Nusantara. Lalu bagaimana Sumatera Utara ? Propinsi yang besar ini hanya memiliki Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah cabang IAIN Ar-Raniry dan Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah cabang IAIN Imam Bonjol. Entah apa sebabnya, Sumatera Utara tidak memiliki IAIN sampai tahun 1973. Tahun 1973 menjadi titik balik pendidikan tinggi keagamaan di Sumut. Dan Sampai era Orde baru, IAINSU selalu menduduki urutan ke 14, IAIN paling bungsu secara nasional.

Masyarakat Sumatera Utara, khususnya alim – luma dan didukung penuh oleh Gubernur dan Walikota serta tokoh-tokoh masyarakat, meminta kepada pemerintah Pusat khususnya Kementerian Agama untuk mendirikan IAIN. Syukur al-Hamdulillah, keinginan itu dipenuhi Pemerintah Pusat dan berdirilah IAIN di Kota Medan sebagai Ibu Kota Propinsi. Pada perkembangan selanjutnya, patut disyukuri Fakultas Tarbiyah di PSP yang merupakan bagian dari IAIN SU telah pula berkembang dengan pesat menjadi STAIN lalu bertransformasi menjadi IAIN PSP. Kemudian STAIM Madina yang semula merupakan prakarsa Pemerintah Kabupaten Madina telah pula bertransformasi menjadi STAIN Madina.

Sebenarnya saat itu ada satu persoalan serius. Apa nama IAIN di Kota Medan ini. Mengingat seluruh IAIN yang ada di Indonesia menggunakan nama Ulama, nama Wali, Nama Pahlawan. Pastinya para ulama dan tokoh Sumut kala itu sepakat untuk memberinya nama, IAIN Sumatera Utara. Sepanjang informasi yang pernah penulis dengar, bukan karena di Sumut tidak ada ulama, justru di Sumut ada banyak ulama dan tokoh-tokoh pejuang. Namun sulit menentukan satu nama, akhirnya di pilih nama daerah. Sama halnya dengan USU, Universitas Sumatera Utara. Pelajaran pentingnya adalah, Masyarakat Sumut ini adalah masyarakat yang egaliter dan selalu mengedepankan kepentingan bersama.

Dari perspektif Sejarah, kelahiran IAIN SU di atas bagi saya adalah kebangkitan IAIN SU yang pertama. Sumatera Utara memiliki PTKIN sebagaimana propinsi lainnya. Kelahiran IAIN.SU ini penting karena menjadi tujuan mobilitas dan destinasi pendidikan tinggi para santri di berbagai daerah-daerah di Sumut yang juga dikenal dengan banyak pesantren. Demikian juga para siswa-siswa Madrasah Aliyah tidak lagi kesulitan untuk melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Agama karena sudah ada IAINSU. Mereka tidak lagi harus ke Aceh atau ke Sumatera Barat atau malan ke Jakarta dan Jogja. Tujuan mereka adalah Ibu Kota Propinsi di mana IAIN berada. Setelah 10 tahun dari itu, atau sekitar tahun 1980-an, lahirlah generasi baru IAIN SU yang menduduki pos-pos penting di Pemerintah, Kementerian Agama, Madrasah-Madrasah dan ulama-ulama mandiri di kota dan pelosok Sumatera Utara dan sekitarnya. Mereka adalah alumni IAINSU. Keadaan ini terus bertahan sampai saat ini. Tidaklah mengherankan jika saat ini ada alumni IAIN yang menjadi kepala daerah, anggota dewan, politisi, pengusaha, bidang-bidang yang dianggap di luar keahlian IAIN. Namun saat ini batas-batas itu menjadi kabur.

Gelombang kedua adalah ketika IAINSU berubah menjadi UINSU tahun 2014. Melalui Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014, IAINSU mendapatkan kepercayaan dari pemerintah untuk bertaransformasi menjadi UINSU berikut dengan beban akademik-keilmuan yang tidak ringan. Pada saat itu, secara institusional, UINSU Medan sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dua PTKIN yang sangat senior di Indonesia. Siapa yang tak kenal dengan nama besar yang disandang dua Universitas Islam Negeri ini. Beberapa IAIN yang telah lama berdiri dan mendahului IAINSU belum juga bertransformasi menjadi UIN. UIN Imam Bonjol adalah contoh untuk ini dan lebih kurang dua tahun lalu mereka baru berhasil menjadi UIN IB.

BACA JUGA :  JEJAK "PENGARUH" TAREKAT [SUFI] : DARI MAKKAH SAMPAI KE TUAN GURU BATAK [TGB]

Sebagai generasi gelombang ketiga, Penulis dan seluruh warga UINSU pantas bersyukur dengan perjuangan yang gigih dari pendahulu-pendahulu IAINSU. Para Rektor-rektor sebelum saya, berjuang dengan penuh semangat bagaimana membangkitkan IAINSU menjadi universitas yang unggul. Saat ini kita tidak lagi mendengar ungkapan-ungkapan pejoratif lainnya.Perlahan namun pasti, perjuangan para senior UINSU itu telah pula menunjukkan hasil yang menggembirakan seperti yang terlihat saat ini.

Transformasi IAINSU menjadi UINSU disebut gelombang kedua kebangkitan karena UINSU tidak lagi mengelola ilmu-ilmu keislaman atau ‘ulum al-diniyyah atau ‘ulum al-islamiyyah atau dirasah islamiyyah. Tidak pernah terbayangkan jika di UINSU orang bisa belajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bagaimana mungkin anak-anak pesantren dan anak anak Aliyah bahkan anak-anak SMU belajar Ilmu Komputer di UINSU Medan. Mau belajar Ilmu Komunikasi seperti di Unpad atau UGM, UI, saat ini prodinya ada di UINSU dan untuk pertama kali terakreditasi B. Ada banyak program studi umum lainnya, seperti fisika, matematika, biologi, manajemen Informatika. Bahkan Ilmu Manajemen seperti di USU dan UI atau prodi Ilmu Hukum, ada di UINSU Medan. Kendati demikian, bukan berarti kita sepenuhnya sama dengan PTN umum. Kendatipun kurikulumnya sama sesuai dengan kesepakatan asosiasi keilmuan, namun di UINSU ilmu-ilmu tersebut di integrasikan ke dalam agama. Tegasnya, Integrasi Sains dan Agama hari ini sebagai syarat kebangkitan peradaban, itu dimulai dari UIN-UIN Indonesia.

Jika tahun 80-an terjadi letupan generasi pertama IAINSU memasuki lapangan kerja yang berhubungan dengan bidang-bidang agama dan sedikit di pemerintahan, sejak tahun 2019 dan seterusnya, Insya Allah akan terlihat alumni-alumni UINSU akan bekerja di Puskesmas, Rumah Sakit, Departemen Kesehatan, Laboratorium-Laboratorium, perancang ekonomi digital dan lain sebagainya. Letupan generasi kedua UINSU ini akan terus membesar dan membawa era baru bagi kebangkitan peradaban Islam.

Penulis saat ini yang diberi amanah menjadi Rektor UINSU bersyukur karena terlibat untuk pertama kalinya mewisuda alumni-alumni UINSU yang berasal dari Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Ilmu Sosial. Pada saat mewisuda mereka, penulis merasakan gerakan-gerakan baru kelas menengah muslim Indonesia yang akan terus bertumbuh dan berkembang. Hari ini rasanya berbicara kebangkitan peradaban Islam, tak lagi memiliki hambatan psikologis.

Rasanya kurang sempurna bagi IAIN berbicara kebangkita peradaban, sepanjang IAIN hanya melahirkan ulama dalam makna konvensional. Hari ini UIN melahirkan ulama dalam makna yang seutuhnya Qur’ani, mereka para ilmuwan dalam bidang agama dan umum. Dalam bahasa Al-Qur’an mereka disebut dengan ulu al-albab atau ulul al-ilm.

Lalu bagaimana dengan kebangkitan Ketiga seperti isyarat judul di atas ? Penulis ingin mengatakan bahwa kebangkitan ketiga itu adalah pada saat UINSU menjadi WCU (World Class University). Apakah UINSU menjadi Universitas Kelas Dunia itu mimpi ? Saya jawab tidak. Menjadi WCU bukan mustahil. Dalam satu priode kepemimpinan saya selaku Rektor, bersama seluruh tim, kita telah mencoba meletakkan fondasi dasar yang kuat dan kokoh bagi tegaknya Universitas Kelas Dunia. Gagasan ini disadari tidak mudah. Membutuhkan energi besar dan semangat yang tak boleh pupus. Namun penulis yakin jika dikerjakan bersama-sama, hal ini menjadi mungkin.

Penulis bersama teman-teman telah meletakkan fondasi WCU itu dengan tiga program besar. Pertama, Pengembangan Tiga Harga Mati menjadi Lima Harga Mati; Akreditasi Unggul, Digitalisasi, Internasionalisasi, Filantropi dan Bisnis. Dua yang terakhir adalah pengembangan dari Tiga harga mati. UINSU dalam waktu dekat Institusinya harus terakreditasi unggul dan prodi-prodi juga harus A. Ini harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Unit-unit lain juga harus tersertifikasi. Syukurnya perpustakaan UINSU terakreditasi A. Internasionalisasi dimaknai, pemikiran dan karya baik buku atau jurnal harus mendapat pengakuan dunia internasional. Oleh karena itu peningkatan mutu dan kualitas akademik menjadi niscaya. Digitalisasi adalah pemanfaatan teknologi untuk membuat semuanya lebih mudah, efektif dan efisien. Masa pandemik Covid 19 ini membuktikan, digitalisasi itu memang harga mati yang tak bisa lagi diabaikan PT. Filantropi adalah memupuk etos kedermawanan warga UINSU untuk berbagai. Alhamdulillah, saat ini terkumpul 3 M dan telah dibagi kepada lebih kurang 2000 mahasiswa UINSU yang kurang mampu. Bisnis adalah konsekuensi logis dari status UINSU yang menjadi BLU.

BACA JUGA :  Ambruknya Industri Surat Kabar Cetak

Kedua, Adalah Ma’had dan Gedung IsDB di Tuntungan. Kehadiran dua gedung monumental itu akan memberi warna baru bagi UINSU ke depan. Ma’had adalah model pembelajaran asrama bagi mahasiswa UINSU. Setiap mahasiswa baru akan “diasramakan” paling tidak untuk satu tahun dalam rangka penguatan bahasa Arab dan Inggris serta Tahfiz Al-Qur’an. Bersamaan dengan itu, kehidupan di Asrama akan membentuk mereka memiliki karakter yang berbeda. Insya Allah akan terbangun pemahaman Islam Washatiyyah dan Nasionalisme yang kuat mengawal NKRI. Disadari, saat ini kemampuan berbahasa asing tidak bisa ditawar-tawar lagi lebih-lebih ketika kita berada di era 4.0. Adapun gedung IsDB adalah gedung UINSU yang bertaraf internasional.

Dilengkapi dengan laboratorium dan perpustakaan. Diharapkan dari gedung dan laboratorium itu akan lahir ilmuan-ilmuan Muslim yang memiliki kompetensi terstandar, berintegritas, hafal Qur’an dan memiliki jiwa nasionalisme yang kokoh. Saya optimis, bangsa ini memiliki masa depan yang cerah, jika kita bisa melahirkan generasi ulul albab dengan ciri-ciri di atas. Peradaban akan kembali jaya.

Ketiga, Saat ini penulis dan Tim telah selesai melakukan proses legal pemilikan Tanah 100 ha yang berlokasi di Jln. Sena Kuala Namu. Di tanah itu akan dibangun Fakultas Kedokteran dan Fakultas-Fakultas dalam rumpun Ilmu Kesehatan lainnya. Sekali lagi Pandemi Covid 19 ini memberi pelajaran yang sangat penting bagi bangsa ini. Tenaga kesehatan, para medis dan ahli-ahli terasa masih sangat kurang. Kita membutuhkan lebih banyak dokter seiring dengan problem kesehatan masyarakat yang semakin compleceted. Kita memerlukan ahli farmasi yang memiliki pengetahuan integratif antara sains modern dengan sains kesehatan Islam dan sebagainya. Oleh karena itu, UINSU meyakinkan dirinya untuk mendirikan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Rumpun Ilmu kesehatan lainnya.

Bersamaan dengan itu, di tanah itu juga akan dibangun pusat-pusat kreatifitas yang memberi ruang bagi generasi muda untuk mengembangkan kreatifitas dan talentanya. Saat ini di era digital, kreatifitas dalam bidang digital ini sangat diperlukan. Kerap kali, perkembangan teknologi begitu cepat, perkembangan model bisnis yang tidak bisa diprediksi, ternyata tidak ditopang oleh lembaga pendidikannya. Akibatnya mereka yang kreatif secara mandiri yang bisa survive. Lainnya akan menjadi pengikut setia atau kalah dalam persaingan. Semestinya lembaga pendidikan bisa memprediksi arah perkembangan zaman, dan tentu saja dapat disiapkan antisipasinya. Kampus UINSU yang di Kuala Namu disengaja untuk menyiapkan dan mengantisipasi perkembangan zaman yang begitu cepat.

Diperkirakan pada tahun 2040 an, akan lahir generasi baru UINSU yang mereka tidak lagi beraktivitas di dalam negeri saja, tetapi sudah merambah ke manca negara. Mereka menjadi tenaga pengajar, dosen, ahli, di perguruan tinggi ternama lainnya. Jika sekarang jumlah orang Indonesia yang mengajar di luar negeri bisa dihitung, masa datang jumlah mereka akan semakin banyak. Mereka juga mengisi bidang-bidang kehidupan lainnya di dunia internasional. Bisnis, kesehatan, teknologi industri dan sebagainya. Sebenarnya letupan ini adalah konsekuensi dari kebangkitan ketiga UINSU Medan dan UIN-UIN lainnya.

Jujur penulis katakan, bahwa gagasan besar di atas adalah didasarkan rasa tanggungjawab yang tidak kecil dan ringan dari masyarakat, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Utara ketika IAINSU pertamakalinya berdiri. Amanah itu sangat terasa bagi Rektor-Rektor UINSU. Tugas kita sekarang bukan hanya mempertahankan UINSU ini, namun bagaimana bisa mengembangkannya sedemikian rupa. Kita menyadari saat ini harapan generasi muda Indonesia khususnya Sumatera Utara sangat besar terhadap UINSU Medan. Oleh karenanya diperlukan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas. Do’a masyarakat Sumatera Utara menjadi energi tersendiri agar cita-cita ini dapat diwujudkan. Insya Allah. Amin ya Rabb.  ** msj

** Penulis adalah Rektor UINSU Medan

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *