Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
MENTERI Agama RI akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Prof Dr Nurhayati MAg sebagai Rektor UIN Sumatera Utara. Sosok perempuan bertalenta kartini modern inilah menjadi tumpuan sivitas akademika UINSU, baik “membangun” dan “membesarkan” UINSU empat tahun ke depan tepatnya periode 2023-2027.
Tulisan ini, hanya sekedar tausiyah akademik kita masyarakat UINSU, sembari mengingatkan memori kita semua, betapa beratnya tugas Rektor UINSU periode 2023-2027 mendatang. Bagi saya secara pribadi, Rektor UINSU yang legal secara adminitrasi hukum dan bertalenta kartini ini, wajib diberikan support full, untuk memperbaiki UINSU yang terlanjur porak-poranda dalam citra pemberitaan, hingga terbentuknya image buruk di mata publik. Porak-poranda dalam hal pengelolaan keuangan, ini dibuktikan temuan keuangan yang janggal dari inspektorat sampai ke tangan Kementerarin Agama RI. Kemudian, pembangunan infrastruktur kampus hingga manajemen pengelolaan akreditasi yang sedikit kurang beruntung jika disbanding PTN lainnya di Sumatera Utara.
Tantangan Baru
Sangat tidak berlebihan, jika saya menyebut tantangan Rektor UINSU saat ini, berbeda dari tantangan rektor sebelumnya. Mengapa demikian? Ada banyak variable yang menguatkan perbedaan itu. Pertama, aspek kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama yang mendegradasi tingkat kejujuran pejabat kita di UINSU. Tingkat kepercayaan masyarakat UINSU kepada pemimpinnya dapat dirasakan anjlok. Sikap saling menghargai justru merosot tajam, ini dikarenakan amanah berupa kepercayaan yang ada di pimpinan UINSU tidak ditunaikan sebagaimana mestinya.
Kedua, aspek manajerial dan lobi. Faktor kedua ini menjadi pamungkas betapa pentignya manajerial seorang rektor, sekaligus aspek eksekusi program untuk membenahi UINSU empat tahun ke depan. Banyak hal dibenak rektor model membesarkan kampus UINSU dengan baik. Tapi bisa jadi berbalik, mimpi besar itu kandas hanya gara-gara praktik manajerial kepemimpinan dan eksekusi lapangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebanyak yang ada saat ini, rektor tidak mampu dalam tataran praktis, tetapi ia hanya mampu pada tahap berpikir dan merencanakan saja. Hemat penulis, solusi yang dapat kita ambil dari poin ini, rektor harus bergegas pandai lobi dan mencari “pemain” yang jujur dan berwawasan akademik praktis untuk menjalankan mimpi-mimpi rektor menjadi kenyataan. Kita tidak ingin membangun UINSU hanya sekedar konsep ansih, tapi kita ingin menyamai UINSU lainnya seperti PTN terkemuka dunia.
Dua variable yang digambarkan penulis, dapat dikembangkan menjadi empat tugas tantangan berat Rektor UINSU mendatang. Pertama, kolaborasi kepemimpinan. Setelah dilantik menjadi rektor dengan periode empat tahun ke depan, tantangan berat rektor terpilih adalah deklarasi kolaborasi. Model kepemimpinan UINSU, nampaknya tidak dapat dikerjakan oleh satu kelompok warisan politik, seperti ormas tertentu atau komunikasi etnis tertentu saja. Tetapi butuh kepemimpinan kolaborasi untuk menjalankan roda kepemimpinan di UJNSU. Pentingnya kolaborasi ormas, menjadi variable penting ketika berhadapan dengan pemerintah pusat, karena patron hirarki Kementerian Agama RI masih dipegang penguasa ormas terbesar di Indonesia. Atas dasar itulah, penulis menyebut kepemimpinan kolaborasi butuh untuk menjaga keseimbangan pejabat yang bakal menjabat di UINSU.
Kedua, kupas tuntas ma’had UINSU. Tantangan terberat rektor saat ini adalah menyelesaikan ma’had UINSU. Di masa Rektor Prof Syahrin Harahap MA penyelesaian ma’had ini berjalan di tempat alias tidak berjalan. Inilah yang menjadi pemicu utama mengapa rektor yang lalu dinonaktifkan. Kita tidak ingin jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Kita butuh rektor yang visioner dan aksioner untuk menyelesaikan ma’had ini. Salah satu upaya menyelesaikan ma’ahad ini bersinergi dengan Kementerian Agama RI. Sama visi menyelesaikan kasus asrama ini, bukan jusru sebaliknya berbeda visi seperti yang terjadi selama ini. Bayangkan saja, andai saja ma’had ini beroperasi, maka UINSU menyerahkan mahasiswa barunya sebanyak 6.500 orang setiap tahunnya, untuk didik dan gembleng menjadi manusia yang berilmu dan handal dalam literatur wahdatul ‘ulum.
Ketiga, kupas tuntas lahan Sena dan Sutomo UINSU. Dua lahan yang lokasi berbeda milik UINSU ini hampir hilang “ditelan” pengembang. Lahan UINSU di Jalan Sutomo UINSU, memang bukan resmi milik UINSU melainkan milik Pemko Medan. Tetapi perlu dicatat, mengapa ada kesan pejabat UINSU tak pernah serius menyelesaikan lahan ini agar jatuh ke tangan UINSU sepenuhnya? Umur lahan ini sudah berpuluh tahun, UINSU hanya memiliki hak menempati lahannya dan membangun semata, tetapi kepemilikan sertifikat tak kunjung dimiliki. Jadi, hemat penulis harus ada tim yang kuat untuk melobi Walikota Medan dan instansi terkait agar kepemilikan lahan itu jatuh ke tangan UINSU.
Kemudian lahan Sena, di Kecamatan Batang Kuis. Konon kabarnya, lahan ini luasnya sekitar 100 hektare milik UINSU. Statusnya sudah dibayarkan ke bendaharawan PTPN2 atas perintah Menteri Keuangan dengan status lunas melalui dua tahap. Pertama, membayar Rp 4 miliar. Kedua, Rp 36 miliar. Sepertinya, setelah lahan ini dibayarkan lunas, tidak ada alasan kalau lahan ini tidak milik UINSU. Artinya, lahan 100 hektare ini full milik UINSU. Tapi, kenyataan yang berbeda, justru lahan ini tidak diurus sebegaimana mestinya, bahkan luasnya justru belakangan semakin berkurang karena diambil penggarap liar yang tidak bertanggungjawab. Lahan ini nampaknya harus diselesaikan dengan serius. Perlu ada tim khusus untuk mengulangi kembali pemberkasan kepada lembaga-lembaga terkait.
Keempat, kupas tuntas akreditasi UINSU. Fenomena ini sangat lokal dan mengglobal yang tidak pernah diselesaikan UINSU selama ini adalah masalah akreditasi. Sangat pantas jika kemudian kita menyebut UINSU meraih akreditasi “Unggul”. Kampusnya sudah lama, banyak program studi dan fakultas. Tapi, kenyataannya justru berbanding terbalik, akreditasi yang kita harapkan justru anjlok. Selama 2 tahun terakhir, akreditasi kita di program studi kebanyakan hanya dapat mempertahankan A atau ke ISK Unggul. Jumlahnya sangat terbatas, bahkan sebagian lain justru anjlok dari B ke C, atau setelah dilakukan ISK, baik sekali menjadi baik. Fenomena ini justru tidak menyamankan UINSU berkompetisi dengan perguruan tinggi lainnya. Tidak lenih dari 62 program studi yang dimiliki UINSU, harus ada penanganan khusus agar akreditasi bangkit kembali dan membanggakan masyarakat UINSU. Manajerial kepemimpinan rektor baru ini sangat ditunggu untuk menyelesaikan masalah ini.
Bagi saya sebagai penulis, inilah empat jurus Rektor UINSU Prof Dr Nurhayati MAg periode 2023-2027 yang urgent dan harus diselesaikan. Tidak ada lagi istilah hanya duduk, menerima bonus remunirisasi atau sebatas kata-kata sambutan menghadiri seremonial pada banyak acara di UINSU. Rektor harus menggandeng visionerisasinya dengan aksionerisasi, sehingga tugas empat rektor yang diuraikan di atas dapat ditunaikan secara bertahap. **
** Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UIN Sumatera Utara, Medan **