Oleh : TGS Prof Dr Saidurrahman M. Ag
Saya termasuk orang yang bergembira mendengar kabar Prof Yudian Wahyudi yang saat ini masih menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta telah diangkat dan dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Kepala BPIP (Badan Pembinaan Idiologi Pancasila). Bergembira bukan karena beliau sahabat saya di Forum Rektor PTKIN. Bukan pula karena beliau teman diskusi yang hangat dan mencerahkan.
Lebih dari itu, beliau adalah tokoh nasional, pemikir dan juga pembaharu yang sangat mencintai bangsanya. Lebih dari separuh usianya saat ini dikontribusikannya untuk membangun jiwa anak bangsa lewat pendidikan, sama ada Universitas yang langsung beliau pimpin ataupun Pesantren Nawesea yang beliau dirikan dan kembangkan di Jogjakarta. Bagi saya, Prof. Yudian adalah pilihan yang tepat untuk mengawaki BPIP.
Dalam berbagai pertemuan di Forum Rektor PTKIN, di sela-sela acara dan waktu senggang, saya kerap berdiskusi dengan Prof. Yudian. Kami bicara tentang kondisi Perguruan Tinggi Agama Islam, akreditasi, mutu dan kualitas lulusan sampai kepada persoalan yang lebih besar, mengenai bangsa ini seperti, keragamaan, radikalisasi dan terorisme, khilafah, nasionalisme dan tentu saja Pancasila.
Pada saat bicara tengtang bangsa, tanpak jelas kegelisahan dan keresahan beliau. Hal ini dipicu dengan maraknya gerakan dan pemikiran radikal, bukan hanya dikalangan masyarakat umum tetapi juga sudah merambah ke kampus-kampus. Lebih parah dari itu, generasi muda Islam adalah kelompok yang paling banyak terpapar pemikiran radikal. Beberapa penelitian terakhir mengkonfirmasi itu. Oleh sebab itu, reaktualisasi Pancasila sebagai Idiologi bangsa menjadi niscaya.
Ketika marak isu Khilafah dan seiring dengan pembubaran HTI, Prof. Yudian tampil menjadi saksi ahli. Baginya, Indonesia sesungguhnya membutuhkan khalifah (Pemimpin) bukan khilafah. Khilafah sudah selesai dan pilihan NKRI seperti yang dirinti oleh Bapak pendiri bangsa adalah yang terbaik buat negeri yang plural ini. Catatannya adalah, khalifah yang dimaksud adalah mereka atau bangsa yang menguasai al-asma’ (ilmu pengetahuan dan teknologi), menguasai peralatan militer dan tentu ekonomi. Hanya dengan penguasaan itu, Indonesia bisa memimpin peradaban dunia. Jika tidak menguasai al-asma’ dalam makna di atas, Prof. Yudian mengatakan Indonesia akan manjadi khalaf (berada di belakang) dan tertinggal.
Pada saat yang sama, Indonesia juga punya problem serius berkenaan dengan pluralitas dan multikultural. Dikatakan serius karena jika Indonesia tidak mampu menata keragamaan yang ada- suku, agama dan ras- dan membuatnya menjadi harmoni, maka pertaruhannya adalah bangsa ini sendiri. Bangsa ini bisa hancur dan pecah, jika ego sektoral, ego kelompok dan pemaksaan kehendak lebih dikedepankan ketimbang rasa bersama, senasib dan sepenanggungan sebagai anak bangsa. Sebaliknya Indonesia banyak memperoleh manfaat jika keragamaan yang ada sekaligus kaya ini dapat dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Sebenarnya masalah ini alamiah saja karena memang hukum alamnya manusia itu dilahirkan dalam keragaman, baik itu suku, agama dan rasnya. Justru yang menjadi masalah adalah bagaimana kita dapat hidup damai dalam keragaman itu. Prof. Yudian mengingatkan pluralitas itu sunnatullah yang memang tidak bisa tolak. Sunnatullah tidak bisa dilawan. Oleh karena itu membayangkan Indonesia menjadi satu, sama dan seragam adalah kemustahilan. Jadi yang mungkin itu adalah menerima keragaman sebagai anugerah. Tugas kita adalah mencari titik temu dan sisi persamaan yang membuat anak bangsa berdampingan memajukan bangsanya ketimbang mencari perbedaan sebanyak-banyaknya dan membenturkannya.
Dalam pandangan Prof. Yudian, Indonesia pantas bersyukur karena memiliki Pancasila yang berfungsi mempertemukan berbagai keragaman tersebut. Titik temu ini dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan kalimatun sawa’. Sulit membayangkan Indonesia bisa eksis dan bertahan sampai detik ini jika kita tidak memiliki Pancasila.
Dalam satu kesempatan, Prof. Yudian menyatakan bahwa umat Islam Indonesia memiliki prestasi tersendiri terhadap bangsa ini, yang kebanyakan orang tidak menyadarinya dengan baik. Pertama, kendati umat Islam Indonesia di jajah lebih dari 350 tahun oleh penjajah kolonial, namun menariknya penjajahan itu tidak berpengaruh terhadap akidah dan keislaman umat. Istilah Prof. Yudian kendati terjajah namun tetap menang secara akidah. Kedua, lazimnya negara yang pernah dijajah, sebagaimana pernah terjadi pada perang dunia I, banyak negara terpecaah-pecah dan ingin berdiri sendiri. Namun untuk kasus Indonesia, keadaannya justru terbalik.
Penjajahan membuat nusantara solid untuk mengukuhkan dirinya ke dalam payung NKRI. Adapun contoh bangsa yang pernah pecah karena perang dan penjajahan adalah runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani yang akhirnya pecah menjadi Syiria, Palestina, Mesir, dan Arab Saudi. India pecah menjadi Pakistan, Banglades. Namun sejarah Indonesia sangat berbeda, dijajah 350 tahun lebih tapi justru mampu menyatukan pelbagai suku, adat, bahasa, dan kepulauan di Nusantara menjadi satu bangsa dan negara republik Indonesia.
Di masa depan, tugas kepala BPIP dan seluruh tim tentu tidak ringan. Bangsa ini harus kembali menggali nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya menterjemahkannya ke dalam prilaku sehari-hari di berbagai ruang dan tempat. Dalam bahasa yang berbeda, Indonesia yang plural ini harus bisa menemukan kekuatannya kembali dan itu ada di dalam Pancasila. Selamat Prof. Yudian Wahyudi dan Semoga Amanah. **
** Penulis adalah Rektor UIN Sumatera Utara, Medan