Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
Narasi panjang belantika partai politik Islam di Indonesia tak pernah lepas dari konflik internal. Sehebat apapun manajemen partai politik yang dikelola kader inti dari partai politik agar terhindar dari konflik, ternyata banyak terperangkap bahkan kandas di tengah jalan, akibat benturan kepentingan politik internal yang berbeda. Tak jarang para kader melampiaskan syahwat politiknya membentuk partai politik baru, guna menyalurkan aspirasi politiknya.
Sebut saja konflik internal yang terjadi pada Partai Masyumi pasca Pemilu 1955, sebagai kumpulan ormas keislaman seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perti, Persis dan lainnya di Era Orde Lama terbelah hanya gara-gara berbeda kepentingan politik. NU akhirnya memutuskan membentuk partai politik yang kemudian dinamakan Partai Nahdlatul Ulama. Kisah tragis juga pernah dialami partai politik Islam lainnya yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dari konflik internal PPP ini melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang dimotori kiyai sejuta umat Zainuddin MZ. PBR sebagai partai baru di belantika politik Indonesia akhirnya tenggelam karena tidak memenuhi aturan ambang batas suara pemilu. Konflik pemilih PAN dari pemilih tradisionalnya warga Muhammadiyah, juga memunculkan nama partai baru yakni Partai Matahari Bangsa (PMB).
Jika ditelusuri, fakta-fakta konflik internal partai politik berbasis massa Islam terbagi dua. Pertama, konflik internal terjadi akibat perbedaan pendapat dalam pencalonan ketua umum. Perbedaan dukungan antara faksi berakibat terbelahnya kelompok kepentingan di internal partai. Kecenderungan yang ada, konflik internal tidak dikelola dengan baik, akhirnya faksi yang kalah dalam pemilihan membentuk kelompok baru seperti munculnya partai politik gembosan faksi yang kalah. Kedua, perbedaan dukungan dalam koalisi pemerintahan. Konflik seperti ini pernah dialami PPP versi Suryadhama Ali, saat itu mendukung capres Prabowo Subianto, dan kubu Romahurmuziy mendukung capres Joko Widodo. Dua kubu ini akhirnya terpecah dan membentuk double PPP. PPP versi Suryadharma Ali dan PPP versi Romahurmuziy. Hal yang sama juga, belantika politik Indonesia dikejutkan terbelahnya elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam proses pencapresan. Konflik dua kubu elit politik PKS ini pun tidak terelakkan. Kubu Fahri Hamzah dan Anies Matta Cs ditendang kubu Sohibul Iman. Akhirnya, dalam tahapan pencapresan Anies Matta tidak masuk nominator dari sembilan nama yang diusulkan PKS.
Konflik Berkepanjangan
Tak dapat dibantah, bahwa salah satu partai politik yang sukses dan paling cerdas meredam konflik internal adalah PKS. PKS termasuk partai politik yang sempurna menyimpan sekaligus mengatasi ruang konflik internalnya. Partai politik yang berjuluk partai kader ini, dari pemilu ke pemilu sukses mengatasi konfliknya. Sangat sederhana menyelesaikan konflik di internal PKS. Pertama, manajemen konflik yang dilakukan elit PKS dengan membentuk lembaga pengajian liqo’. Karena partai ini merupakan partai berafiliasi kepada partai gerakan tarbiyah. Seluruh potensi konflik yang terjadi diselesaikan dengan komunikasi persuasif. Ketaatan kader kepada murabbi (pembimbing), menjadikan kader PKS tunduk terdiam dan taat atas saran murobbi. Di sinilah kelebihan kader-kader PKS dalam menyelesaikan konflik internalnya. Konfik politik yang terjadi mampu diselesaikan, karena setiap konflik murobbi-nya sering menyandarkan kepada doktrin-doktrin Islam. Satu sisi, kita bangga atas tahapan penyelesaian konflik di internal PKS, karena nyata-nyata penyelesaian konflik yang dimiliki PKS ini tidak dimiliki partai politik lainnya di Indonesia, ketika mengalami konflik politik yang sama.
Apa yang dikatakan murobbi, kebiasaannya kader tak dapat membantahnya. Akhirnya, konflik yang terjadi diselesaikan di tengah jalan. Tetapi tak jarang pula, kader-kader yang terlibat konflik ada yang menyimpannya dalam perut. Sehingga ada istilah lain muncul, “biarlah pecah dalam perut”. Perumpamaan inilah yang terjadi ketika elit PKS mengalami konflik berkepanjangan. Konflk elit PKS Sohibul Iman dengan Fahri Hamzah, sebenarnya sudah terjadi sejak Tahun 2016. Karena berlarut-larutnya konflik, akhirnya muncrat ke ranah publik, ini ditandai dengan laporan Fahri Hamzah ke Polri atas pencemaran nama baik dirinya. Dua elit politik PKS seakan tidak memiliki etika komunikasi politik dalam berdiskusi di ranah publik, keduanya saling lempar kesalahan sampai-sampai kepada persoalan privasi keduanya. Berbagai persoalan dilempar ke media, yang akhirnya menjadi konsumsi media selama tiga tahun terakhir.
Konflik Fahri Hamzah cs dengan elit PKS semakin tak terbendung, terlebih ketika pengadilan menghukum PKS dengan membayar ganti rugi di atas Rp30 miliar kepada Fahri Hamzah. Fahri Hamzah pun dipecat dari kader karena dinilai sebagai kader pembangkang tidak tunduk kepada konstitusi partai. Tapi sayang, kendati pengadilan menghukum dan memutuskan PKS membayar ganti rugi kepada Fahri Hamzah, konon kabarnya ganti rugi tersebut belum dibayarkan PKS. Sederetan alasan inilah yang menambah konflik panjang Fahri Hamzah cs dengan elit PKS. Konflik ini justru semakin tajam, Fahri Hamzah menunjukkan perlawanannya dengan membentuk ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi), tapi akhirnya ormas ini gagal menjadi partai politik dengan menggantinya dengan partai politik bernama Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia yang dideklarasikan 10 November 2019 lalu.
PKS Lahirkan Gelora?
Pertanyaan sederhana patut untuk diajukan ke publik adalah apakah PKS melahirkan Partai Gelora? Apakah Partai Gelora bakal bernasib sama dengan partai politik pecahan Masyumi dan PPP? Kemudian, bagaimana persiapan Partai Gelora menghadapi Pemilu 2024? Tiga pertanyaan di atas, sesungguhnya sudah terjawab dari fakta-fakta politik yang diuraikan penulis. Tanpa ada konflik antar elit di internal PKS, tentu Partai Gelora tidak pernah terbayangkan untuk dibentuk Fahri Hamzah. Anies Matta, Fahri Hamzah dibesarkan di PKS. Mereka berdua termasuk kader gelombang pertama yang ikut berjibaku membesarkan PKS. Kebesaran PKS tak terlepas dari dua tokoh sentral ini. PKS besar, maka secara tidak langsung mereka berdua juga ikut besar. Besarnya sebuah partai politik, sesungguhnya tidak terlepas dari keteladanan sentral figurnya. Anies Matta dan Fahri Hamzah termasuk tokoh yang paling vokal dibelantika politik Indonesia. Bahkan, jika dibanding Fahri Hamzah dan Anies Matta, kevokalan Sohibul Iman tidak ada apa-apanya. Fakta-fakta ini sangat gampang kita temukan sejak Sohibul Iman terpilih menjadi Presiden PKS.
Konflik elit PKS ini sebenarnya sudah dipahami publik. Publik tidak melihat lagi esensi konflik yang terjadi. Tapi reaksi yang ditimbulkan dari konflik itu. Misalnya, Gelora lahir akibat konflik elit PKS. Muncullah anggapan bahwa elit PKS-lah yang melahirkan Partai Gelora. Mengapa demikian? Sebab publik hanya melihat, figur PKS selama ini hanya ada di tangan Anies Matta dan Fahri Hamzah. Ikatan emosional publik kepada Anies dan Fahri sangat kental kepada PKS.
Jika Partai Gelora ingin besar, setidaknya menyamai suara PKS atau partai politik yang lebih dahulu lolos ke senayan berdasarkan aturan ambang batas suara, Partai Gelora harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, ekspansi dan eksplorasi massa Partai Gelora jangan lagi mengambil massa PKS. Sebutan nama Partai Gelora, sangat menguntungkan nama partai ini, sifatnya terbuka dan mengambil nama yang lebih umum, jika dibanding massa PKS. PKS mengaku sebagai partai politik terbuka, tetapi kesannya setengah hati atau bisa dibilang masih tertutup. Dari sinilah yang membedakan PKS dengan Gelora pada Pemilu 2024 mendatang, jika Gelora ikut berkompetisi pada Pemilu 2024 mendatang.
Kedua, Gelora harus membuka diri ke semua pihak, sehingga tidak terkesan partai ini sebagai partai sempalan dari PKS semata. Gelora harus memunculkan program-program riil kepada konsituennya, terlebih lantang terhadap pemerintahan guna mengawasi jalannya pemeerintahan. Sedangkan ketiga adalah, Gelora tetap tampil sebagai partai kader. Guna memperbanyak kader, Gelora jangan melepas model pengkaderan yang dilakukan PKS. Massa yang ditarik Gelora, jangan mengambil massa PKS, tetapi berkompetisilah untuk merekrut pemilih milenial, terutama pemilih yang berafiliasi religius-nasionalis. **
** Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Kebangsaan Dan Keummatan (LK3) UINSU Medan, Dosen Komunikasi Politik Pascasarjana UINSU dan UMSU Medan **