Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
MOHON maaf. saya tidak bermaksud mengutak-atik Permen Ristek dan Dikti RI Nomor 20 Tahun 2017 yang memuat kewajiban seorang guru besar mempublikasi tiga karya ilmiah di jurnal internasional atau satu karya ilmiah di jurnal bereputasi (Scopus–red). Kebijakan menteri itu, sangat berimplikasi tajam bagi pertambahan guru besar yang diproduksi perguruan tinggi. Permen itu menimbulkan sumber masalah baru di dunia kampus dalam memproduksi guru besar.
Seiring berjalannya aturan ini, kalangan akademisi justru meragukan realisasi Permen Ristek dan Dikti itu berjalan mulus. Satu di antara sekian banyak akademisi yang menaruh keraguan itu adalah Prof Dr Dedi Mulyana. Apa kata dia, “Saya pesimis kebijakan Kementerian Ristek dan Dikti akan berjalan mulus. Tak mudah memutuskan apakah tunjangan kehormatan mereka akan diteruskan atau dihentikan berdasar produktivitas ilmiah mereka”. Kutipan guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjajaran itupun mulai nampak. Kritik sejumlah elemen akademik, bahkan anggota DPR RI Komisi X DPR RI Prof Dr Djohar Arifin Husin dalam sebuah situs meminta Mendikbud yang baru Nadiem Anwar Makarim segera menghentikan kebijakan tak masuk akal itu.
Menanggapi fakta ini, andai saja mau adil, setiap tulisan karya ilmiah dibobot berdasarkan peringkat jurnal yang memuatnya, termasuk jurnal nasional, bukan hanya jurnal internasional terindeks Scopus. Jika perlu berdasarkan mutu karya ilmiah, terlepas dari jurnal yang memuatnya. Jika semua guru besar dan lektor kepala yang ingin menjadi guru besar harus menulis di jurnal terindeks Scopus, belum tentu jumlah jurnal terindeks Scopus itu memadai untuk menampung semua artikel mereka, meski kualitasnya bagus.
Kendala lain yang acapkali kita hadapi ketika mengirimkan tulisan jurnal, adalah jeda waktu yang terlalu panjang. Butuh waktu lama setahun bahkan dua tahun sejak artikel dikirim ke jurnal hingga pemuatan melalui beberapa kali pengembalian untuk dikoreksi. Kerugian yang dialami memaksa penulis untuk mengeluarkan rupiahnya “lari” ke luar negeri. Bayangkan, jika dijumlahkan secara kasat mata sudah berapa triliun rupiah uang rupiah kita berubah menjadi dolar masuk ke jurnal bereputasi Scopus? Pernahkah Menristek Dikti Mohammad Nasir memikirkan itu?
Kebijakan populis Sang Menristekdikti Mohammad Nasir sudah terbukti kurang efektif. Fakta sederhana yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini dari realisasi aturan, adalah pertambahan guru besar berjalan lamban. Ironinya, jumlah guru besar di sejumlah perguruan tinggi bukan bertambah, malah sebaliknya semakin berkurang karena sebagian kecil guru besar kita dimakan usia akibat pensiun atau meninggal dunia. Kini, Indonesia wajar kita sebut “darurat profesor” akibat kebijakan yang salah urus. Ibarat sebuah pembukaan supermarket yang ingin murah, persiapan hilir kita siapkan dan serba siap segalanya, tetapi hulunya kita kropos. Artinya, Menristekdikti sibuk mengurus aturan saja, tetapi tidak mempersiapkan anggaran yang siap untuk melatih para lektor kepala dan calon guru besar mahir dalam menulis jurnal internasional bereputasi.
Saya bangga masih ada seorang profesor yang lantang bicara mengkritik habis kebijakan publikasi jurnal internasional bereputasi Scopus itu. Ia adalah anggota Komisi X DPR RI Prof Djohar Arifin Husin. Politisi Gerindra ini tegas meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menghentikan kewajiban bagi peneliti perguruan tinggi mempublikasikan penelitiannya di jurnal internasional berreputasi Scopus. Saya yakin permintaan DPR ini menjadi pertimbangan yang kuat bagi Mendikbud. Apalagi, Mendikbud sekarang sudah langsung menangani perguruan tinggi, tidak seperti sebelumnya perguruan tinggi berada di tangan Menristek Dikti.
Begitu Prof Djohar di-update sejumlah website, para akademisi sangat bangga. Kebanggaan dan kegembiraan itu dilampiaskan melalui sebawan isi berita dari website. Yang menohok justru Prof Djohar Arifin menilai bahwa publikasi lewat Scopus tidak membawa dampak signifikan bagi Indonesia. Aturan wajib publikasi internasional terindeks Scopus itu tidak masuk akal. Banyak tulisan dosen kita dari hasil penelitian diserahkan ke luar negeri dan harus bayar pula. Sudah berapa triliun kita serahkan uang ke luar negeri melalui ke Scopus.
Sekedar saran untuk calon profesor di mana pun Anda berada, karya buku teks tetap menjadi prioritas. Biasanya buku teks lebih memuat lengkap materi yang ditulis ketimbang jurnal. Jurnal hanya sekelumit karya yang disingkat dari buku-buku teks. Tradisi budaya akademik itu hanya buku teks. Melestarikan buku teks dari karya seorang dosen menurut saya jauh lebih ampuh mendidik generasi kita di perguruan tinggi ketimbang harus mengimbanginya dengan jurnal Scopus. Sederhana pertanyaannya, mana yang berbobot, tulisan dosen di jurnal internasional yang hanya kisaran 7 – 12 halaman, ketimbang buku teks yang tebalnya sampai ratusan halaman.
Setidaknya, parameter inilah yang menjadi acuan Mendikbud untuk menambah profesor kita di perguruan tinggi. Jika tidak, aturan lama berjalan di tempat, aturan baru tak kunjung tiba. Akhirnya, Permen Ristek Dikti itu seperti “buah simalakama”. Mirip istilah hidup segan mati tak mau. Gerakan moral akademik dari perguruan tingi sudah saatnya menolak publikasi jurnal internasional bereputasi Scopus di seluruh perguruan tinggi. **
** Penulis adalah Dosen Pascasarjana UINSU dan UMSU Medan **