CATUR ELITE POLITIK PPP

Teks Foto : Dr. Anang Anas Azhar, MA (foto/msj)
Teks Foto : Dr. Anang Anas Azhar, MA (foto/msj)

Oleh : Dr. Anang Anas Azhar, MA

 

Bacaan Lainnya

PERWAKINAN politik PDIP dan PPP, sepertinya sudah menjadi takdir politik. Dua parpol produk Orde Baru yang berganti nama dan logo partai ini, berjodoh untuk sama-sama mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden (Capres) 2024. Perkawinan politik PDIP-PPP ini, akhirnya mengubah konstalasi peta politik nasional.

Begitu PDIP mengumumkan capresnya, dinamika politik pencapresan berjalan cepat seperti air bah. Pergerakan koalisi parpol yang dibentuk beberapa parpol pun sebagian mengubah dukungan bakal calon presiden. Salah satunya Koalisi Indonesia Bersaru (KIB) Golkar-PAN-PAN. Sejak dideklarasikan KIB terlihat solid bakal mengusung capres pilihan tiga parpol ini. Elite partai ini sepakat mengumumkan secara kolegial siapa capres yang diusung pada pilpres 2024 akan datang. Tapi, akhirnya PPP justru “hengkang” lebih dahulu. Sinyal politik PPP jauh-jauh hari sudah terbaca, ketika dukungan PPP soal capres bakal mengarah kepada Ganjar Pranowo. Melihat gelagat politik PPP ini, Golkar-PAN justru malu-malu “kucing” melihat perkembangan politik yang terjadi. Satu sisi ingin bergabung dengan PDIP-PPP, tapi di sisi lain merasa malu, karena sudah terlanjur mendeklarasikan diri dalam KIB.

Bagi PPP, tidak ada yang mungkin dalam politik. Sebagai parpol terbilang senior dan pernah kerjasama pada Pilpres 2004 ketika Mega – Hamzah memimpin Indonesia, PPP ingin menyatukan bangsa ini bekerjasama dengan PDIP. Kesepakatan politik pun dilakukan pada 30 April 2023 lalu. Kesepakatan ini diawali silaturrahim politik antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri dengan Plt Ketua Umum DPP PPP Muhammad Mardiono. Singkatnya, PDIP-PPP sepakat membangun koalisi kerjasama tanpa iming-iming syarat. Termasuk usulan cawapres sebagai pendamping Ganjar Pranowo tidak dibicarakan dalam silaturrahim yang baru saja digelar PDIP-PPP.

Lantas pertanyaannya sekarang? Apakah benar PPP menerima “tangan kosong” mendukung Ganjar Pranowo dan melabuhkan partainya berkoalisi dengan PDIP? Tentu tidak. PPP bukan parpol sembarangan meski kursi di DPR RI sebagai kursi paling sedikit. PPP pasti punya matematika politik yang jauh diperkirakan banyak elit politik di negeri ini. Hemat saya, Golkar-PAN jutru harus belajar kepada PPP. Parpol ini cermat, tepat dan cocok ketika mengambil keputusan politik. Ibarat tutup botol sosro yang selalu pas menutup botolnya dengan isi air yang ada di dalam botol. PPP juga demikian, parpol berjuluk seribu ulama ini ingin menyatukan nasionalisme-religius dalam membangun Indonesia.

BACA JUGA :  Prof Yudian Wahyudi, Pancasila dan Masa Depan Bangsa

Me-review perjalanan politik PPP sejak reformasi berjalan, PPP tidak pernah berada di luar pemerintahan. Sangat nyata bahkan Mega-Hamzah pernah berduet dalam pemerintahan Megawati pasca lengsernya Gur Dur. Di masa Pemerintah SBY, PPP 10 tahun bertengger di bawah kekuatan pemerintah yang dipimpin SBY. Begitu juga menuju 10 tahun pemerintahan Jokowi, PPP tidak meninggalkan Jokowi. Lantas salahkah elite PPP membawa nakhoda politiknya? Tentu tidak. Politik itu itu seni berirama membawa kekuasaan di saat orang lain tidak memperhitungkannya. Begitulah nasib PPP, ketika menjatuhkan pilihan kepada Ganjar Pranowo. PPP ingin masuk pemerintahan lagi nampaknya jika Ganjar menang. Peluang menang pun sudah di depan mata, bahkan banyak parpol termasuk parpol yang ada di KIB Golkar-PAN bakal mendukung Ganjar, karena melihat peluang menang.

Gabung Totalitas

Pilpres 2024 mendatang, PPP nampaknya tidak separoh badan bergabung dengan PDIP. Penuh resiko, penuh tantangan, bahkan sebagian kader dan simpatisan PPP di akar rumput masih tidak solid mendukung sikap PPP bekerjasama dengan PDIP. Apalagi bulat mendukung Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024. Menjawab fenomena ini, kekuasaan politik berpihak pada PPP.

Mengapa PPP ingin totalitas bergabung dengan kekuasaan, baik capres dan bekerjasama dengan PDIP. Pertama, PPP di bawah ancaman parliamentary threshoald 4,0 persen. Elite politik PPP di DPP, ingin parpol berlogo ka’bah ini tetap ada di Indonesia. Salah satu upaya mengatasi ancaman penuruan elektabiliras PPP dari PT itu, elite PPP harus memutar haluannya cepat mendukung pemerintah. Fakta politiknya dapat kita saksikan, bahwa PPP sebagai partai pemilik saham di parlemen merupakan parpol yang pertama kali mengusung Ganjar Pranowo. Sikap ini secara politik harus diacungkan jempol kepada PPP. Berani bersikap dan berani mengambil resiko. Sisi politis yang diambil PPP bergabung total di awal pencapresan 2024 ini, agar PDIP tidak melihat PPP “baling-baling”. Kemudian ada hal yang tidak terbaca banyak orang, yakni penyelamatan PPP dari zona degradasi elektabilitas. Nah, hemat penulis di sinilah analisis komunikasi politiknya, mengapa PPP kulluhum bergabung dengan PDIP.

Kedua, PPP bernafsu besar menyodorkan Sandiaga Uno sebagai pendamping Ganjar Pranowo. Sangat logika secara politik, jika kemudian PPP mendorong Megawati memilih Sandiaga Uno menjadi cawapresnya Ganjar. Apa yang melogikakan ini? Saya kira ada dua hal, 1). PPP merupakan parpol pertama yang mengusung Ganjar di luar PDIP dan parpol yang memiliki kursi di parlemen. 2). PPP tidak memiliki figur cawapres, Sandiaga Uno disodorkan, apalagi Sandiaga baru saja out dari Partai Gerindra sebagai partai politik yang sudah lama membesarkan namanya selama lebih delapan tahun lebih.

BACA JUGA :  Memotret Rektor UIN Sumut

Ketiga, PPP membuka peluang politik bagi Golkar-PAN mendukung Ganjar Pranowo. Banyak kemungkinan-kemingkinan politik yang menyebutkan langkah politik PPP justru memberi peluang seluasnya bagi Golkar-PAN mendukung Ganjar. Tapi sayangnya, Golkar-PAN masih malu-malu bersikap, meski pada akhirnya di injuri time, Golkar-PAN hampir dipastikan berkoalisi dengan PDIP-PPP. Andai saja koalisi ini tidak terwujud, Golkar-PAN masih aman dalam mencalonkan capres/cawapresnya. Golkar-PAN memiliki 129 kursi di parlemen. Ini artinya, Golkar-PAN jika berkoalisi masih memenuhi syarat ambang batas pencapresan sesuai amanat UU di Pilpres 2024. Nah, apakah Golkar-PAN akan bersikap demikian? Gejala politik di ranah publik, nampaknya kecil kemungkinan. Golkar-PAN pasti akan mencari peluang menang, bukan berkompetisi asal kompetisi yang akhirnya menelan pil pahit kekalahan.

Apa yang diuraikan sekelumit dari catur politik PPP di atas, sebenarnya parpol lainnya juga sangat berpeluang sama dengan PPP. Dalam konteks ini, PPP terlihat lebih dominan, cerdas memilih calon dan cermat dalam menghitung matematika politik. Akhirnya, tidak ada parpol yang ingin kalah dari kompetisi pilpres. Resiko paling berat yang bakal dihadapi PPP menuju Pilpres 2024 ini adalah pemilih bisa menjauh. Resiko politik lain, elektabilitas PPP turun dan kekuasaanlah yang akan menyelamatkan PPP pada Pemilu 2024. **

 

** Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik dan Analisis Komunikasi Politik UIN Sumatera Utara, Medan **    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *